MAKALAH TERANSAKSI TERAPEUTIK

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Kesehatan memiliki arti yang sangat penting bagi setiap orang. Dengan kesehatan orang dapat berpikir dengan baik dan dapat melakukan aktivitas secara optimal, sehingga dapat pula menghasilkan karya-karya yang diinginkan. Oleh karena itu setiap orang akan selalu berusaha dalam kondisi yang sehat. Ketika kesehatan seseorang terganggu, mereka akan melakukan berbagai cara untuk sesegera mungkin dapat sehat kembali. Salah satunya adalah dengan cara berobat pada sarana-sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Tetapi, upaya penyembuhan tersebut tidak akan terwujud jika tidak didukung dengan pelayanan yang baik pula dari suatu sarana pelayanan kesehatan, dan kriteria pelayanan kesehatan yang baik, tidak cukup ditandai denganterlibatnya banyak tenaga ahli atau yang hanya memungut biaya murah, melainkan harus didasari dengan suatu sistem pelayanan medis yang baik pula dari sarana pelayanan kesehatan tersebut. Salah satunya adalah dengan mencatat segala hal tentang riwayat penyakit pasien, dimulai ketika pasien datang, hingga akhir tahap pengobatan di suatu sarana pelayanan kesehatan. Dalam dunia kesehatan, catatan-catatan tersebut dikenal dengan istilah rekam medis.



Rekam medis berisi antara lain tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan serta tindakan dan pelayanan lain yang diberikan oleh dokter kepada seorang pasien selama menjalani perawatan di suatu sarana pelayanan kesehatan.
Di setiap sarana pelayanan kesehatan, rekam medis harus ada untuk mempertahankan kualitas pelayanan profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi sebagai pendahuluan mengenai “informed concent locum tenens”, untuk kepentingan dokter pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang, serta diperlukan karena adanya hak untuk melihat dari pasien.
Dalam pelaksanaan pelayanan medis kepada pasien, informasi memegang peranan yang sangat penting. Informasi tidak hanya penting bagi pasien, tetapi juga bagidokteragar dapat menyusun dan menyampaikan informasi kedokteran yang benar kepada pasien demi kepentingan pasien itu sendiri. Peranan informasi dalam hubungan pelayanan kesehatan mengandung arti bahwa pentingnya peranan informasi harus dilihat dalamhubungannya dengan kewajiban pasien selaku individu yang membutuhkan pertolongan untuk mengatasi keluhan mengenai kesehatannya, di samping dalam hubungannya dengan kewajiban dokter selaku profesional di bidang kesehatan. Agar pelayanan medis dapat diberikan secara optimal, maka diperlukan informasi yang benar dari pasien tersebut agar dapat memudahkan bagi dokter dalam diagnosis, terapi, dan tahapan lain yang diperlukan oleh pasien. Dengan kata lain, penyampaian informasi dari pasien tentang penyakitnya dapat mempengaruhi perawatan pasien.



Malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman, 1950). Keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.

Untuk pertama kali di Indonesia seseorang yang mengakhiri penderitaan orang lain dengan cara disuntik mati diajukan oleh keluarga pasien kepada negara. Adalah Hassan Kusuma yang memohon izin menyuntik mati istrinya, Agian Isna Nauli yang tergolek tak berdaya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak dua bulan terakhir. Agian tak sadarkan diri sehari setelah dioperasi caesar di Rumah Sakit Islam (RSI) Bogor, Jawa Barat, 20 Juli 2004.Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang dokter? Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum ihwal standar profesi kedokteran yang bisa mengatur kesalahan profesi.Sebenarnya kasus malpraktek bukanlah barang baru. Sejak bertahun-tahun yang lalu, kasus ini cukup akrab di Indonesia. Makalah ini akan membahas tentang malpraktek ditinjau dari hukum dan etika.

Menurut Coughlin's Dictionary Of Law: Malpractice may be the result of ignorance,neglec,orlack of skill or fidelity in the performance of profesional duties; intentional wrongdoing ;ol illegal or unethical practice (malpraktek bisa diakibatkan kareba sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban profesional;tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis). Menurut Di Oxford Illustrated dictionary, 2nded,1975: Malpraktice = Wrongdoing;(law) Improper treatment of patient by medical attendant;illegal action for one's owun benefit while I position of trust. (Malpraktek=Sikap atau tindakan yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medik; tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan).

Perumusan dari banyak penulis lainnya,tidak jauh berbeda dari perumusan-perumusan tersebut diatas. Akan tetapi inti dari pada perumusan malpraktek tersebut di atas, serta menurut hokum yang berlaku di indonesia, kurang lebih adakah sebagai berikut: malpraktek adalah perbuatan dokter/tenaga kesehatan lainnya pada waktu menjalankan tugas profesinya yang bertentangan atau melanggar atau tindak/kurang hati-hati memperhatikan ketentuan atau prsyaratan yang berlaku untuk setiap tingkt keadaan penyakit pasien yang ditanganinya, baik menurut paraturan perundangan maupun ukuran kepatutan atau ukuran ilmu kedokteran yang dapat dipertanggung jawabkan serta menurut ukuran profesionalitas dan menimbulkan akibat yang merugikan pasien/keluarganya. Dengan mencermati rumusan-rumusan malpraktek seperti dikutip diatas,maka dalam pengertian malpraktek mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja, (Intentional, dolus, opzettelijk) melanggar undang-undang dan ketidaksengajaan (Culpa,negligance), Kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh. sembrono, tak perduli terhadap kepentingan orang lain.Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian dan kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat.
Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang paling buming di bicarakan di media-media adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku adalah korban malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak hanya kasus Prita saja, masih banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak rumah sakit berlindung pada nama besarnya.
Malpraktek tidak hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan saja, melainkan kaum profesional dalam bidang lainnya yang menjalankan prakteknya secara buruk, misalnya profesi pengacara, profesi notaris. Hanya saja istilah malpraktek pada umumnya lebih sering digunakan di kalangan profesi di bidang kesehatan/ kedokteran. Begitu pula dengan istilah malpraktek yang digunakan dalam skripsi ini juga dititikberatkan pada malpraktek bidang kedokteran, karena inti yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai kedudukan rekam medis dalam pembuktian perkara pidana. Agar lebih terfokus serta tetap memiliki keterkaitan dengan rekam medis, maka dilakukan pengkhususan terhadap jenis perbuatan pidana yang dimaksud dalam tema skripsi ini, yaitu malpraktek di dalam bidang kedokteran.


Berkenaan dengan kerugian yang sering diderita pasien akibat kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) para tenaga kesehatan karena tidak menjalankan praktek sesuai dengan standar profesinya, saat ini masyarakat telah memenuhi pengetahuan serta kesadaran yang cukup terhadap hukum yang berlaku, sehingga ketika pelayanan kesehatan yang mereka terima dirasa kurang optimal bahkan menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan atau dianggap telah terjadi malpraktek kedokteran, masyarakat akan melakukan gugatan baik kepada sarana pelayanan kesehatan maupun kepada tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya atas kerugian yang mereka derita.
Demi mewujudkan keadilan, memberikan perlindungan, serta kepastian hukum bagi semua pihak, dugaan kasus malpraktek kedokteran ini harus diproses secara hukum. Tentunya proses ini tidak mutlak menjamin akan mengabulkantuntutan dari pihak pasien atau keluarganya secara penuh, atau sebaliknya membebaskan pihak tenaga kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan yang dalam hal ini sebagai pihak tergugat, dari segala tuntutan hukum. Pemeriksaan terhadap dugaan kasus malpraktek kedokteran ini harus dilakukan melalui tahapan-tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan untuk membuktikan ada/ tidaknya kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja.
Untuk membuktikan kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan ataupun sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja dalam dugaan kasus malpraktek kedokteran ini, hakim di pengadilan dapat menjadikan rekam medis pasien sebagai salah satu sumber atau bukti yang dapat diteliti.



B. Perumusan Masalah

Hukum terlihat begitu memihak pada pihak yang lebih memiliki kuasa dan uang. Hukum lemah dalam memperjuangkan hak rakyatnya yang telah menjadi korban malpraktik.
Sebenarnya siapa yang paling bersalah dalam kasus seperti ini? Tentu saja pihak rumah sakit. Mengapa rumah sakit tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dilakukan? Haruskah mempersulit masalah seperti ini demi melindungi nama baik rumah sakit?. Dengan tersebarnya kasus seperti ini walaupun belum terungkap yang sebenarnya, nama rumah sakit tersebut sudah mendapat keraguan dari masyarakat. Tidak ada asap jika tidak ada api. Kasus ini timbul karena kesalahan dari pihak rumah sakit. Mengapa kasus ini harus dibesar-besarkan yang justru membuat nama rumah sakit tersebut tercemar? Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah pertanggung jawaban bukan fakta yang dibalikkan. Pasien yang justru dirugikan dan tidak mendapat pertanggung jawaban.
C. TUJUAN
1. Untuk mendapatkan kejelasan, mengkaji dan menganalisa hubungan hukum dalam transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien.
2. Untuk mendapatkan kejelasan, mengkaji dan menganalisa Penyelesaian perkara – perkara perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh dokter dalam transaksi terapeutik
3. Untuk mendapatkan kejelasan, mengkaji dan menganalisa peranan IDI dalam rangka membantu penyelesaian masalah pada kasus-kasus malpraktek


D.MANFAAT
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi Ilmu Hukum khususnya hukum Kedokteran, yang permasalahanya selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan Ilmu Kedokteran itu sendiri.

2. Diharapkan dapat menjebatani antara kepentingan hukum dan kepentingan pelayanan medis untuk mencapai asas keseimbangan kepentingan dokter dan kepentingan pasien / masyarakat / umum

3. Bagi para dokter, studi ini dapat dijadikan bahan renungan dan kajian dalam memberikan pelayanan medis yang terbaik sesuai dengan standar profesi dan etika kedokteran terhadap pasien / masyarakat



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan umum tentang profesi dokter.
1. Profesi dokter
Adalah suatu pekerjaan dokter yang dilaksanakan berdasarkan keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat
2. Praktek kedokteran
Adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh profesional medis terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan kegiatan penerapan keilmuan yang meliputi pengetahuan ( knowledge), keterampilan ( skill ), dan sikap ( attitude) profesional kepada pasien dalam pelayanan medis. Jadi, penerapan keilmuan dibidang kedokteran merupakan suatu perbuatan atau tindakan ( conduct ) yang bersifat tehnik medis dan perilaku ( behaviour ) yang secara bersamaan harus dipenuhi dalam menjalankan kegiatan tehnis medis tersebut15.
3. Pelayanan medis.
Pelayanan medis mempunyai dua pengertian yaitu :
3.1. Medical services / health service/ pelayanan medik/ pelayanan kesehatan, mengandung arti sebagai pelayanan yang diberikan oleh sarana pelayanan medis. Medical services ini meliputi dua kelompok kegiatan pelayanan yaitu :
1). Kegiatan asuhan medis ( medical care ), yang merupakan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter kepada pasien dalam rangka melakukan upaya kesehatan.



2). Kegiatan yang bukan asuhan medis ( non medical care ), yang merupakan kegiatan yang tidak langsung berhubungan dengan asuhan medis termasuk pelayanan informasi, keyamanan, kebersihan lingkungan dan lain sebagainya.

3.2. Medical care/ asuhan medis, yaitu pelayanan yang dilakukan oleh profesional medis yang dimulai dari anamnesa ( tanya jawab ), diagnosa, sampai terapi, termasuk membuat rekam medis, membuat surat keterangan medis, membuat persetujuan medis, memberi informasi medis dan lain-lain. Dimana kegiatan tersebut berkaitan langsung dengan kegiatan tehnik medis.
B. Hak serta kewajiban dokter dan pasien
Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar individu dalam didang kesehatan, the right of self determination. Dalam hubungan dokter – pasien, secara relatif pasien berada dalam posisi yang lemah. Kekurang mampuan pasien untuk membela kepentingannya dalam situasi pelayanan kesehatan, menyebabkan timbulnya hak-hak pasien dalam menghadapi para profesional kesehatan terabaikan. Hubungan antara dokter dengan pasien, sekarang adalah partner dan kedudukan keduanya secara hukum adalah sama. Pasien mempunyai hak dan kewajiban tertentu, demikian pula dokternya. Secara umum pasien berhak atas pelanyanan yang manusiawi dan perawatan yang bermutu.

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik, No.02.04.3.5.2504 tahun 1997, tetang pedoman hak dan kewajiban dokter, pasien dan rumah sakit. SE Dirjen Yan Med terebut didasarkan pada UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan berbagai pertimbangan hukum, etik kedoktern, hak-hak dokter dan hak-hak pasien24.


Kewajiban pasien:
1. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib di klinik/rumah sakit.
2. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dan perawat dalam pengobatannya.
3. Pasien berkewajiban memberikan informasi dengan jujur dan selengkapnya tentang penyakit yang diderita kepada dokter yang merawat.
4. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban untuk memberi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit/ dokter.
5. Kewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
6. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
7. Memberikan informasi lengkap tentang perjalanan penyakit, pengobatan yang sudah diperoleh, berapa lama menderita sakit, perubahan fisik, mental, tindakan pengobatan dan perawatan yang lalu.
8. Bersedia diperiksa dalam kaitannya penegakan diagnosis, menentukan prognosis.
9. Mematuhi nasehat dokter untuk mengurangi penderitaan akibat penyakit dan bersedia untuk berpartisipasi menjaga kesehatannya.
10. Memberi imbalan jasa.
11. Menjaga kehormatan profesi dokter.
12. Kewajiban memberi kesempatan cukup agar dokter dapat bekerja dengan baik.




Hak pasien
1. Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien.
2. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit
3. Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
4. Pasien berhak memperoleh pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi kedokteran/kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi.
5. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
6. Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.

KEWAJIBAN DOKTER
kewajiban:
1. Dokter wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara dokter tersebut dengan rumah sakit.
2. Dokter wajib merujuk pasien ke dokter lain/rumah sakit lain yang mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih baik, apabila ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
3. Dokter wajib memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan dapat menjalankan ibadah sesuai keyakinannya.
4. Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.
5. Dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
6. Dokter wajib memberikan informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya.
7. Dokter wajib membuat rekam medis yang baik secara berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien.
8. Dokter wajib terus-menerus menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi.
9. Dokter wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.
10. Dokter wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati/pekerjaan yang telah dibuatnya.
11. Dokter wajib bekerja sama dengan profesi dan pihak lain yang terkait secara timbal-balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
12. Dokter wajib mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak rumah sakit.
13. Dalam diagnosis dan pengobatan dokter mempunyai tanggung jawab paling besar. Seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya wajib melakukan upaya yang terbaik untuk senantiasa memberi pelayanan yang terbaik, mendahulukan kepentingan pasiennya, profesional dan akuntabel.
14. Dokter mempunyai kewajiban untuk menjaga kesehatan fisik, rohani dan spiritual dengan istirahat cukup untuk memulihkan kondisi fisik, rohani dan spiritual.

Hak dokter
1. Dokter berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2. Dokter berhak untuk bekerja menurut standar profesi serta berdasarkan hak otonomi. (Seorang dokter, walaupun ia berstatus hukum sebagai karyawan RS, namun pemilik atau direksi rumah sakit tidak dapat memerintahkan untuk melakukan sesuatu tindakan yang menyimpang dari standar profesi atau keyakinannya).
3. Dokter berhak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, profesi dan etika.
4. Dokter berhak menghentikan jasa profesionalnya kepada pasien apabila misalnya hubungan dengan pasien sudah berkembang begitu buruk sehingga kerjasama yang baik tidak mungkin diteruskan lagi, kecuali untuk pasien gawat darurat dan wajib menyerahkan pasien kepada dokter lain.
5. Dokter berhak atas privacy (berhak menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh pasien dengan ucapan atau tindakan yang melecehkan atau memalukan).
6. Dokter berhak untuk mendapat imbalan atas jasa profesi yang diberikannya berdasarkan perjanjian dan atau ketentuan/peraturan yang berlaku di RS.
7. Dokter berhak mendapat informasi lengkap dari pasien yang dirawatnya atau dari keluarganya.
8. Dokter berhak atas informasi atau pemberitahuan pertama dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap pelayanannya.
9. Dokter berhak untuk diperlakukan adil dan jujur, baik oleh rumah sakit maupun oleh pasien.
10. Hak rehabilitasi nama baik jika terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
11. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa (pasal 4 ayat b) : dalam keadaan darurat untuk keselamatan pasien, dokter dapat memberikan jasa pelayanan kesehatan, meskipun tidak dipilih oleh pasien.
12. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur (pasal 4 ayat c) : dalam keadaan tertentu untuk kepentingan pasien, dokter dapat menahan sebagian atau keseluruhan informasi tersebut.

C.Dasar hukum terjadinya transaksi terapeutik
Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, tentang perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang didasarkan sistem terbuka. Sistem terbuka ini tersirat dalam ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata,
yang menyatakan bahwa:
"Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuatdalam Bab ini dan Bab yang lalu".

Dari ketentuan Pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan dimungkinkannya dibuat suatu perjanjian lain yang tidak dikenal dalam KUHPerdata. Akan tetapi, terhadap perjanjian tersebut berlaku ketentuan mengenai perikatan pada umumnya yang termuat dalam Bab I Buku III KUHPerdata, dan mengenai perikatan yang bersurnber pada perjanjian yang termuat dalam Bab II Buku III KUHPerdata. Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut, harus dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan akibat yang ditimbulkannya diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang mengandung asas pokok hukum
perjanjian. Selanjutnya, ketentuan Pasal 1233 Bab I Buku III KUHPerdata, menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dapat dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena Undang-Undang. Dari ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan, dan Perikatan dapat ditimbulkan dari perjanjian. Bukan hanya perjanjian yang dapat menimbulkan perikatan, tetapi ketentuan perundang-undangan juga dapat menimbulkan perikatan. Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1339 dan Pasal 1347 Bab II Buku III KUHPerdata, terlihat konsekuensi logis ketentuan mengenai sumber perikatan tersebut karena para pihak dalam suatu perjanjian tidak hanya terikat pada hal-hal
yang secara tegas diperjanjikan tetapi juga pada segala hal yang menurut sifat perjanjian diharuskan menurut Undang-Undang. Selain itu, hal-hal yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan kesusilaan juga mengikat. Oleh karena itu, menyadari bahwa dari suatu perjanjian dapat timbul berbagai perikatan baik bersumber dari perjanjian itu sendiri, maupun karena menurut sifat perjanjiannya diharuskan menurut Undang-Undang, maka dalam menentukan dasar hukum transaksi terapeutik tidak seharusnya mempertentangkan secara tajam kedua sumber perikatan tersebut diatas. Walaupun kedua sumber tersebut dapat dibedakan, tetapi keduanya saling melengkapi dan diperlukan untuk menganalisis hubungan hukum yang timbul dari transaksi terapeutik.

Transaksi terapeutik itu dikategorikan sebagai perjanjian yang diatur dalam ketentuan Pasal 1601 Bab 7A Buku III KUHPerdata, maka termasuk jenis perjanjian untuk melakukan jasa yang diatur dalam ketentuan khusus28. Ketentuan khusus yang dimaksudkan adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Selain itu, jika dilihat ciri yang dimilikinya yaitu pemberian pertolongan yang dapat dikategorikan sebagai pengurusan urusan orang lain (zaakwaarnerning) yang diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata, maka transaksi terapeutik merupakan perjanjian ius generis. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian pemberian jasa, yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang satu menghendaki pihak lawannya melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan dengan kesanggupan membayar upahnya, sedangkan cara yang akandilakukan untuk mencapai tujuan tersebut diserahkan pada pihak lawannya. Dalam hal ini, biasanya pihak lawan tersebut adalah seorang ahli dalam bidangnya dan telah memasang tarif untuk jasanya



D.Syarat sahnya Transaksi terapeutik
Didalam membuat suatu perjanjian para pihak harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :
a. Adanya kata sepakat diantara para pihak.
b. Kecakapan para pihak dalam hukum.
c. Suatu hal tertentu.
d. Kausa yang halal.

Oleh sebab itu didalam perjanjian diperlukan kata sepakat, sebagai langkah awal sahnya suatu perjanjian yang diikuti dengan syarat-syarat lainnya maka setelah perjanjian tersebut maka perjanjian itu akan berlaku sebagai Undang- Undang bagi para pihaknya hal itu diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi :
“ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-
Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Disamping kedua asas diatas ada satu faktor utama yang harus dimiliki oleh para pihak yaitu adanya suatu itikad baik dari masing-masing pihak untuk melaksanakan perjanjian. Asas tentang itikad baik itu diatur didalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang berbunyi : “ Suatu Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

E.Berakhirnya Transaksi Terapeutik
Untuk menentukan kapan berakhirnya hubungan dokter – pasien sangatlah penting, karena segala hak dan kewajiban dokter juga akan ikut berakhir. Dengan berakhirnya hubungan ini, maka akan menimbulkan kewajiban bagi pasien untuk membayar pelayanan pengobatan yang diberikannya. Berakhirnya hubungan ini dapat disebabkan karena :
a. Sembuhnya pasien
Kesembuhan pasien dari keadaan sakitnya dan menganggap dokter sudah tidak diperlukannya lagi untuk mengobati penyakitnya dan pasien maupun keluarganya sudah mengganggap bahwa penyakit yang dideritanya sudah benar-benar sembuh, maka pasien dapat menghkiri hubungan transaksi terapeutik dengan dokter atau Rumah Sakit yang merawatnya.
b. Dokter mengundurkan diri
Seorang dokter boleh mengundurkan diri dari hubungan dokter – pasien dengan alasan sebagai berikut :
1. Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut.
2. Kepada pasien diberi waktu dan informasi yang cukup, sehingga ia bisa memperoleh pengobatan dari dokter lain.
3. Karena dokter merekomendasikan kepada dokter lain yang sama kompetensinya untuk menggantikan dokter semula itu dengan persetujuan pasiennya.
4. Karena dokter tersebut merekomendasikan ( merujuk ) kedokter lain atau Rumah Sakit lain yang lebih ahli dengan fasilitas yang lebih baik dan lengkap.
c. Pengakhiran oleh pasien
Adalah hak pasien untuk menentukan pilihannya akan meneruskan pengobatan dengan dokternya atau memilih pindah kedokter lain atau Rumah Sakit lain. Dalam hal ini sepenuhnya terserah pasien karena kesembuhan dirinya juga merupakan tanggungjawabnya sendiri.
d. Meninggalnya pasien
e. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan didalam kontrak.
f. Didalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan pasien sudah datang, atau terdapat penghentian keadaan kegawat daruratan.
g. Lewat jangka waktu Apabila kontrak medis itu ditentukan untuk jangka waktu.
BAB III
PEMBAHASAN
A.Hasil Penelitian
1. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien dalam Transaksi Terapeutik.

Rumah Sakit maupun dokter yang sedang praktek di Rumah Sakit, tidak bisa sepenuhnya menjalankan informed consent secara adekuat. Hal ini terutama terjadi didalam poliklinik – poliklinik pemeriksaan rawat jalan maupun UGD. Meskipun sebagian ada yang sudah menjalankan informed consent akan tetapi informasi yang diberikan tidak bisa lengkap. Dengan alasan karena secara tehnis hal ini sulit dilakukan saat pemeriksaan di poliklinik69. Menurut petugas poliklinik hal ini disebabkan karena jumlah pasien yang begitu banyak sehingga waktunya sangat terbatas, apalagi kalau pasien dalam keadaan lanjut usia dan yang sangat kesakitan, maka tidaklah mungkin satu persatu diberi penjelasan secara detail. Tingkat pendidikan dan pemahaman pasienpun berbeda-beda, sehingga apa yang disampaikan oleh dokter tidak mudah untuk dipahami. Pasien sendiri ada yang tidak mau tahu untuk apa persetujuan itu harus diberikan, yang terpenting menurut pasien adalah mendapat pelayanan dengan cepat dan sembuh dari penyakit yang dideritanya.

Keadaan inilah yang kemudian dianggap tidak penting sehingga dokterpun tidak perlu bersusah payah menjelaskan sesuatu yang menurut pasiennya sendiri dianggap tidak penting. Menurut dokter, bahwa pemeriksaan yang dilakukan itu merupakan rutinitas yang setiap hari mereka lakukan, dan hanya pada kasus-kasus tertentu saja yang mengandung resiko memang perlu penjelasan yang memadai, misalnya pada pasien yang memerlukan tindakan operasi atau tindakan medis lain yang mengandung resiko misalnya pemasangan cateter, infus dan lainnya. Itupun hanya ditandatangani oleh keluarga pasien saja, tanpa ditandatangani oleh dokter yang memeriksa, seharusnya ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Didalam blangko atau formulir tersebut telah dibuat secara sepihak yaitu oleh Rumah Sakit yang membuat pernyataan dengan menyebutkan bahwa:
1. Dokter dengan timnya telah menerangkan secara jelas tentang segala sesuatu penyakit yang sedang diderita pasien, sehingga saya benarbenar memahami keuntungan maupun resiko yang dapat terjadi baik sebelum, selama maupun sesudah tindakan perawatan pengobatan / pembiusan pembedahan yang dilakukan.
2. Setelah memahami dan mempertimbangkan penjelasan yang diberikan oleh dokter dan timnya, saya menyetujui untuk dilakukan tindakan pembedahan / pembiusan / pengobatan / perawatan.
3. Menyetujui untuk dilakukan tindakan lain yang diperlukan selama pemeriksaan / operasi.
4. Untuk keperluan pemeriksaan / perawatan / pengobatan lebih lanjut bagi pasien, saya memberikan wewenang sepenuhnya kepada dokter yang merawat pasien.
5. Sanggup menyelesaikan secara kekeluargaan apabila terjadi resiko dari tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien tersebut diatas.


Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak manapun, dengan demikian saya bersedia menanggung beban resiko dari tindakan perawatan / pengobatan / pembiusan / pembedahan termaksud diatas, dan tidak akan melakukan tuntutan hukum kepada pihak siapapun juga




B. Berikut ini sebuah contoh kasus yang terjadi di RSUD KOLAKA :
Pasien seorang pria berumur 60 tahun, mempunyai keluhan sakit perut sebelah kanan yang sering berulang. Pada saat ini keluhan tersebut sudah yang empat kalinya dan disertai demam tinggi. Dengan kondisi yang lemah, pasien tersebut diantar oleh keluarganya untuk memeriksakan dirinya kedokter umum yang terdekat. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter umum, pasien tersebut didiagnosa menderita penyakit appendicitis kronis exacerbasi akut yang kemudian oleh dokter dirujuk kerumah sakit terdekat yaitu RSUD di KOLAKA. Sesampainya di Rumah Sakit, pasien tersebut diterima oleh dokter jaga di UGD ( unit gawat darurat ), kemudian dikonsulkan ke dokter spesialis bedah yang yang bertugas pada waktu itu. Oleh dokter spesialis bedah itu pasien didiagnosa appendicitis akut dengan perforasi yang harus segera dioperasi karena merupakan kegawatdaruratan medis. Operasinya sendiri berjalan lancar, kemudian pasien dipindahkan kebangsal perawatan selama sepuluh hari dan diperbolehkan pulang. Selang tiga minggu kemudian, pasien kembali merasakan sakit perut yang luar biasa disertai demam yang tinggi dan perut membuncit. Oleh keluarganya diperiksakan kedokter umum langganannya. Setelah diperiksa ternyata ada defance muscular, dan nanah yang keluar lewat bekas jahitan, ini merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera ditangani. Kemudian oleh dokter tersebut dibuatkan surat rujukan dengan cop “ CITO “ yang harus segera ditindak lanjuti oleh Rumah Sakit tempat pasien dirujuk. Oleh dokter spesialis bedah, pasien tersebut segera ditangani dengan melakukan pembedahan lagi dengan persetujuan keluarga pasien, sebab saat itu kondisi pasien sudah lemah dan kesadarannya sudah turun sehingga sulit untuk berkomunikasi. Operasinya sendiri berjalan lancar, tetapi berjalan sampai berjam-jam. Setelah sadar pasien dibawa kebangsal perawatan dan dirawat sampai sepuluh hari, kemudian pasien diperbolehkan pulang dalam keadaan sehat. Tetapi selang satu bulan bemudian, pasien kembali merasakan sakit perut yang luar biasa dengan tanda-tanda yang sama seperti tersebut diatas dan kembali menjalani operasi untuk yang ketiga kalinya. Tetapi operasi yang ketiga ini belum bisa menyembuhkannya secara tuntas, sebab pasien masih sering sakit perut dengan nanah ( pus ) keluar dari bekas jahitan diperutnya. Saat itu pasien sudah trauma untuk dioperasi lagi, sehingga setiap tiga hari sekali hanya kontrol untuk mengeluarkan nanah dan ganti verban kedokter umum terdekat
sampai akhirnya pasien meninggal dunia. Oleh keluarganya, dokter spesialis bedah tersebut dianggap teledor dan kurang cermat dalam melakukan operasi sehingga tidak dapat menyembuhkan pasien secara tuntas dan justru berakhir dengan meninggal dunia.

Dalam keadaan keadaan tersebut diatas penandatangan formulir persetujuan dilakukan oleh keluarganya dan dapat menyusul atau bersamaan waktu pasien masih diruang bedah. Dari catatan medis yang dibuat selama operasi, dapat dilihat prosedur yang dilakukan dokter bedah dalam menangani pasien. Apabila ternyata diketemukan hal - hal yang menyulitkan atau membahayakan selama dalam pembedahan, maka dokter bedah harus segera memberitahukan hal tersebut kepada keluarga pasien. Juga diperoleh informasi bahwa penyakit tertentu misalnya appendicitis akut dengan perforasi ini merupakan penyakit yang memang cukup sulit untuk dilakukan operasi dalam arti beresiko tinggi, banyak kendalanya karena nanah ( pus ) yang menyebar keluar dari usus dapat masuk kedalam rongga perut yang akhirnya menginfeksi organ lain dalam perut.





C.Pembahasan
1. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien dalam TransaksiTerapeutik

Suatu perjanjian apapun bentuknya harus mengikuti kaedah-kaedah umum yang berlaku, untuk syarat sahnya suatu perjanjian. Yaitu harus dipenuhi syaratsyarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu Adanya kata sepakat diantara para pihak, Kecakapan para pihak dalam hukum, Suatu hal tertentu dan Kausa yang halal. Secara yuridis, yang dimaksud dengan kesepakatan adalah pernyataan persesuaian kehendak antara pasien dengan dokter atas dasar informasi yang diberikan oleh dokter. Didalam transaksi terapeutik, penerima palayanan medis terdiri dari pasien orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa
yang tidak cakap sehingga memerlukan persetujuan dari pengampunya dan anak dibawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya. Untuk hal tertentu dalam hal ini adalah suatu upaya penyembuhan yang dalam pelaksanaannya memerlukan kerjasama yang berdasarkan sikap saling percaya. Oleh karena itu dalam mengemban kepercayaan ini dokter dalam mengupayakan penyembuhan terhadap pasiennya harus berdasarkan standar medis yang tertinggi. Sedangkan yang dimaksud oleh sebab yang halal adalah yang tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum seperti apapun alasannya menggugurkan kandungan adalah dilarang oleh Undang-Undang sehingga kesepakatan mengenai hal ini dianggap tidak memenuhi syarat perjanjian.

Menurut hemat penulis, informed consent harus tetap diberikan walaupun pada pemeriksaan dipoliklinik rawat jalan. Karena persetujuan medis akan timbul setelah pasien diberi penjelasan mengenai penyakitnya dan akibat-akibatnya yang dapat diperhitungkan menurut ilmu kedokteran dan kemudian pasien menyetujuinya. Hal ini sebenarnya telah diatur didalam aturan Permenkes Nomor 585 /Men.Kes/per/IX/1989 pada tanggal 4 September 1989 tentang Persetujuan Tindak medis. Bahwa setiap tindakan medis dan pengobatan, pasien harus diberi penjelasan kemudian menandatangani blangko / formulir persetujuan tindakan medis yang telah disediakan oleh Rumah Sakit. Dokter atau Rumah Sakit harus memberikan penjelasan atau informed sehingga pasien dapat memberikan persetujuan atau consent secara tertulis. Tetapi ada kalanya persetujuan tersebut tidak dinyatakan secara jelas dan terang-terangan melainkan hanya secara lisan saja, bahkan kadang-kadang hanya ditunjukkan secara simbolik dengan sikap yang pasrah mau mengikuti prosedur yang sudah ditentukan. Sebenarnya hal ini tidak akan mengurangi keabsahan dari persetujuan tersebut, tetapi kelak akan menimbulkan kesulitan apabila diperlukan untuk pembuktian. Apa yang terjadi di sebuah Rumah Sakit di Magelang, belum sepenuhnya dapat menjalankan Permenkes tersebut diatas. Sebetulnya dari bagian Rekam Medik sudah menyediakan formulir informed consent untuk tindakan medis yang mengandung resiko dengan menyebutkan nama identitas penderita maupun keluarganya dan kalusula-klausula yang kemudian ditandatangani oleh dokter operator, dokter anestesi, yang membuat pernyataan dan saksi. Tetapi dalam pelaksanaannya hanya ditandatangani oleh pasien atau keluarganya saja sedangkan untuk meminta tandatangan dokter sulit dilakukan, karena hal ini dianggap tidak terlalu penting. Menurut hemat penulis, justru hal ini sangat penting karena merupakan bukti tertulis yang menyatakan bahwa diantara para pihak telah terjadi kesepakatan. Sebetulnya ini merupakan perlindungan hukum terhadap pasien dan dokter sendiri tetapi kebanyakan tidak menyadarinya karena dianggap itu hanya formalitas saja. Padahal dampak hukum yang dapat ditimbulkan akan besar, karena pasien dapat mengadukan dokter telah melakukan penganiayaan.







Pada umumnya suatu perjanjian itu dimulai dengan pernyataan dari salah satu pihak yaitu pasien untuk mengikatkan dirinya atau menawarkan suatu perjanjian kehendak. Kemudian pihak yang lainnya yaitu dokter juga memberikan pernyataan menerima penawaran tersebut, sebelum tercapainya kesepakatan tersebut diperlukan komunikasi sebagai proses penyampaian informasi timbal balik antar pasien dengan dokter. Dengan demikian terjadilah persetujuan yang didasarkan atas informasi sebelumnya secara timbal balik antara pasien dengan dokter. Karena informed consent ini merupakan salah satu sumber dari perjanjian, dan perjanjian itu sendiri merupakan dasar dari perikatan yang dalam hal ini adalah transaksi terapeutik. Maka Informed Consent seharusnya diberikan secara lengkap agar dalam transaksi ini masing-masing pihak tahu apa saja yang diperjanjikan sehingga para pihak tahu apa yang menjadi hak dan kewajibanya sehingga dokterpun akan tahu jenis apa saja prestasi yang harus diberikan terhadap pasien. Karena dari prestasi ini dapat ditentukan apakah dokter tersebut telah melakukan wanprestasi. Suatu hal yang tidak masuk akal apabila kita melakukan transaksi tetapi obyek yang kita jadikan dasar transaksi tidak diketahui. Informed Consent ini harus disampaikan secara sederhana dan dimengerti oleh pasien, tentang tindakan medis yang akan dilakukannya supaya tidak menimbulkan salah pengertian antara dokter dengan pasien, karena para pihak tersebut mempunyai sudut pandang dan tingkat pemahaman yang berbeda. Jika informasi itu kurang atau tidak jelas, maka persetujuannya menjadi tidak sah dan batal. Dengan demikian pasien atau keluarganya dapat menuduh dokter telah melakukan penganiayaan apabila tindakan medis tersebut berupa operasi atau tindakan lain yang beresiko. Kecuali dalam keadaan darurat sehingga memaksa dokter untuk melakukan tindakan medis tanpa memberikan penjelasan yang memadahi masih bisa dimaklumi, tetapi jika keadaan darurat tersebut sudah terlewati maka dokter harus kembali mengikuti aturan yang normal yaitu informasi tetap disampaikan kepada pasien atau keluarganya.

Kalau dilihat dari klausula-kalusula dalam Informed Consent yang tertera dalam formulir persetujuan tindakan medis tersebut diatas, hal ini jelas menunjukkan bahwa kedudukan para pihak tidaklah seimbang, karena Rumah Sakit / dokter selalu berada pada posisi yang kuat sedangkan pasien selalu berada dalam posisi yang lemah. Hal ini bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan dan Undang-Undang. Karena persetujuan tidak bisa dilakukan apabila pihak yang lain ( pasien ) dalam keadaan terkekan dan ini bisa menyebabkan tidak sahnya persetujuan. Klausula tersebut didalam hukum disebut sebagai klausula eksemsi ( Exemption clause ) yaitu klausula yang berisi pembatasan tanggungjawab dokter atau Rumah Sakit87. Yang seolah-olah dengan ditandatanganinya surat pernyataan
tersebut apabila dokter melakukan kesalahan dalam menangani penyakitnya maka semua tanggungjawab dokter dan Rumah Sakit ditanggung sendiri oleh pasiennya. Dengan keadaan yang demikian, posisi pasien sangat dirugikan dan memberatkan. Karena setahu pasien yang terpenting adalah penyakitnya segera dapat Ibid Heniyatun disembuhkan atau ditangani oleh dokter sehingga dengan berat hati atau terpaksa pasien atau keluarganya mau juga menandatangani formulir tersebut.









D. Peranan IDI dalam rangka membantu penyelesaian masalah pada kasus kasus malpraktek.

Dalam rangka membantu penyelesaian kasus malpraktek, IDI dapat berperan secara tidak langsung maupun langsung.

1 .Peranan IDI secara tidak langsung.
Peranan tidak langsung ini ditunjukkan dengan dibuatnya rambu-rambu etika dan standar profesi medis maupun peraturan-peraturan lainnya dibidang kesehatan yang mengatur tentang izin praktek dan peraturan penyelenggaraan pelayanan medis. Hal ini terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya malpraktek. Karena setiap dokter harus senantiasa berpegang teguh pada kode etik dan standar profesi, dengan berpedoman pada kode etik dan standar profesi tersebut, apabila ternyata dalam menolong pasien tetap tidak dapat berhasil dengan baik , tidak sembuh atau bahkan meninggal dunia , maka dokter tersebut tidak bisa serta merta di persalahkan karena sebagai tolak ukur untuk menentukan kesalahan adalah tindakan dokter lain yang sama kompetensinya dalam situasi dan kondisi yang sama pula. IDI juga selalu mendorong anggotanya untuk selalu mengikuti perkembangan Ilmu Kedokteran dan
Tehnologi Kedokteran, hal ini tercermin dengan peraturan bahwa untuk memperpanjang ijin praktek harus mengikuti ujian komptensi yang diselenggarakan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, harus dapat mengumpulkan 250 SKP ( Satuan Kredit Profesi ) dengan mengikuti seminar-seminar, aktif dalam organisasi, bakti sosial dan lainnya yang diselenggarakan oleh IDI atau lembaga lainnya di bidang Kesehatan. Dalam setiap rapat IDI, selalu menekankan akan peran serta anggotanya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat secara berkesinambungan dengan membentuk daerah-daerah binaan. Hal ini untuk membantu pemerintah dalam bidang kesehatan yang ditujukan untuk membangun kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagimana yang dimaksud dlam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2 . Peranan IDI secara langsung

Sedangkan peranan IDI secara langsung, ditunjukkan dengan adanya “ Pengadilan Profesi “ dimana secara internal IDI mengadakan tindakan melalui persidangan oleh MKDKI ( Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ) maupun Majelis Kehormatan Etik Kedokteran ( MKEK ) . Karena dari persidangan tersebut dapat ditentukan tingkat kesalahan dan sanksi yang akan diberikan. Apabila dalam sidang internal ini dokter dinyatakan tidak bersalah, maka hal ini dapat dijadikan bukti tertulis dipengadilan. Tetapi bila ternyata kasusnya masih diteruskan kepengadilan maka IDI mempunyai badan BP2A yaitu Badan Pembinaan dan pembelaan Anggota IDI akan ikut membantu, karena badan ini memunyai tugas pokok membela kepentingan anggota IDI yang berkaitan dengan profesinya apabila digugat secara perdata maupun pidana. Tetapi tetap diprioritaskan diselesaikan secara kekeluargaan saja, apabila ada anggotanya yang sedang bermasalah dengan hukum dianjuran untuk diselesaikan diluar pengadilan bisa melalui mediasi, dan negosiasi.



BAB IV
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan diatas, penulis berkesimpulan sebagai berikut :\
1. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam transaksi terapeutik dapat terjadi karena adanya perjanjian dan Undang-undang. Untuk syarat sahnya perjanjian tetap mengacu pada ketentuan pasal 1320 KUHPerdata yaitu : Adanya kata sepakat diantara para pihak, Kecakapan para pihak dalam hukum, Suatu hal tertentu, dan Kausa yang halal.

Dalam hal ini, Informed consent memegang peranan penting dalam perjanjian yang akan menjadi dasar terjadinya transaksi terapeutik. Walaupun secara teori kedudukan pasien dengan dokter sama secara hukum, namun karena kurangnya pemahaman hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, pelanggaran-pelanggaran masih sering terjadi dan pasienlah yang dirugikan. Formulir yang harus ditandatangani oleh pasien selalu sudah diformat oleh Rumah Sakit, karena pasien posisinya dalam keadaan lemah dan pasrah untuk mengiba pertolongan medis, maka dengan terpaksa pasien mau menandatangani persetujuan itu demi memperoleh pelayanan medis.

2. Peranan IDI dalam rangka membantu penyelesaian masalah pada kasus-kasus malpraktek sangatlah besar, terutama dalam melindungi anggotanya. Karena untuk dapat mengatakan apakah perbuatan dokter itu termasuk malpraktek atau bukan adalah organisasi IDI sendiri yaitu lewat badan otomom MKEK ( Majelis Kehormatan Etik Kedokteran ). Untuk kasus-kasus yang sampai dipengadilan, IDI juga membentuk BP2A yaitu Badan Pembinaan dan Pembelaan Anggota IDI. Dengan
tugas pokoknya ialah membela kepentingan anggota IDI yang berkaitan dengan profesinya. Badan ini dibentuk dalam rangka membela anggota IDI yang menghadapi gugatan perdata. Tetapi dalam pembelaannya IDI tidak lantas membabi buta, karena tindakan sejawatnya harus tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan standar profesi medis. Oleh karena itu sekarang IDI menerapkan aturan yang ketat tentang pemberian ijin praktek yaitu melalui uji kompetensi dokter Indonesia yang diselenggarakan oleh Konsil kedokteran Indonesia dan persyaratan-persyaratan yang lain. Ini dilakukan tidak lain juga adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat / pasien.

B. SARAN
1. Dokter atau Rumah Sakit, harus mengetahui hukum kesehatan agar dapat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing pihak sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.
2. Hubungan dokter dan pasien harus dibuat seharmonis mungkin, agar bila terjadi sengketa dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
3. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya seharusnya dalam melakukan pelayanan medis disesuaikan dengan wewenang yang dimilikinya dengan terus meningkatkan profesionalisme dan kecakapan serta mengikuti perkembangan tehnologi dan informasi.
2. 4.Rumah Sakit sebaiknya mempunyai biro hukum dan advokasi, karena untuk mengantisipasi bila terjadi sengketa.





DAFTAR PUSTAKA

Andi Budiman, Malpraktek sebagai delik culpa, Varia Peradilan, 1990
Algra,N.E, Van Duyvendijk, K., Simorangkir,J.C.T., Boerhanoeddin
St.B.,1983. Mula Hukum, Binacipta, Jakarta.
IDI Wilayah Jawa Tengah, Pencegahan & Penanganan Kasus Dugaan
Malpraktek, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,
2006.
Ikatan Dokter Indonesia. Anggaran Dasar / Rumah Tangga. PB IDI,
-----------Hukum Medis, ( Medical Law ), Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2004.
Departemen kesehatan, kebijaksanaan dalam program jaminan mutu
di Puskesmas, Dit Bina Kesehatan, 1999
Keputusan Menteri kesehatan R.I No. 434/Men.Kes/SK/X/1983
Tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para
Dokter di Indonesia.
Keputusan Menteri Kesehatan R.I No. 983/Men.Kes/ SK/XI/1992
Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum.
Keputusan Menteri kesehatan R.I No. 56 Tahun 1995 Tentang Majelis
Peraturan pemerintah No. 10 Th 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran.
Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No. 523/Men.Kes/Per/XI/1982
Tentang Upaya Pelayanan Medik Swasta.
http://xavierbook.axspace.com/Kesehatan/091-malpraktek_dokter.htm
http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/malpraktek-dokter-menurut-hukum.html
http://kafeilmu.com/tema/makalah-tentang-malpraktek.html

Ditulis Oleh : irwansyah Hari: Rabu, Agustus 31, 2011 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

jangan lupa komentar yah