Upaya Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual-Beli Barang
(STUDI KOMPARATIF KETENTUAN THE UNITED NATIONS CONVENTION ON CONTRACTS FOR THE INTERNATIONAL SALE GOODS ATAU CISG DAN KUHPERDATA)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Perjanjian jual-beli merupakan jenis perjanjian timbal balik yang melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang membuat perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat. Sebagaimana umumnya, perjanjian merupakan suatu lembaga hukum yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan isi jenis perjanjian yang mereka buat. Akan tetapi kebebasan dalam membuat suatu perjanjian itu akan menjadi berbeda bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas yang melibatkan para pihak dari negara dengan sistem hukum yang berbeda. Masing-masing negara memiliki ketentuan tersendiri yang bisa jadi berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut tentu saja akan mempengaruhi bentuk dan jenis perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang berasal dari dua negara yang berbeda tersebut karena apa yang diperbolehkan oleh suatu sistem hukum negara tertentu ternyata dilarang oleh sisten hukum negara lainnya.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dapat timbul dari keanekaragaman sistem hukum tersebut maka komunitas perdagangan internasional membuat suatu konvensi internasional untuk mengatur perjanjian jual-beli barang internasional. Konvensi internasional mengenai perjanjian jual-beli internasional tersebut dilakukan pada tahun 1964 yang menghasilkan The Uniform Law on the International sale of Goods 1964 dan The Uniform Law on the Formation of Contract for the International Sale of Goods 1964. Pada tahun 1980 kedua konvensi tersebut telah direvisi oleh UNCITRAL dan kemudian diintegrasikan menjadi The United Nations Convention on Contracts for the International Sale Goods (CISG). Disamping itu telah dilakukan pula amandemen terhadap Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods.
Suatu jenis perjanjian jual-beli barang dibuat untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak. Perjanjian tersebut akan meliputi subyek dan obyek perjanjian, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian dan upaya hukum yang tersedia bagi para pihak apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.
B. Pokok Permasalahan
Dari uraian diatas, maka sebagai identifikasi pokok permasalahan dalam penulisan tugas pada mata kuliah Hukum Acara Perdata ini yaitu penulis akan melakukan kajian komparatif deskriptif mengenai perlindungan hkum bagi para pihak dalamperjanjian jual beli barang antara ketentuan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd) dan The Untited Nations Convention on Contract for the International Sale Goods (CISG).
BAB II
TINJAUAN TEORI MENGENAI PERJANJIAN JUAL BELI BARANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DATA DAN THE UNITED NATIONS CONVENTION ON CONTRACTS FOR THE INTERNATIONAL SALE GOODS (CISG)
A. Pengertian Perjanjian
1. Menurut KUHPerdata
Sudikno Mertokusumo (1996:103) mendefinisikan perjanjian sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Suatu perjanjian didefinisikan sebagai hubungan hukum karena didalam perjanjian itu terdapat dua perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yaitu perbuatan penawaran (offer, aanbod) dan perbuatan penerimaan (acceptance, aanvaarding).
Dalam pasal 1457 KUHPerd disebutkan bahwa jual-beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,dan pihak yang satu lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Jadi pengertian jual-beli menurut KUHPerd adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut (Subekti, 1995: 1)
Perjanjian jual-beli dalam KUHPerd menentukan bahwa obyek perjanjian harus tertentu, atau setidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan hak milik atas atas barang tersebut kepada pembeli.
Sementara itu, KUHPerd mengenal tiga macam barang yaitu barang bergerak, barang tidak bergerak (barang tetap), dan barang tidak berwujud seperti piutang, penagihan, atau claim.
2. Menurut CISG
Ketentuan CISG tidak memberikan definisi khusus mengenai perjanjian jual-beli barang internasional. Pasal 1 CISG hanya memberikan batasan lingkup penerapan dari ketentuan CISG tersebut.
Untuk menentukan pengertian perjanjian internasional, akan dikutip doktrin yang dikemukakan Martin Wolff (dalam Hamzah Rasyid, 1988: 111) bahwa contract is means an agreement between two or more parties which in accordinance with their intention, imposes a duty on at least one them, the promisor and creates for the promises a right to clain fulfillment of promises.
