Hubungan Kausalitas Antara Politik dan Hukum Di Indonesia

Hubungan Kausalitas Antara Politik dan Hukum Di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hubungan kausalitas antara antara politik dan hukum sebagai sub system kemasyarakatan disebut-sebut hukum sebagai produk politik. Dari pendekatanm empirik hal itu merupakan suatu aksioma yang tak dapat diitawar lagi. Tepai ada juga para yuris yang lebih percaya dengan semacam mitos bahwa politiklah yang harus tunduk pada aturan hukum. Inipun , sebagai das sollen, tak dapat disalahkan begitu saja. Bahwa hukum adalah produk politik sehingga keadaan politik tetentua akan melahirakan hukum dengan karakter tertentu pula. kritik umum yang terlontar atas praktik hukum di Indonesia, terutama oleh kaum deterministik, meletakkan hukum sebagai alat kekuasaan. Fakta ini tentunya bisa dipahami, jikalau kita mengungkapkan sejumlah pelanggaraan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dan aktivitas sosial dengan mengatasnamakan hukum. Perangkat hukum kita, sepanjang orde baru, memang tercabik-cabik oleh kepentingan politik, yang pada akhirnya melahirkan ketidakpercayaan atas hukum. Inilah tragedi panjang, yang hingga hari ini masih melanda kehidupan hukum di Indonesia. Bagaimana gejala ini bisa dijelaskan? Strategi apa yang dapat dilakukan untuk mengembalikan hukum untuk menuju kaadilan?

Asumsi dasar dari pemikiran diatas adalah bahwa hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut “das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Pada era Soekarno, politik adalah panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan pembangunan adalah panglima pada jaman Soeharto. Pembangunanisme (developmentalism) telah menjadikan rakyat sebagai obyek. Semua perbuatan negara selalu mengatasnamakan rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, hukum telah dijadikan alat dari negara untuk membenarkan setiap tindakan dari penguasa. Setiap hari kita melihat, mendengar bahwa di ibukota penggusuran sedang berlangsung terhadap ribuan warga pinggiran di ibukota, hanya dengan alasan bahwa mereka telah melanggar Perda DKI. Dalam logika seperti itu, hukum diberi fungsi, terutama, sebagai instrumen program pembangunan karena sebenarnya hukum bukanlah tujuan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum diproduk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dikalangan ahli hukum, minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum (Mahfud : 1999). Pertama kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut “das sollen” yang mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Tokohnya antara lain Roscoe Pound dengan “law as a tool of social engineering“. Adalah wajar jika ada keinginan untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyrakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakatnya akan menjadi lebih relevan. Tetapi dari kaum realis seperti Von Savigny dengan “hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya“. Ini berarti bahwa hukum, mau tidak mau, menjadi independent variable atas keadaan diluarnya, terutama keadaan politiknya.

BAB II

PEMBAHASAN

1. A. Hukum sebagai Produk Politik

Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyaraktanya akan menjadi lebih relevan.Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakkan hukumnya dan karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya. Bahwa keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi produk hukum, untuk kasus Indonesia, kita dapat melihat contoh pada UU No. 1/1974 (tentang Perkawinan) dan UU No. 7/1989 (tentang Peradilan Agama). Meskipun kedua Undang-undang itu lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara Negara dan Agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda. UU No. 1/1974 lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan UU No. 7/1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi (Mahfud :1999).

Satjipto Rahardjo (1985 :71) mengatakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Artinya banyak sekali praktik politik yang secara substansif hal-hal diatas dimaksudkan untuk menegaskan bahwa di dalam kenyataan empiric politik sanagat menentukan bekerjanya hukum. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pengakuan hukum disini sangat tergantung pada keadaan politiknya.

Pertanyaannya adalah, jika pengabdian hukum lebih cenderung pada kekuasaan, apakah tidak ada ruang bagi ekspresi hukum untuk praktik demokrasi?

Demokrasi dan Hukum

Bahwa ada kaitan yang sangat erat antara demokrasi dan hukum tidaklah dapat dibantah. Hubungan antara demokrasi dan hukum ibarat dua sisi sekeping mata uang logam : dimana ada demokrasi disitu ada hukum. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya. Negara-negara yang demokratis akan melahirkan hukum yang berwatak demokratis, sedangkan negara yang otoriter atau non-demokratis akan lahir hukum yang non-demokratis pula. Kesulitan yang muncul adalah bahwa sekarang ini tidak ada satupun negara di dunia ini yang mengaku tidak demokratis.

B. RELASI POLITIK DAN HUKUM DI INDONESIA

Berbicara tentang relasi antara hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang dan nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan. Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat.

Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan. Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan politik.

Dengan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan.

Dalam konteks Indonesia, cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan masih belum dapat bertemu. Harapan akan adanya instrumen dan pengadilan yang fair dan berkadilan sangat bertentangan dengan maraknya mafia-mafia peradilan dan praktek-praktek hukum yang menyimpang. Pada tingkatan tertentu Indonesia bahkan dapat dikatakan berada pada situasi lawlessness, misalnya, sekelompok orang bersenjata dapat bergerak bebas dan melakukan tindak kekerasan tanpa mendapat tindakan apa pun dari aparat kepolisian, massa dapat mengadili pencuri kelas teri dan membakarnya, sementara pengadilan membebaskan koruptor kelas kakap. Dunia hukum Indonesia berada dalam kuasa “demoralisasi, disorientasi, dehumanisasi dan dekadensi”.

a. Hukum dalam Subordinasi Politik

Adalah runtuhnya rezim otoriter Soeharto dan keinginan untuk membangun kembali suatu tatanan masyarakat yang demokratis yang memunculkan upaya-upaya peninjauan ulang, revisi dan amandemen terhadap segala bentuk sistem dan perangkat hukum yang ada. Namun sejarah mencatat bahwa proses lahirnya hukum memang tidak lepas dari sejarah kekuasaan atau politik itu sendiri. Sejak masa Imperium Roma sampai dengan Hitler, Sejak masa Sriwijaya hingga Megawati Sokarnoputri.

Dalam sejarah Indonesia, Orde Baru sebenarnya sekadar menyempurnakan apa yang dikenal dengan “The Ducth Law of The Sea”, suatu upaya kolonial Belanda untuk mengintervensi hukum adat yang berlaku di nusantara. Prinsipnya hukum tersebut dugunakan sebagai instrumen kepentingan penjajah di wilayah jajahannya dimana VOC misalnya mendiskriminasikan pribumi sebagai warga kelas dua.

Ada lima langkah yang dilakukan Orde Baru untuk “menyempurnakan” hukum sebagai alat untuk menjinakkan masyarakat: Pertama, melakukan kooptasi terhadap lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk Mahkamah Agung (MA) sehingga menyebabkan MA kehilangan fungsi pro justitia-nya. Kedua, memusnahkan pranata sosial, misalnya peradilan adat atau kearifan lokal yang selama bertahun-tahun menjadi mekanisme penjaga keseimbangan dalam lingkungan adat tertentu. Ketiga, kanalisasi semua pertarungan dan konflik yang terjadi di masyarakat pada peradilan yang disediakan negara sehingga negara dapat mengontrol konteks, peristiwa dan putusan yang akan ditetapkan. Keempat, membentuk instrumen-instrumen quasi untuk menyelesaikan masalah masyarakat. Pengadilan, DPR dan lembaga tinggi negara lainnya dibentuk seakan-akan bekerja untuk keadilan, namun ternyata hanya pura-pura, tidak beres dan tidak jelas. Dan kelima, persoalannya bukan hanya imparsialitas dan independensi, namun juga masuknya praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme.

Dengan kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara menjadi semakin tak berdaya ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang sebenarnya. Law enforcement menjadi kehilangan ruang, sehingga Ronald Katz kemudian menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law, ada hukum tapi tidak berguna.

b. Hukum yang Lumpuh dan Dilumpuhkan?

Dalam pandangan Lord Acton, upaya perbaikan hukum secara menyeluruh menyangkut perubahan pada the content of the law, the structure of the law, dan the culture of the law. Persoalannya, di Indonesia perubahan yang dilakukan semata-mata baru pada the content of the law, seperti dengan membuat sebanyak mungkin undang-undang dan peraturan untuk mengatasi persoalan di masyarakat, itu pun seringkali tidak didasarkan pada pembacaan yang sungguh-sungguh atas kebutuhan masyarakat akan undang-undang dan peraturan serta tidak dirumuskan secara partisipatoris (kasus upaya pemaksaan pengesahan undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya misalnya). The structure of the law-nya masih dihuni oleh pejabat-pejabat yang bermasalah dan berperan aktif dalam rangkaian keputusan atau praktek hukum yang menyimpang. Apalagi the culture of the law-nya, budaya sogok dan suap jauh lebih menonjol ketimbang profesionalisme sebagai aparatur penegak hukum.

Kondisi hukum yang lumpuh ini semakin diperparah dengan ketiadaan keseriusan pemerintah untuk mengedepankan agenda law erforcement dan hambatan-hambatan politis lainnya. Desakan untuk melakukan pembersihan secara radikal terhadap institusi hukum (Kejaksaan Agung, Kepolisian, Mahkamah Agung) serta pencabutan keputusan-keputusan yang melanggar prinsip-prinsip keadilan (TAP MPRS No XXV dan UU Subversif) yang pernah dirintis Abdurahman Wahid, tidak lagi berlanjut seiring dengan jatuhnya Wahid. Upaya Gus Dur justru dihambat dengan berbagai cara, termasuk dengan penggulingan dirinya.

Artinya, dalam kondisi dimana proses pemulihan hukum dari kelumpuhan tengah berlangsung, upaya-upaya untuk mempertahankan kelumpuhannya juga gencar dilakukan berbagai pihak. Dalam konteks transisional, semua upaya tersebut dilakukan tidak lain untuk mempertahankan ketidakpastian hukum demi membebaskan pihak-pihak yang bermasalah sekaligus tetap mempertahankan previledge yang hanya dapat dipetik dalam situasi ketidakpastian (pengadilan mantan presiden Soeharto misalnya.

Ada proses demoralisasi yang panjang dalam dunia hukum kita. Juga ada masalah sistem yang mendukung munculnya demoralisasi tersebut. Sistem peradilan kolonial yang kita gunakan secara tambal sulam tidak direvisi total pada tataran prinsipil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan peradilan yang berkeadilan namun lebih merupakan alat kontrol yang represif. Sehingga barang siapa yang ingin selamat dari jerat hukum, dia akan melakukan upaya-upaya kolusi yang mendorong suburnya demoralisasi.

1. B. Pengaruh Demokrasi dan Otoritarian

Dalam memotret kasus Indonesia dengan kerangka teori tersebut, maka sejarah politik dan hukum di Indonesia dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode 1945-1959, periode 1959-1966, dan periode 1966 sampai sekarang, sedangkanm produk-produk hukum diarahkan pada hukum-hukum public dengan contoh hukum-hukum tentang Pemilu, Pemda dan Agraria. Secara spesifik gambaran hubungan kausalitas tersebut adalah sebagai berikut;

1. Keadaan Politik

Pada periode 1945-1959, meskipun pernah berlaku samapai tiga macam UUD (UUD 1945 dan UUDS 1950), kehidupan politik berjalan secara demokratis meskipun jika dilihat dari sudut UUD 1945 (Aturan Peralihan Pasal IV) pada awal perjalanannya kehidupan politik Negara sangat memusat ditangan Presiden. Pada Periode 1959-1966, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kehidupan demokrasi merosot tajam dan yang muncul adalah system politik otoriter dengan Soekarno sebagai actor utama. Periode system politi yang ke tiga yaitu periode 1966 sampai sekarng atau periode Orde Baru. Pada mulanya era Orde Baru ini pun berlangsung dibawah system politik yang demokratis menurut ukuran konvensional diatas. Tetapi langgam demokratis ini hanyalah perjalanna awal ketika pemerintah sedang menyusun format politik baru.

1. Produk Hukum

Studi tersebut memperlihatkan secara jelas hubungan kausalitas atau dependensi hukum atas politik. Pada hukum-hukum public yang berkaitan dengan kekuasaan (gezagsverhouding) terlihat sekali bahwa system politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum yang karakternya responsive atau populastik, sedangkan system politik yang otoriter sebnantiasa melahirkan hukum yang memiliki karakter ortodoks/konservatif. Lahirnya Orde Baru dengan obsesi pembangunan ekonomi berorientasi pada pertumbuhan juga melahirkan produk hukum pemda yang tidak responsive. Hal itu didasarkan pada keinginan untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan yang dapat menjamin stabilitas yang menjadi prasyarat pembangunan. Langgam ototitarian periode initelah melahirkan UU No. 5 Tahun 1974 yang muatan ciri-ciri konservatifnya terlihat pada : Pertama, asas otonomi yang seluas-luasnya diganti dengan asas otonomi nyata dan bertanggung jawab, Kedua dominasi pusat terhadap daerah cukup menonjol yang ditandai dengan kewenangan pusat untuk mengangkat kepal daerah tanpa terikat peringkat hasil pemilihan di DPRD, Ketiga, kepala daerah merangkap sebagai kepala wilayah dengan kedudukan sebagai penguasa tunggal, keempat adanya mekanisme pengawasan preventif, responsive, dan umum dari pusat terhadap daerah.

1. Menuju Hukum Responsif

Uraian diatas telah menunjuukkan bahwa situasi politik tertentu dapat melahirkan hukum dengan karakter tetentu pula yang secara teoretis dikotomis system politik demokratis akan melahirkan hukum yang responsive, sedangkan system politik yang otoriter akan malahirkan hukum yang konservatif/ortodoks. Kesimmpulan umum tersebut dapat secara khusus dikaitkan dengan Indonesia yang ternyata memberikan kesimpulan sebagai berikut. Pertama, pada periode 1945-1959, keadaan politik Indonesia adalah demokratis dan telah melahirkan hukum yang berkarakter responsive. Kedua, pada periode 1959-1966, keadaan politik di Indonesia adalah otoriter dan telah melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks. Ketiga, pada periode 1966 –sekarang, keadaan politik di Indonesia adalah otoriter-non demokrasi dan telah melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam realitas empiris hukum lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Kalimat-kalimat yang ada dalam aturan hukum tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan. Dalam kenyataan terlihat bahwa politik sangat menentukan bekerjanya hukum.Namun melihat ketidakjelasan politik hukum pada di era transisi ini, munculnya elemen kritis di kalangan masyarakat sipil, pemerintahan yang efektif dan kuat, serta lembaga pengadilan yang mampu menguji peraturan di dalam bingkai UUD 1945 menjadi sebuah keniscayaan.

Dengan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan.

Ditulis Oleh : irwansyah Hari: Selasa, Agustus 30, 2011 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

jangan lupa komentar yah