Home » Unlabelled » MENJAGA AGAMA DENGAN PENAFSIRAN
MENJAGA AGAMA DENGAN PENAFSIRAN
“Kegiatan membaca atau membaca ulang pada dasarnya adalah tindakan teoritis (al-‘amal al-nadzari). Tradisi intelektual Islam sangat kaya dengan tindakan teoritis semacam ini. Setiap pembaharuan (tajdid) dalam sejarah Islam juga selalu dimulai dari tindakan teoritis dalam bentuk membaca dan menafsir kembali tradisi tekstual yang ada. Sejarah agama menjadi menarik karena adanya tradisi membaca dan menafsir ulang seperti itu. Suatu agama di mana di dalamnya kita jumpai kehidupan menafsir yang terus-menerus tanpa henti, pertanda bahwa ia adalah agama yang hidup, bukan dead religion, agama yang mati, agama yang telah menjadi mumi.”
Assalamu’alaikum, selamat malam,
Malam ini kita akan mendengarkan pidato kebudayaan yang akan disampaikan oleh teman saya Dr. Abdul Moqsith Ghazali, berjudul “Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam”. Ini adalah acara tahunan yang digagas oleh Forum Pluralisme Indonesia. Ini adalah pidato seri kedua. Saya berharap setiap tahun pidato seperti ini terus bisa diselenggarakan dan menjadi tradisi yang terawat hingga di masa depan yang jauh.
Apa tujuan sebuah pidato seperti ini? Bukankah yang dibutuhkan oleh umat Islam saat ini bukan pidato, tetapi sebuah tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah?
Menurut saya, baik orasi dan aksi, teori dan aksi, keduanya sama penting. Saya kurang begitu suka untuk memperlawankan teori dan aksi. Mengikuti pandangan para filsuf Muslim klasik seperti Ibn Sina dan Al-Farabi, kebahagiaan manusia diperoleh karena kombinasi yang seimbang antara teori dan aksi, antara ilmu-ilmu teoritis (al-‘ulum al-nazariyyah) dan ilmu-ilmu praktis (al-‘ulum al-‘amaliyyah). Baik kehidupan kontemplatif (vita contemplativa) dan kehidupan aktif (vita activa), keduanya sama-sama penting untuk mencapai –meminjam istilah dalam filsafat Yunani—eudemonia, kehidupan yang bahagia.
Gagasan tentang perkawinan antara teori dan aksi sebetulnya tak asing bagi umat Islam. Dalam al-Qur’an, kata iman kerap disebut secara berbarengan dengan amal –alladzina amanu wa ‘amilu al-shalihat. Suatu tindakan sosial akan memiliki bobot moral yang tinggi jika didorongkan oleh motivasi mendalam; jika disertai niat yang menyokongnya. Itulah iman. Innama ‘l-a’mal bi ‘l-niyyat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang terkenal: tindakan haruslah dilandasi oleh niat. Jika tindakan sosial dikerjakan tanpa suatu landasan motivasional yang kuat di baliknya, tanpa dasar-dasar teoritis yang kokoh, ia hanyalah menjadi pekerjaan arbitrer: sembarang dan semena-mena, yang tak bernilai apa-apa.
Perkembangan sosial-politik yang cepat saat ini memaksa umat Islam, juga umat-umat agama lain, untuk melakukan pembacaan kembali atas tradisi panjang yang mereka warisi dari generasi yang lalu. Pembacaan ulang adalah kata kunci di sini.
Kenapa kita memakai kata “membaca” di sini? Sebab, setiap agama, termasuk Islam, pada akhirnya terlembagakan dalam sebuah tradisi, yakni tradisi penafsiran. Sementara setiap tradisi selalu berwatak tekstual. Ia pada akhirnya adalah sebuah teks, tekstur yang terdiri dari jalinan gagasan yang terkait dengan situasi tertentu. Setiap teks selalu membuka diri pada kegiatan mental yang disebut dengan membaca. Sementara itu, kegiatan membaca bukanlah tindakan yang sekali terjadi sesudah itu mati dan berhenti. Membaca adalah tindakan mental dan intelektual yang tak pernah berhenti –kegiatan yang sifatnya perenial, abadi, non-stop. Oleh karena itu, setiap teks, termasuk teks-teks yang terbentuk melalui tradisi Islam, akan selalu terbuka terhadap pembacaan dan pembacaan ulang secara terus-menerus.