Sedangkan pengertian perjanjian internasional menurut Sidharta Gautama dalam Hamzah Rasyid (1998: 112) adalah perjanjian-perjanjian yang mempunyai suatu foreign element.
Pasal 1 CISG menyebutkan bahwa:
(1) Konvensi CISG akan berlaku terhadap kontrak jual-beli barang antara para pihak yang tempat usahanya berada di Negara yang berlainan:
a. bilamana negara-negara tersebut adalah negara –negara peserta konvensi CISG.
b. bilamana peraturan hukum perdata international menyebabkan berlakunya hukum dari suatu negara peserta.
(2) Fakta bahwa para pihak mempunyai tempat usaha di negara-negara yang berbeda akan diabaikan bilamana ini tidak dinyatakan baik dalam kontrak maupun dalam transaksi apapun antara, atau dari dari keterangan yang diungkapkan oleh para pihak tersebut setiap saat sebelum atau pada saat penyelesaian kontrak tersebut.
(3) Baik kebangsaan para pihak tersebut, maupun sifat perdata atau perdagangan dari para pihak ataupun dari kontrak tidak akan dipertimbangkan dalam menentukan berlakunya konvensi.
Dari rumusan pasal 1 CISG dapat dilihat bahwa perjanjian yang dimaksud harus memiliki karakter internasional sebagaimana kriteria dalam pasal1 ayat 1 CISG.
Mengenai barang, CISG juga tidak mendefinisikan secara langsung tetapi memberi batasan tentang barang yang dikecualikan oleh CISG.
Pasal 2 CISG menentukan bahwa Konvensi CISG tidak berlaku terhadap jual-beli :
1. Barang yang dibeli untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah, kecuali penjual, setiap saat sebelum atau pada waktu penyelesaian kontrak, tidak mengetahui atau tidak mengetahui atau tidak seharusnya mengetahui bahwa barang yang dibeli adalah untuk keperluan tersebut diatas;
2. melalui lelang;
3. melalui eksekusi atau karena wewenang hukum ;
4. obligasi, saham, investmen securities, kertas berharga, atau uang;
5. kapal, kendaraan terapung, hoverecraft atau pesawat terbang;
6. listrik.
Dari rumusan pasal 2 CISG nampak bahwa konvensi CISG hanya diterapkan pada barang bergerak dan barang berwujud kecuali yang disebut diatas. Transaksi mengenai benda tidak bergerak, lebih bersifat domestik daripada international.
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian
1. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam KUHPerdt
Hak dan Kewajiban Penjual
Penjual memiliki dua kewajiban utama yaitu menyerahkan hak milik atas barang dan barang menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung cacat tersembunyi. Sebaliknya embeli memiliki hak atas pembayaran harga barang, hak untuk menyatakan pembatalan berdasarkan pasal 1518 KUHPerd dan hak reklame.
Hak dan Kewajiban Pembeli
Pembeli berkewajiban membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Pembayaran harga dilakukan pada waktu dan tempat yang ditetapkan dalam perjanjian.
Harga tersebut harus berupa uang. Meski mengenai hal ini tidak ditetapkan oleh undang-undang namun dalam istilah jual-beli sudah termaktub pengertian disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang (Subekti, 1995: 21).
2. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam CISG.
Ketentuan CISG hanya mengatur secara khusus mengenai kewajiban para pihak sebagaimana ditentukan dalam bab II tentang kewajiban penjual dan bab III yang menyebutkan tentang kewajiban pembeli. Secara timbal balik dapat disimpulkan bahwa kewajiban penjual merupakan hak dari pembeli demikian pula sebaliknya.
Kewajiban Penjual Menurut CISG
- Menyerahkan barang-barang, dokumen-dokumen, sebagaimana diperlukan dalam kontrak (pasal 30).
- Jika penjual tidak tidak terikat untuk menyerahkan barang-barang di tempat yang ditentukan maka kewajibannya adalah menyerahkan barang-barang kepada pengangkut pertama untuk diserhkan barang-barang kepada pengangkut pertama untuk diserahkan kepada pembeli (pasal 31 sub a).
- Penjual harus menyerahkan barang-barang:
a) pada tanggal yang ditentukan.
b) dalam jangka waktu yang ditentukan.
c) dalam jangka waktu yang wajar (reasonable) setelah pembuatan kontrak (pasal 33).
- Penjual harus menyerahkan barang-barang sesuai dengan jumlah, kualitas dan persyaratan yang ditentukan dalam kontrak (pasal 35 ayat 1).
- Penjual harus menyerahkan barang-barang yang bebas dari tuntutan dan hak pihak ketiga kecuali pembeli menyetujui untuk mengambil barang-barang tersebut (pasal 41).
1. Kewajiban Pembeli Menurut CISG.
- Pembeli harus membayar harga barang-barang berdasarkan kontrak, hukum dan peraturan-peraturan (pasal 53-54).
- Jika pembeli tidak terikat untuk membayar harga di suatu tempat tertentu maka pembeli harus membayarnya ditempat dimana penyerahkan barang dan dokumen dilakukan (pasal 57 ayat 1).
- Pembeli harus membayar harga barang pada tanggal yang telah ditentukan dalam kontrak (pasal 59).
- Jika waktu pembayaran tidak ditentukan secara pasti maka pembeli harus membayar nya ketika penjual menempatkan barang-barang di tempat penyimpanan pembeli (pasal 59 ayat 1).
BAB III
UPAYA HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI BARANG MENURUT KETENTUAN THE UNITED NATIONS CONVENTION ON CONTRACTS FOR THE INTERNATIONAL SALE GOODS (CISG) DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Dalam CISG upaya hukum bagi penjual dan pembeli dalam hal terjadi sengketa pada pelaksanaan perjanjian dibagi dalam tiga kategori yaitu dalam hal breach of contract, fundamental contract, dan anticipatory breach. Dalam KUHPerd upaya hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual-beli diatur dalam pasal 1236-1243 KUHPerd dalam hal terjadi wanprestasi dan wanprestasi khusus yang masing-masing memiliki konsekuensi dan durasi pengajuan gugatan yang berbeda. Sedangkan gugatan ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252 KUHPerd.
Upaya Hukum dalam Breach of Contract
Bagi Pembeli diatur dalam pasal 45-52 CISG dan 74-77 CISG.
- Pembeli berhak meminta penjual untuk melakukan penyerahan barang.
- Pembeli berhak meminta barang pengganti dan ganti rugi.
- Pembeli berhak meminta pembatalan perjanjian.
- Pembeli berhak meminta penurunan harga.
Bagi Penjual diatur dalam pasal 61-65 CISG dan 74-77 CISG.
- Penjual berhak meminta pelaksanaan perjanjian pada pembeli untuk membayar harga, menerima penyerahan barang dan menentukan perpanjangan waktu untuk melakukan kewajiban.
- Penjual berhak meminta pembatalan perjanjian.
- Penjual berhak meminta ganti rugi termasuk kehilangan keuntungan (pasal 74-77 CISG).
Upaya-upaya hukum yang diatur dalam CISG saling berkaitan. Hak untuk pemulihan kerugian sebagaimana diatur dalam pasal 74-77 CISG tidak hilang bila para pihak menggunakan upaya hukum lainnya .
Upaya Hukum dalam Fundamental Breach
Pasal 25 CISG menegaskan pengertian dari fundamental breach bahwa suatu pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak akan bersifat mendasar apabila pelanggaran ini akan menimbulkan kerugian pada pihak lainnya sedemikian besarnya sehingga tidak memungkinkan untuk memperoleh apa yang diharapkan menurut perjanjian tersebut, kecuali pihak yang melakukan pelanggaran tersebut memang tidak dapat memperkirakan sebelumnya terjadinya hal tersebut, maupun siapapun lainnya dalam keadaan yang sama seperti dirinya akan secara wajar tidak dapat memperkirakan akibatnya yang demikian.
Sebagai akibat hukum dari fundamentum breach masing-masing pihak dapat meminta pembatalan perjanjian vide pasal 26 CISG.
Upaya Hukum dalam Anticipatory Breach
Para Pihak Berhak Meminta Penundaan Pelaksanaan Perjanjian.
Berdasarkan pasal 71 CISG, baik-penjual maupun pembeli dapat menunda pelaksanaan kewajiban apabila pihak lawan tidak melaksanakan suatu bagian penting dari kewajibannya sebagai akibat dari suatu kekurangan atas kemampuan pelaksanaan kewajiban atau kebonafiditasnya atau atau perbuatannya dalam mempersiapkan pelaksanaan atau pelaksanaan perjanjian tersebut.
1. Para Pihak Berhak Meminta Pembatalan Perjanjian.
Menurut pasal 72 CISG apabila sebelum tanggal penyerahan kontrak telah menjadi jelas bahwa salah satu pihak akan melakukan suatu pelanggaran yang mendasar terhadap perjanjian maka pihak lainnya dapat menyatakan perjanjian sebagai dibatalkan dengan pemberitahuan.
Dalam hal penyerahan barang secara angsuran adanya kegagalan pihak lawan untuk melaksanakan kewajibannya merupakan suatu pelanggaran mendasar dan karena itu dapat dimintakan pembatalan perjanjian. Namun demikian menurut CISG, tindakan avoidance tidak diberlakukan untuk seluruh isi perjanjian. Berdasarkan ketentuan pasal 81 CISG, avoidance tidak berlaku atas ketentuan mengenai sengketa, ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban para pihak sebagai akibat avoidance, dan pihak yang telah melaksanakan perjanjian baik secara keseluruhan atau sebagian berhak menuntut ganti kerugian.
Dalam perjanjian obligatoir, senantiasa terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat dituntut oleh pihak lain.
Pihak yang berhak menuntut disebut pihaak berpiutang atau kreditor dan pihak yang berwajib memenuhi tuntutan disebut sebagai pihak berhutang atau debitor. Sebaliknya, sesuatu yang dapat dituntut disebut dengan istilah prestasi.
Prestasi dalam KUHPerd dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Jika seorang debitor tidak memenuhi kewajibannya, menurut hukum debitor tersebut dikatakan wanprestasi yang menyebabkannya dapat digugat di depan hakim.
Subekti (1990: 45) mengklasifikasi tindakan wanprestasi menjadi empat macam, yaitu:
- Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilaksanakan;
- Melaksanakan apa yang diperjanjikan tidak sebagaimana mestinya;
- Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun Pitlo (1988: 55) berpendapat bahwa wanprestasi itu dapat terjadi jika debitor mempunyai kesalahan. Kesalahan adalah adanya unsur kealpaan atau kesengajaan. Kesengajaan terjadi jika debitor secara tahu dan mau tidak memenuhi kewajibannya. Kealpaan terjadi jika debitor dapat mencegah penyebab tidak terjadinya prestasi dan debitor dapat disalahkan karena tidak mencegahnya.
Demikian demikian seorang dapat dinyatakan wanprestasi manakala yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya unuk memenuhi prestasi dan tidak terlaksananya kewajiban tersebut karena kelalaian atau kesengajaan.
Van Dume (1989: 31) menyatakan bahwa apabila terjadi wanprestasi, maka kreditor yang dirugikan dari perikatan timbal-balik mempunyai beberapa pilihan atas berbagai macam kemungkinan tuntutan, yaitu:
- Menuntut prestasi saja;
- Menuntut prestasi dan ganti rugi;
- Menuntut ganti rugi saja;
- Menuntut pembatalan perjanjian;
- Menuntut pembatalan perjanjian dan ganti rugi.
Hal tersebut tidak lain dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kreditor, agar dapat mempertahankan kepentingan terhadap debitor yang tidak jujur. Namun demikian, hukum jugaa memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi debitor yang tiddak memenuhi kewajibannya, jika hal itu terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian.
Subekti (1985: 55) mengemukakan bahwa seorang debitor yang dinyatakan wanprestasi masih dimungkinkan untuk melakukan pembelaan berupa :
- Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa;
- Mengajukan bahwa kreditor sendiri juga telah lalai;
- Mengajukan bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
Ketentua mengenai keadaan memaksa tersebut dalam KUHPerd dapat ditemui dalam pasal 1244 dan 1245 KUHPerd. Kedua pasal itu dimaksudkan untuk melindungi pihak debitor yang telah beritikad baik.
Namun demikian, Pitlo (1988: 65) menegaskan bahwa jika debitor telah melakukan wanprestasi, maka debitor tidak dapat lagi membebaskan diri dengan dasar keadaan memaksa yang terjadi setelah debitor debitor ingkar janji.
Halangan debitor untuk melaksanakan perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa secara teoritis dapat dibedakan antara keadaan memaksa mutlak dan tidak mutlak.
Prodjodikoro (1989: 56) menyatakan bahwa keadaan memaksa absolut terjadi keadaan itu menyebabkan janji sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun dan bagaimanapun. Keadaan memaksa tidak mutlak terjadi apabila pelaksanaan janji masih mungkin tetapi demikian sukarnya dan dengan pengorbanan dari pihak yang berwajib sedemikian rupa sehingga patutlah bahwa kewajiban untuk melaksanakan janji itu dianggap tidak ada atau lenyap.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam perjanjian obligatoir seperti perjanjian jual-beli senantiasa terdapat suatu kewajiban oleh salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat dituntut oleh pihak lain. CISG maupun KUHPerd masing-masing memberikan beberapa upaya hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam hal terjadi pelanggaran atas perjanjian jual-beli, yaitu:
1. Meminta pelaksanaan perjanjian;
2. Meminta pembatalan perjanjian;
3. Meminta ganti kerugian termasuk kerugian akibat kehilangan keuntungan.
Dalam CISG, masih dikenal upaya hukum yang lain yaitu penundaan pelaksanaan perjanjian yang dapat diminta oleh salah satu pihak atas pihak lainnya apabila terjadi anticipatory breach sebagaimana ditentukan dalam pasal 71 dan 72 CISG.
Secara garis besar, upaya hukum dalam perjanjian jual-beli menurut CISG adalahsebagai berikut :
Dalam hal breach of contract :
- upaya hukum bagi pembeli diatur dalam pasal 45-52 CISG .
- upaya hukum bagi penjual diatur dalam pasal 61-65 CISG.
Dalam hal fundamental breach :
Upaya hukum bagi penjual dan pembeli diatur dalam pasal 26 CISG.
Dalam hal anticipatory breach :
Upaya hukum bagi penjual dan pembeli diatur dalam pasal 71 dan 72 CISG.
Sementara itu, ketentuan untuk ganti kerugian bagi para pihak diatur dalam pasal 74-77 CISG. Dalam KUHPerd, upaya hukum bagi penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli diatur dalam Buku III. Dalam hal terjadi wanprestasi dan wanprestasi khusus terdapat ketentuan pasal 1266-1243 dan dalam hal ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252 KUHPerd.
B. Saran
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian jual-beli internasional dalam CISG maupun perjanjian dalam KUHPerd menganut sistem terbuka dimana para pihak bebas menentukan bentuk dan isi perjanjian (vide pasal 6 jo pasal 12 CISG dan pasal 1338 KUHPerd). Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam CISG maupun KUHPerd dapat dipilih sebagai dasar hukum dari perjanjian yang dibuat para pihak atau sebagai pelengkap jika para pihak menentukan sendiri bentuk dan isi perjanjiannya.
Oleh karena itu para pihak sepatutnya memperhatikan bentuk dan isi perjanjian secara detail termasuk ketentuan yang mengatur tentang sengketa diantara mereka. Ketentuan tersebut sangat urgen untuk menjamin kepentingan hukum mereka dan untuk mengantisipasi d
Home » Makalah Hukum » Upaya Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual-Beli Barang
Upaya Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual-Beli Barang
Ditulis Oleh : irwansyah Hari: Selasa, Agustus 30, 2011 Kategori: Makalah Hukum
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah