Kedudukan dan Fungsi Hakim Ad Hock Dalam Pengadilan Niaga

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu isu krusial setelah penyempurnaan Peraturan Kepailitan (Verordening op het Failissement en de Surceance van Betaling voor de Europeanen in Nederlands Indie – Faillissements Verordening) Staatsblad 1905 No. 217 Jis. Tahun 1906 No. 348 (selanjutnya disebut FV), adalah dibentuknya Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum. Revisi FV merupakan upaya pemerintah untuk memulihkan kondisi ekonomi melalui instrumen hukum penyelesaian utang piutang pihak swasta melalui pengadilan. Revisi tersebut diwujudkan dalam bentuk Perpu Nomor 1 Tahun 1998 sebagaimana kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (selanjutnya UU Kepailitan 1998) sebagai bagian dari pemulihan krisis ekonomi secara bertahap yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah RI.Salah satu isu penting setelah UU Kepailitan 1998 diundangkan adalah dibentuknya Pengadilan Niaga (commercial court) sebagai pengadilan yang memutus perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).2 Pengadilan Niaga tersebut bukanlah merupakan pengadilan baru sebagai tambahan pengadilan yang telah ada seperti dimaksud dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman sebagaimana sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 20043 yang meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan PTUN. Penjelasan Pasal 10 tersebut menyebutkan juga bahwa perbedaan dalam empat lingkungan peradilan tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan dilingkungan Peradilan Umum yang diatur dalam Undang-undang. Pengaturan Pengadilan Niaga tidak diwujudkan dalam satu undang-undang tersendiri melainkan melalui UU Kepailitan 1998 sebagai dasar hukum.

Untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta, selain direvisinya FV, dan dibentuknya Pengadilan Niaga, juga diintrodusir hakim ad hoc untuk dapat menjadi bagian dari majelis hakim yang memeriksa suatu perkara di Pengadilan Niaga. Pasal 283 ayat (3) UU Kepailitan 1998 menyatakan bahwa: “Dengan tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf d, dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung, pada Pengadilan Niaga di tingkat pertama dapat juga diangkat seorang yang ahli sebagai hakim ad hoc. Jadi, berdasarkan usulan dari Ketua Mahkamah Agung melalui Keppres maka di Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang ahli sebagai hakim ad hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama dengan hakim niaga (hakim karir) seperti mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga, dan persyaratan lain, harus tetap dipenuhi.

Ide awal keterlibatan hakim ad hoc tersebut didasarkan pada penilaian atau asumsi beberapa pihak bahwa pengetahuan hakim karir cenderung bersifat umum (generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada lingkup niaga diperlukan hakim dengan keahlian khusus, di luar dari hakim karir yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk menjadi hakim niaga.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut diatas, maka penulis mengidentifikasi permasalahan hukum yang akan dikaji berkaitan dengan penulisan tugas dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Niaga ini yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan dan fungsi hakim ad-hoc dalam pengadilan niaga ?
2. Bagaimanakah pengaturan pengangkatan hakim ad hoc dan mekanisme pengangkatan hakim ad hoc di Pengadilan Niaga ?

BAB II

ANALOGI PEMBENTUKAN PENGADILAN NIAGA

Pembentukan pengadilan niaga tidak dilakukan dengan pembentukan undang-undang tersendiri tentang pengadilan niaga, melainkan dibentuk pertama-tama melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. Pasal I butir 90 UU Nomor 4 Tahun 1998 menyatakan “Menambah BAB baru sesudah BAB KEDUA tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dijadikan BAB KETIGA mengenai Pengadilan Niaga dengan ketentuan-ketentuan yang dijadikan Pasal 280, Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 280

(1) Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam BAB PERTAMA dan BAB KEDUA, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum.

(2) Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasar pada Pasal 280 UU Nomor 4 Tahun 1998, maka ada dua hal penting yang perlu dicermati dalam rangka pembentukan pengadilan niaga yaitu:

1) Pengadilan Niaga ditetapkan berada di lingkungan peradilan umum;

2) Kompetensi Pengadilan Niaga meliputi permohonan pernyataan pailit, penundaan kewajiban pembayaran utang, dan perkara di bidang perniagaan.

Ikhwal pembentukan Pengadilan Niaga ditetapkan dalam Pasal 281 UU Nomor 4 Tahun 1998 yang rumusannya adalah sebagai berikut:

Pasal 281

(1) Untuk pertama kali dengan undang-undang ini, Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

(2) Pembentukan Pengadilan Niaga selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan.

(3) Sebelum Penngadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbentuk, semua perkara yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga diperiksaa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(4) Pembentukan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan paling lambat dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.

Berdasar Pasal 281 UU Nomor 4 Tahun 1998 tersebut, maka telah ditetapkan pembentukan sebuah pengadilan yakni Pengadilan Niaga. Hal itu berarti bahwa pembentukan pengadilan niaga tidak dilakukan dengan cara membentuk undang-undang tersendiri tentang pengadilan niaga melainkan diselipkan dalam pasal-pasal yang merupakan bagian dari suatu undang-undang yakni Undang-Undang Kepailitan.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Kedudukan dan Fungsi Hakim Ad-Hoc Dalam Pengadilan Niaga

Salah satu alasan utama dimasukkannya hakim ad hoc dalam UU Kepailitan 1998 adalah untuk membantu para hakim niaga dalam menganalisis berbagai kasus yang dihadapi. Oleh karenanya atas dasar itu diperlukan hakim yang ahli yang disebut juga hakim ad hoc. Mengenai pengertian “ahli” ini memang tidak ada definisi khusus dalam peraturan perundangan. Pasal 1 ayat (2) Peraturan MA No. 2 Tahun 2000 tentang Penyempurnaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc hanya menyatakan bahwa, “ahli adalah seorang yang memiliki disiplin ilmu yang cukup dan berpengalaman di bidangnya sekurang-kurangnya 10 tahun.” Dari Definisi ini tidak menjelaskan mengenai bidang keilmuan apa yang disandang, siapa yang menilai “cukup” bagi disiplin ilmu tersebut dan siapa yang mengawasi jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut. Hal ini akan dibahas kemudian.

Alasan lain atas keberadaan hakim ad hoc ini adalah, Elijana melihat bahwa para hakim niaga banyak yang tidak memahami hukum perdata dalam arti luas. Disinilah, hakim ad hoc diharapkan berperan, terlebih bila hakim ad hoc tersebut berasal dari kalangan professional yang memahami praktek-praktek di lapangan. H.A.S Natabaya menambahkan bahwa hakim ad hoc untuk perkara-perkara di pengadilan dibutuhkan untuk mendapatkan keseimbangan terutama jika ada masalah-masalah yang kompleks yang menyangkut hukum perdata internasional, cyber law dll.

UU Kepailitan 1998 tidak mengatur mengenai tugas dan fungsi hakim ad hoc. Mahkamah Agung kemudian mengaturnya dengan mengeluarkan Perma No. 3 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Perma No. 2 Tahun 2000 yang hingga kini masih berlaku. Tugas dan wewenang Hakim Ad Hoc diatur dalam Pasal 3 dan 4 Perma No. 2 Tahun 2000. Pasal 3 menyatakan bahwa:

1. Hakim Ad Hoc bertugas sebagai Hakim Anggota dalam suatu Majelis Hakim untuk memeriksa dan memutuskan perkara Niaga yang ditugaskan kepada Majelis yang bersangkutan;
2. Dalam persidangan Hakim Ad Hoc mempunyai tugas dan wewenang yang sama dengan Anggota Majelis lainnya.

Pasal 3 tersebut memberikan gambaran bahwa hakim ad hoc hanya dapat menjadi Hakim Anggota dan tidak dapat menjadi Hakim Ketua Majelis. Kondisi ini sesuai dengan keberadaannya yang hanya untuk tujuan khusus (specific purpose). Sementara Pasal 4 menyatakan bahwa,”Penugasan Hakim Ad Hoc ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung dalam Wilayah Pengadilan Niaga di seluruh Indonesia.”

Hal tersebut berarti, cakupan wilayah tugas hakim ad hoc meliputi semua Pengadilan Niaga yang ada di Indonesia yaitu di Jakarta Pusat, Surabaya, Semarang, Medan, dan Makasar.

Hakim ad hoc meskipun telah diangkat berdasarkan Keputusan Presiden, ia baru dapat berfungsi/bertugas sebagai hakim ad hoc setelah ditunjuk sebagai Anggota Majelis oleh Ketua Pengadilan Niaga salam suatu penetapan yaitu: a. Atas inisiatif Ketua Pengadilan Niaga sendiri, atau b. Atas permohonan salah satu pihak yang perkara (Pasal 7 Perma No. 2 Tahun 2000).

Dalam praktek selama ini penetapan penunjukan hakim ad hoc sebagai Anggota Majelis Hakim selalu didasarkan atas adanya permohonan dari salah satu pihak yang berperkara. Belum pernah ada penetapan penunjukan hakim ad hoc berdasarkan inisiatif sendiri dari Ketua Pengadilan Niaga. Praktiknya bila permohonan diajukan oleh pihak pemohon pernyataan pailit, permohonan diajukan dalam surat permohonan pernyataan pailit dalam suatu surat permohonan tersendiri yang di lampirkan pada surat permohonan pernyataan pailit dan diajukan pada saat pendaftaran perkara.

Bila permohonan diajukan oleh termohon pailit maka permohonan diajukan setelah termohon menerima salinan permohonan pailit (permohonan diajukan oleh pengacaranya).

Sebelum seorang hakim ad hoc yang telah ditunjuk sebagai hakim anggota suatu Majelis Hakim melaksanakan tugasnya, ia akan mengucapkan sumpah dihadapkan Ketua Pengadilan Niaga yang lafalannya ditentukan dalam Pasal 6 Perma No. 2 Tahun 2000. Berita acara sumpah ditanda tangani oleh hakim ad hoc tersebut dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan bersamaan dengan surat penetapan penunjukan sebagai Hakim Anggota. Setiap sumpah hanya berlaku untuk 1 (satu) perkara.

Meskipun mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan ketua majelis namun beberapa hakim ad hoc beranggapan bahwa keberadaan hakim ad hoc menjadi percuma bila mereka hanya diposisikan sebagai anggota. Sehingga pada pelaksanaan awal mereka yang dipilih sebagai hakim ad hoc meminta kepada MA untuk dapat membuat dissenting opinion sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Hal tersebut adalah wajar karena sebagian dari mereka berasal dari mantan hakim. Guna membantu para hakim niaga dalam menganalisis perkara maka penempatan mereka yang “hanya” sebagai anggota dirasakan kurang tepat bila tidak disertai dengan kewenangan untuk membuat dissenting opinion.

Perihal dissenting opinion ini ternyata tidak diintrodusir dalam Perma No. 3 Tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc. Kondisi inilah yang memicu kritikan dari para hakim ad hoc sehingga mereka mengambil sikap tidak memutus perkara apapun selama kurun waktu tertentu sejak diangkat tahun 1999.28 Satu tahun kemudian MA membuat penyempurnaan terhadap Perma tersebut menjadi Perma No. 2 Tahun 2000 tanggal 30 Juni 2000. Pada bagian konsiderans menimbang huruf (d) dinyatakan, “bahwa dengan adanya prinsip transparansi dan profesionalisme dalam putusan perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, apabila terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion), maka akan dicantumkan dalam lampiran putusan.”

Dissenting Opinion tersebut dibuat dalam bentuk lampiran yang memuat pernyataan tegas dari hakim Anggota/ketua yang membuat dissenting opinion tersebut, bahwa putusan adalah sah dan mengikat. Lampiran tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari naskah putusan. Hakim yang membuat dissenting opinion tetap harus menandatangani putusan tersebut dan tetap terikat pada bunyi diktum putusan tersebut.

Tampaknya keseimbangan dalam majelis hakim dengan dikeluarkannya ketentuan mengenai dissenting opinion menunjukkan kewenangan yang dimiliki hakim ad hoc telah cukup digariskan dalam Perma. Hanya saja, pada tahapan pelaksanaan menunjukkan bahwa dissenting opinion belum memuaskan sebagian pihak yang berperkara terutama pihak yang kalah, karena dissenting opinion belum maksimal dalam memberikan pertimbangan kepada majelis untuk memutus perkara. Hal ini bisa terjadi karena komposisi hakim ad hoc dalam suatu majelis adalah minoritas, sehingga pertimbangan hakim yang lainnya dirasa cukup kuat dalam memberikan putusan akhir.

Mengenai fungsi, hakim ad hoc disamakan dengan hakim karir di Pengadilan Niaga. Hakim ad hoc mempunyai fungsi mengadili dalam perkara kepailitan/PKPU, dan fungsi untuk memberikan pertimbangan hukum berbeda (dissenting opinion) bila terjadi beda penafsiran antar sesama anggota seperti yang sudah diungkapkan di muka.

B. Pengaturan dan Mekanisme Pengangkatan Hakim Ad Hoc di Pengadilan Niaga

Pasal 283 ayat (3) UU Kepailitan 1998 bersifat fakultatif, sehingga tidak ada keharusan untuk menggunakan hakim ad hod dalam menyelesaikan suatu perkara. Ada perbedaan pendapat. Pertama, penggunaan hakim ad hoc tetap fakultatif, dalam arti diserahkan pada keinginan para pihak yang berperkara, hal ini sesuai dengan arti dari ad hoc sendiri yaitu sementara, jadi tidak ada kewajiban dari pihak untuk menunjuk hakim ad hoc. Kedua, hakim ad hoc adalah hakim spesialis untuk bidang-bidang ilmu hukum tertentu, jadi sebaiknya pengaturannya harus imperatif, agar mampu untuk mengatasi persoalan-persoalan hukum yang cukup sulit. Dan Ketiga, hakim ad hoc tetap fakultatif, namun menjadi imperatif saat permohonan diajukan ke Pengadilan, dimana Pengadilan wajib menyetujui permohonan tersebut.

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bersifat sama untuk pengaturan pengangkatan hakim ad hoc, yaitu bersifat fakultatif. Kondisi ini dapat mengakibatkan sistem hakim ad hoc menjadi tidak berjalan. Tidak ada kewajiban untuk menggunakan, dan pengadilan hanya menyediakan tanpa ada keharusan untuk mengangkat karena tergantung dari permintaan. Permasalahan lain juga ditentukan oleh faktor keengganan advokat dari salah satu pihak yang berperkara untuk menggunakan hakim ad hoc, selain karena aturannya dianggap belum jelas, juga karena stigma yang melekat di lembaga peradilan yang rentan atas indikasi korupsi. Kondisi ini memunculkan peranan-peranan advokat yang tidak mempunyai integritas untuk cenderung tidak memilih hakim ad hoc yang bersih dari indikasi korupsi.

Ternyata tidak ada kejelasan mengenai pengangkatan Hakim ad hoc melalui Keppres No. 108/M/2000. Penunjukan hanya dilakukan melalui surat dari Mahkamah Agung RI, tanpa ada proses sebelumnya maupun tindak lanjut dari pihak Mahkamah Agung RI. Proses pengangkatan tersebut mengalami kondisi di mana terdapat tarik-menarik kepentingan. Di satu sisi, para calon hakim ad hoc yang akhirnya ditunjuk melalui Keppres No. 108/M/2000 tersebut terkesan tiba-tiba, tidak melalui proses seleksi melainkan hanya penulisan nama-nama, bahkan tidak dikonfirmasi terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Selain itu, Keppres dikeluarkan tanpa diikuti dengan sosialisasi. Hal ini terungkap tidak saja dari peradilannya bahkan terdapat ketidaktauan para hakim ad hoc yang telah ditunjuk berdasarkan Keppres No. 71/M/1999 atas nama-nama yang tercantum dalam Keppres No. 108/M/2000.

Di lain pihak, meskipun telah dibuatkan dalam bentuk Keppres (Keppres No. 108/M/2000, terdapat sikap resistensi dari pihak pemerintah terkait dengan nama-nama yang tertera dalam Keppres tersebut. Salah satu alasannya adalah, nama-nama tersebut bukanlah pihak-pihak yang tepat untuk diposisikan sebagai hakim ad hoc. Hanya saja, pemerintah tidak menyampaikan nota ketidaksepahaman atas nama-nama tersebut kepada Mahkamah Agung, dengan alasan sistem ketatanegaraan yang tidak memungkinkan hal itu dilakukan. Sehingga tindak lanjut berupa kinerja dari para hakim ad hoc yang ditunjuk berdasarkan Keppres tersebut tidak terdengar lagi.

Sementara dalam pola rekrutmen, beberapa kelemahan diantaranya adalah proses rekrutmen yang masih cenderung tertutup; waktu rekrutmen yang singkat sehingga proses penelusuran track record calon kurang maksimal dan partisipasi masyarakat untuk mendukung proses tersebut tidak optimal; tidak ada parameter yang obyektif dan terukur untuk menilai kriteria-kriteria yang disyaratkan dan sebagainya. Belum ada proses rekrutmen yang transparan dengan melibatkan masyarakat terutama dari kalangan hukum secara luas mencakup dari kalangan akademisi maupun praktisi. Pelatihan bagi hakim ad hoc terutama dalam hal hukum acara di Pengadilan Niaga belum dilakukan, kondisi ini terjadi misalnya karena hakim ad hoc yang ditunjuk dan sudah terlibat memutus perkara merupakan mantan hakim. Ada usulan mengenai perekrutan hakim ad hoc dalam bentuk beberapa tahap. Misalnya pada tahap pertama, ia tidak langsung menangani perkara, pada tahap kedua calon tersebut dijadikan saksi ahli, baru pada tahap ketiga ia dilibatkan dalam suatu majelis dalam menangani suatu perkara, maksudnya adalah agar calon hakim ad hoc mengetahui bagaimana praktik persidangan dalam pengadilan. Namun, usulan ini hanya dimungkinkan bagi calon hakim ad hoc yang bukan berasal dari mantan hakim.

BAB IV

PENUTUP

Salah satu pertimbangan dibentuknya pengadilan niaga adalah agar mekanisme penyelesaian perkara permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cepat dan efektif. Keberadaan pengadilan niaga tidak menambah kuantitas lingkungan peradilan baru di Indonesia

Ditulis Oleh : irwansyah Hari: Selasa, Agustus 30, 2011 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

jangan lupa komentar yah