Kegiatan membaca atau membaca ulang pada dasarnya adalah tindakan teoritis (al-‘amal al-nadzari). Tradisi intelektual Islam sangat kaya dengan tindakan teoritis semacam ini. Setiap pembaharuan (tajdid) dalam sejarah Islam juga selalu dimulai dari tindakan teoritis dalam bentuk membaca dan menafsir kembali tradisi tekstual yang ada. Sejarah agama menjadi menarik karena adanya tradisi membaca dan menafsir ulang seperti itu. Suatu agama di mana di dalamnya kita jumpai kehidupan menafsir yang terus-menerus tanpa henti, pertanda bahwa ia adalah agama yang hidup, bukan dead religion, agama yang mati, agama yang telah menjadi mumi.
Di sinilah letak pentingnya sebuah “pidato” seperti yang akan kita dengarkan dari Sdr. Abdul Moqsith Ghazali malam ini. Pidato semacam ini adalah sarana untuk menyatakan suatu kegiatan membaca ulang kepada publik luas.
Kegiatan membaca ulang memang mengandung resiko, dan biasanya kurang disukai oleh kalangan yang menjaga tradisi atau kaum ortodoks. Sebab, setiap pembacaan ulang memang biasanya berujung pada evaluasi atas status quo. Sementara itu, evaluasi akan berujung pada perubahan. Dan setiap perubahan biasanya kurang disukai oleh power that be, kekuasaan yang ada. Ini bukan hal yang aneh. Ini adalah hukum besi perubahan (iron law of change) yang lazim kita jumpai di mana-mana. Dalam setiap tradisi akan selalu ada dua impetus atau dorongan –dorongan ke arah perubahan dan penolakan atas perubahan itu.
Saya ingin menutup pengantar saya ini dengan menegaskan kembali pentingnya usaha memperluas secara terus-menerus “ruang mental/intelektual” dalam umat. Apa yang saya sebut sebagai ruang mental di sini adalah ruang di mana tersedia kesempatan yang cukup bagi umat untuk melakukan penafsiran dan penafsiran ulang. Perubahan-perubahan ke arah yang positif dalam level kehidupan riil biasanya dimungkinkan karena adanya ruang mental yang cukup dalam sebuah masyarakat/umat untuk memperdebatkan sejumlah alternatif penafsiran dan pembacaan.
Ruang mental semacam ini hanya bisa hidup jika ada orang-orang yang mau mendedikasikan dirinya pada kehidupan teoritis –kelompok yang oleh al-Qur’an disebut sebagai kelas sosial yang melakukan tindakan “yatafaqqahu fi al-din”, mendalami dan merefleksikan soal-soal keagamaan. Inilah kelas kaum terpelajar yang hidupnya didedikasikan untuk menelaah dan membaca ulang tradisi; kaum yang menjalani vita contemplativa. Kawan saya Abdul Moqsith Ghazali adalah contoh orang yang menjalani hidup kontemplatif dan teoritis semacam ini. Sialnya, memang, dalam setiap masyarakat, kelas yang menjalani vita contemplativa semacam ini akan selalu berhadapn dengan status quo. Dan ini tampaknya memang kutukan tak terhindarkan bagi setiap kelas terpelajar di manapun. Dan ini pula tampaknya kutukan yang dihadapi para nabi di masa lampau.
Malam ini, kita sejenak akan menikmati kehidupan kontemplatif itu. Besok, anda bisa kembali menjalani vita activa, kehidupan aktif yang normal, kehidupan yang penuh dengan gebalau dan kebisingan.
Sekian.
Ditulis Oleh : irwansyah Hari: Jumat, September 30, 2011 Kategori:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah