Home » KISAH PERCINTAAN » GAYA PEMERINTAHAN YANG BAIK
GAYA PEMERINTAHAN YANG BAIK
Abstract
Good governance encompasses not just public administration fungtions embraces action by executive bodies (executive), but also the other branches of power, e.g. law making process by parliaments and law enforcement by judicial bodies (legislature and yudiciary). The term of governance is a very versatile one. It is used in connection with several contemporary to take forms and contents of good governance, e.g. participation, predictability, transparency, resposiveness, effectiveness and efficiency, accountability, and so forth.
Understanding in depth of good governance, the importance for government aparatus of executive bodies, assemblies (parliaments) and judicial bodies (yudiciary), will be carefull and keeping political and legal moral quality of systemic procedures and processes in place for planning, management and decision-making.
Significancy an understanding of good governance to take place civil society (individuals and groups) to know there is criterion indicators for monitoring aparatus executive bodies, parliaments and judicial bodies, the manner in which power is exercised in the management activities a place in such decisions, then propose effectively and social control optimaly, so that could provide some useful insights into the quality of decision-making processes have in place. Advanced quality of decision-making in which monitoring indicators for predictability, accountability, transparency and widely participated, ability to ensure the degree of democracy. In a similar vein emphasized competitive elections as the essence of democracy.
Keywords: law, moral, good governance.
Hukum Dalam Masyarakat
Untuk sampai pada pembahasan tentang pemerintahan yang baik, kiranya perlu uraian singkat mengenai tingkat pemahaman masyarakat terhadap hukum. Banyak filsuf berpendapat bahwa hukum merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia terutama kehidup¬an bernegara. Dalam pembicaraan sehari-hari, media cetak, media elektronik, maupun dalam berbagai kesempatan, seringkali dilontarkan berbagai macam bentuk ungkapan yang mengatasnamakan hukum, baik bagi mereka yang berlindung atasnama hukum, maupun pihak-pihak yang menghujat hukum itu sendiri.
Konsep hukum sangat luas, meskipun dalam berbagai rumusan dan tulisan telah merujuk dan mengutip pendapat para sarjana maupun filsuf terkemuka di dunia yang mencoba untuk memberikan suatu definisi atau bentuk-bentuk pemahaman mengenai hukum. Dalam praktik tidak jarang dijumpai kesalahpahaman atau salah penafsiran, bahkan telah memberikan penafsiran baru terhadap hukum itu sendiri.
Pada dasarnya, suatu hukum yang baik adalah hukum yang mampu mengakomodasi dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya. Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Namun sudah sejak lama orang mempunyai keraguan atas hukum yang dibuat manusia. Misalnya pada zaman Romawi enam ratus tahun sebelum Masehi, Anarchasis menulis bahwa hukum seringkali berlaku sebagai sarang laba-laba, yang hanya menangkap “…the weak and the poor, but easily be broken by the mighty and rich…”. Di sisi lain, kaum Sofist berpendapat bahwa “justice is the interest of the stronger”, bahwa hukum merupakan hak dari penguasa. Karena itu, dalam ‘The Second Treatise of Government’ (1980), John Locke telah memperingatkan bahwa “whereever law ends, tyranny begins”.
Dalam hubungan ini, maka terlihat bahwa hukum yang berlaku mencerminkan ideologi, kepedulian dan keterikatan pemerintah pada rakyatnya, tidak semata-mata merupakan hukum yang diinginkan rakyat untuk mengatur mereka. Hukum yang berpihak pada rakyat, yang memperhatikan keadilan sosial, yang mencerminkan perlindungan hak asasi manusia, seperti tercantum dalam konstitusi UUD 1945. Hukum bukan hanya merupakan pedoman berperilaku bagi rakyat, tetapi juga bagi para pejabat pemerintahan dan seluruh penyelenggara kenegaraan.
Dalam Black’s Law Dictionary (1999: 889), Bryan A. Garner memberikan definisi hukum sebagai:
The regime that orders human activies and relations through systematic application of the force of politically organized society, or trough a pressure, backed by force, in such a society; the legal system (respect and obey the law). The aggregate of legislation, judicial precedents, and accepted legal principles; the body of judicial and administrative action (the law of land). The judicial and administrative process, legal action and proceedings (when settlement negotiations failed, they submitted their dispute to the law)…....
Melalui uraian singkat arti hukum di atas, maka secara umum dapat dikatakan bahwa manusia pada dasarnya secara berkesinambungan berupaya untuk memberikan pemahaman tentang hukum, dan setidaknya telah memahami tentang konsep hukum. Banyak para pakar yang berusaha untuk memberikan arti hukum, tetapi tidak jarang arti hukum tersebut dikatakan masih bersifat mendekati sempurna. L.J. van Apeldoorn (1983: 13) menulis, tidak mungkin memberikan definisi tentang hukum, yang sungguh-sungguh dapat memadai kenyataan. Seperti kata Immanuel Kant, bahwa para jurist masih mencari suatu definisi bagi pengertian mereka tentang hukum (noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht). Demikian pula Dennis Lloyd, dalam L.B. Curzon (1979: 24-25), “… although ‘much juristic ink’ has been used in an attemp to provide ‘a universally acceptable definition of law’ there is little sign of the objective having been attained”. Walaupun sejak beribu tahun orang sibuk mencari sesuatu definisi tentang hukum, namun belum pernah terdapat sesuatu yang memuaskan. Kesulitannya terletak pada kata-kata yang dipergunakan dalam mengartikulasikan hukum yang pada akhirnya membatasi ruang gerak pemikiran tentang hukum itu sendiri.
Para sarjana terus mencoba untuk memberikan arti hukum, tetapi hukum itu sendiri tetap hidup meskipun tanpa diberikan arti maupun definisi. Terhadap terminologi hukum masyarakat pun sudah memberikan suatu kesan atau pandangan tertentu. Namun keadaan demikian ini tidak dapat dikatakan sebagai pernyataan untuk suatu alasan pemaaf bagi para pejabat hukum untuk mengabaikan atau tidak mengetahui arti hukum. Hukum bukan sesuatu yang mistik seperti zaman purbakala, melainkan sesuatu yang rasional yang dijangkau oleh setiap orang yang hidup dalam masyarakat secara sadar. Di sisi lain, hukum tidak dapat diberikan sembarang arti, atau diberikan arti sesuai selera oleh sembarang orang, terlebih disalahgunakan.
Hukum yang melandasi good governance menjadi landasan dalam berperilaku, bukan hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi para pejabat pemerintahan di badan-badan legislatif, eksekutif atau administratif dan badan-badan yudisial. Walau demikian, hukum dimaksud adalah hukum yang memang benar-benar diciptakan melalui proses yang benar dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, dengan mengacu pada kepentingan masyarakat dan keadilan sosial. Tanpa adanya hukum yang berkeadilan, baik yang dibuat oleh badan-badan legislatif, eksekutif maupun yudisial, sulit diharapkan bahwa hukum akan diterima dan dijadikan panutan. Dalam hubungan ini, baik dari komponen-komponen hukum, maupun dari faktor-faktor yang memandu orientasi masya¬rakat, apalagi dari penghormatan terhadap prinsip keadilan bagi penerapan hukum itu nyatalah bahwa lembaga-lembaga kenegaraan yang menetapkan norma hukum, melaksanakan¬nya, maupun yang menindak pelanggaran terhadapnya, dan lebih lagi para pejabat yang menyandang jabatan lembaga-lem¬baga tersebut memainkan peranan yang besar.
Dari uraian singkat tentang hukum dalam kehidupan masyarakat di atas, pada akhirnya kita akan berbicara mengenai manusia dalam mencoba untuk mengaplikasikan hukum, dan refleksi dari para pejabat hukum yang terjadi di badan-badan legislatif, eksekutif atau administratif dan badan-badan yudisial, serta akibat yang ditimbulkannya.
Good Governance
Dalam banyak kepustakaan dan berbagai wacana ilmu pemerintahan dan hukum, istilah good governance banyak diangkat ke dalam pembahasan. Seolah-olah, hendak mendesak istilah ‘clean government’ yang sebelumnya lebih banyak dikenal dan mewarnai pembahasan dalam kepustakaan. Institute On Governance (IOG: 2003), Ottawa, Canada, dalam ‘Principles for Good Governance in the 21st Century’ membedakan istilah government dan governance, dengan memberikan definisi:
Governance is not synonymous with government. This confusion of terms can have unfortunate consequences. A public policy issue where the heart of the matter is a problem of “governance” becomes defined implicitly as a problem of “government”, with the corollary that the onus for “fixing” it necessarily rests with government.
Dalam Vinod Sahgal and Deepa Chakrapani (2000), IOG memberikan definisi:
Governance comprises the institutions, processes and conventions in a society which determine how power is exercised, how important decisions affecting society are made and how various interests are accorded a place in such decisions.
Commission on Global Governance (1995), dalam Vinod Sahgal and Deepa Chakrapani (2000), memberikan konsep:
Governance is the sum of the many ways individuals and institutions, public and private, manage their common affairs. It is a continuing process through which conflicting or diverse interests may be accommodated and co-operative action may be taken. It includes formal institutions and regimes empowered to enforce compliance, as well as informal arrangements that people and institutions either have agreed to or perceive to be in their interest.
Dalam ‘Clean Government and Public Financial Accountability’, Vinod Sahgal and Deepa Chakrapani, (2000), mengajukan suatu konsep, bahwa:
The first pillar of the Comprehensive Development Framework (CDF) calls for good and clean government. The CDF assumes that clean government promotes good governance. But good governance requires at minimum four elements: effective public financial accountability relationships between a country’s governing bodies and its executive management, transparent decisionmaking, stakeholders participation, and ethical practices.
Dalam ‘Sustainability and good governance: Monitoring participation and process as well as outcomes’ (Adelaide: 2002), Julia Porter, memberikan definisi:
Governance encompasses not just government, but also the private sector and civil society (individuals and groups) and the systems, procedures and processes in place for planning, management and decision-making.
Di sisi lain, dalam Black’s Law Dictionary (1999: 703), government diberikan definisi antara lain sebagai “… an organization through which a body of people exercise political authority; the machinery by which sovereign power is expressed…”.
Dari uraian pengertian di atas, sepertinya tidak ada beda arti antara apa yang disebut government yang harus ‘bersih’ dan apa yang disebut governance yang harus ‘baik’. Keduanya sama-sama merujuk pada arti ‘pemerintah’ atau ‘pemerintahan’. Pemerintah atau pemerintahan, pada dasarnya merupakan suatu struktur lembaga formal menyelenggarakan tugas keseharian negara.
Konsep good governance banyak dikembangkan dalam berbagai tulisan oleh para pakar dengan masing-masing argumentasi dan justifikasi, sehingga dikatakan sebagai ‘a rather confusing variety of catchword; yang oleh Harkristuti dikatakan sebagai suatu konsep yang ‘has come to mean too many different things’. Demikian halnya menurut Europa Union Commission (1997), bahwa “the term “governance” is a very versatile one”, dengan memberikan definisi governance, sebagai:
It is used in connection with several contemporary social sciences, especially economics and political science. It originates from the need of economics (as regards corporate governance) and political science (as regards State governance) for an all-embracing concept capable of conveying diverse meanings not covered by the traditional term “government”. Referring to the exercise of power overall, the term “governance”, in both corporate and State contexts, embraces action by executive bodies, assemblies (e.g. national parliaments) and judicial bodies (e.g. national courts and tribunals).
Dalam ‘Oxford Advanced Learner’s’ (2000: 557), Hornby memberikan arti governance sebagai “the activity of governing a country or contolling a company or an organization; the way in which a country is governed or a company or institution is controlled”.
Dengan mendasarkan pada pengertian di atas, istilah governance pada dasarnya menunjuk pada tindakan, fakta, atau perilaku governing, yakni mengarahkan atau mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik dalam suatu negara. Dengan demikian, makna good governance sebagai tindakan atau tingkah-laku yang didasarkan pada nilai-nilai, dan yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu di dalam tindakan dan kehidupan keseharian.
Kemungkinan perbedaan di antara keduanya, government hendak lebih menunjuk pada sistem organisasi atau struktur institusionalnya. Sedangkan governance lebih mengacu pada the manner, kinerja atau seni atau gaya moral-¬legal pelaksanaannya.
Dalam Kamus Filsafat (1995), istilah moral dan etika (ethics) mempunyai pengertian yang sama, meskipun asal kata berbeda. Moral berasal dari bahasa Latin mores, sedangkan etika dari bahasa Yunani ethos. Keduanya mempunyai pengertian the customs, yang berkaitan dengan aktivitas manusia yang dipandang baik atau tindakan yang benar, adil dan wajar. Dalam bahasa Inggris (Encyclopedia International, 1967: 543), ethics diartikan sebagai “branch of philosophy concerned with conduct, the determination of good, and of right and wrong”. Dalam New Webster Dictionary of the English Language (1970: 300), ethics juga diartikan sebagai “the science which treats of the nature and grounds of moral obligation; moral philosophy which teaches men their duty and the reasons of it; the science of duty”. Untuk membedakan kedua pengertian tersebut, dikenal dengan kata moral untuk menunjukkan perbuatan moral act. Sedangkan penyelidikan tentang moral sering diungkapkan sebagai ethical code. Jadi, etika lebih bersifat teori, sedangkan moral lebih menunjukkan praktik.
Di sisi lain, berkembang konsep governance, yang dirumuskan oleh World Bank (1997) sebagai ”….the manner in which power is exercised in the management of a country’s economic and social resources…”, dan the World Bank has identified three distinct aspects of governance:
(i) the form of political regime; (ii) the process by which authority is exercised in the management of a country’s economic and social resources for development; and (iii) the capacity of governments to design, formulate, and implement policies and discharge functions.
Konsep governance yang dirumuskan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD: 1995), sebagai:
The concept of governance denotes the use of political authority and exercise of control in a society in relation to the management of its resources for social and economic development. This broad definition encompasses the role of public authorities in establishing the environment in which economic operators function and in determining the distribution of benefits as well as the nature of the relationship between the ruler and the ruled.
Dengan pengertian tersebut, World Bank dan OECD memberi makna good governance, sebagai penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab, yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien. Penghindaran salah alokasi dan investasi, serta pencegahan korupsi secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran berikut penciptaan kerangka politik dan hukum yang kondusif bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.
Apabila seperti uraian di atas pengertiannya, maka clean government dapat diterjemahkan sebagai ‘pemerintahan yang bersih’, sedangkan good governance dapat diterjemahkan sebagai ‘seni atau gaya moral pemerintahan yang baik’. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan ‘bersih’ dalam istilah clean government tersebut telah jelas, yakni tidak korup, tidak kolusif dan nepotis, serta perbuatan tercela lainnya. Sedangkan yang dimaksudkan dengan ‘baik’ dalam istilah good governance, lebih memerlukan suatu butir-butir moral-legal dalam pelaksanaannya.
Prinsip-prinsip Good Governance
Kunci utama dalam memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip good governance, akan dapat diperoleh tolok-ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik dan tidak baiknya penyelenggaraan pemerintahan, dapat dinilai apabila pelaksanaannya telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance.
United Nations Development Programme (UNDP: 1997), memberikan definisi governance sebagai:
Governance is viewed as the exercise of economic, political and administrative authority to manage a country’s affairs at all levels. It comprises mechanisms, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their differences.
Dari definisi governance tersebut, UNDP memberikan pemikiran good governance, sebagai suatu hubungan sinergis antara negara, masyarakat dan sektor swasta, yang berlandaskan pada sembilan prinsip atau karakteristik, yakni participation (partisipasi masyarakat), rule of law (tegaknya supremasi hukum), transparency (tranparansi), resposiveness (sikap responsif), consensus orientation (berorientasi pada konsensus), equity (kesetaraan atau kesederajatan), effectiveness and efficiency (efektifitas dan efisiensi), accountability (akuntabilitas), dan strategic vision (visi strategis).
1. Participation. “All men and women should have a voice in decision making, either directly or through legitimate intermediate institutions that represent their interest. Such broad participaion is built on freedom of association and speech, as well as capacities to participate constructively”. Partisipasi masyarakat, artinya semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Legal frameworks should be fair and enforced impartially, particularly the laws on human rights. Tegaknya supremasi hukum, artinya kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparency. Transparency is built on the free flow of information. Processes, institutions, and information on directly accessible to those concerned with them, and enaugh information is provided to understand and monitor them. Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4. Responsiveness. Institutions and processes try to serve all stakeholders. Sikap responsif, peduli pada stakeholder, artinya lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5. Consensus orientation. Good governance mediates differing interest to reach a broad consensus on what is in the best interests of the group, and where possible, on policies and procedures. Berorientasi pada konsensus, artinya tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan apabila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6. Equity. All men and women have opportunities to improve or maintain their well being. Kesetaraan atau kesederajatan, artinya semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Effectiveness and efficiency. Processes and institutions produce results that meet needs while making the best use of resources. Efektifitas dan efisiensi, artinya proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Accountability. Decision makers in government, the private sector, and civil society organization are accountable to the public, as well as to institutional stakeholders. This accountability differs depending on the organization and whether the decision is internal or external to the organization. Akuntabilitas, artinya para pengambil keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat, bertanggungjawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9. Strategic vision. Leaders and the public have a broad and long term perspective on good governance and human development, along with a sense of what is needed for such development. There is also an understanding of the historical, cultural, and social complexities in which that perpective is grounded. Visi strategis, artinya para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Bagi masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian dan bersih, dalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-wenang, baik atas diri, hak maupun harta bendanya. Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku “melayani, bukan dilayani”, “mendorong, bukan menghambat”, “mempermudah, bukan mempersulit”, “sederhana, bukan berbelit-belit”, “terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk sekelompok orang”, (Mustopadidjaja, 2003).
Dalam kaitan pelayanan dan perlindungan, ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat, yakni administrasi negara dan penegak hukum. Makna administrasi negara sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara, yang esensinya ‘melayani publik’, harus benar-benar dihayati oleh para penyelenggara pemerintahan negara. Karena itu wajar apabila tuntutan good governance terutama ditujukan pada reformasi administrasi negara dan penegakan hukum. Berdasarkan hal tersebut, secara praktis usaha mewujudkan good governance adalah pemerintahan yang bersih, memberikan kemudahan dan berbagai jaminan bagi masyarakat.
Gaya Moral Pemerintahan Yang Baik
Dalam perspektif yang lebih luas, konsep governance meliputi tiga dimensi utama yakni ekonomi, politik dan administrasi, yang kesemuanya berada dalam kawasan negara dan masyarakat yang saling berinteraksi untuk menjalankan fungsinya masing-masing. Dengan demikian, untuk mewujudkan good governance maka harus ada kerjasama yang bersifat sinergis antara negara dengan masyarakat yang mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemennya, seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol masyarakat.
Elemen-elemen prinsip demokrasi tersebut, dinormatifisasi dalam Pasal 2 UU No.28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sebagai asas umum penyelenggaraan negara, yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.
asas kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara;
asas tertib penyelenggaraan negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara;
asas kepentingan umum, adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;
asas keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara;
asas proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara;
asas profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
asas akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, suatu pelaksanaan pemerintahan dapat disebut bergaya moral baik, apabila keputusan-keputusan politik atau hukum di badan-badan legislatif, eksekutif atau administratif dan badan-badan yudisial, memenuhi asas umum penyelenggaraan negara i.c. sebagai elemen-elemen prinsip demokrasi di atas.
Di antara prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemennya tersebut, empat prinsip di antaranya merupakan prasyarat utama yang saling terkait satu sama lain. Dengan kata lain, suatu pelaksanaan pemerintahan dapat disebut bergaya moral baik, sekurang¬-kurangnya memenuhi empat syarat yang meliputi legitimasi, akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. Pertama, keputusan itu berlegitimasi atau taat asas, sehingga kekurangan dan kelebihannya akan dapat terprediksikan sebelumnya (predictable). Kedua, pembuat keputusan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh masyarakat (accountable). Ketiga, prosesnya tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi yang dapat mengindikasikan adanya kolusi (transparency). Keempat, prosesnya terbuka untuk mengakomodasi opini kritis masyarakat (participated).
Keempat prasyarat tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri, yang satu lepas dari yang lain. Predictability akan menentukan apakah suatu keputusan hukum, secara kolektif oleh suatu dewan atau secara individual oleh seseorang pejabat, telah dibuat secara rasional, dan secara obyektif sebagai bagian dari suatu sistem normatif yang telah dibangun. Dengan demikian, kemudian juga benar-benar dapat dimintai pertanggungjawabannya.
Partisipasi masyarakat, hanya dapat dipenuhi apabila sesuatu hal sampai batas tertentu telah dapat dibuat secara transparan. Sementara itu, mustahil norma accountability dapat direalisasi apabila kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi tidak dibuka. Begitu halnya, norma transparansi tidak ada gunanya, bila hal itu tidak dimaksudkan untuk memungkinkan partisipasi dan permintaan akuntabilitas masyarakat. Norma transparansi ‘memaksa’ peningkatan akuntabilitas masyarakat. Partisipasi masyarakat tidak dapat terlaksana tanpa adanya transparansi. Akuntabilitas sulit terlaksana tanpa pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Ketidakjelasan dan ketidaktransparanan dalam proses pengambilan keputusan, membuat masyarakat selalu diliputi oleh berbagai pertanyaan, apakah memang benar bahwa kepentingan masyarakat selalu diprioritaskan. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering), kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan.
Dengan demikian membangun pemerintahan yang good governance sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku para pejabat pemerintahan. Kejujuran adalah hal yang paling penting untuk dikembangkan dalam pembinaan sumber daya insani, karena kejujuran tidak ada modulnya. Kejujuran sangat dipengaruhi oleh keimanan dan integritas seseorang. Sebagai konsekuensi, pemerintah dengan sendirinya dituntut untuk meningkatkan kemampuan sumber daya insaninya sesuai dengan bidang tugasnya, kesejahteraannya, termasuk menentukan sikap dan perilakunya, agar mampu berpikir dengan baik dan benar.
Pentingnya Memahami Good Governance
Pentingnya memahami good governance, dengan hak dan kewajiban yang dimiliki agar masyarakat mengetahui bahwa tolok-ukur yang diperlukan guna menilai kinerja para pejabat pemerintahan itu ada, kemudian didayagunakan secara efektif, melaksanakan kontrol sosial secara optimal, sehingga dapat diharapkan kualitas keputusan-keputusan para pejabat pemerintahan akan terjaga. Tingginya kualitas keputusan-keputusan oleh para pejabat pemerintahan yang tertengarai memenuhi tolok-ukur predictability, accountability, transparency dan widely participated, akan mengindikasikan tingginya kadar demokrasi di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keputusan para pejabat pemerintahan yang kehilangan konsistensi dan obyektifitas, mempunyai kecenderungan yang kuat untuk menjadi sewenang-wenang. Kesinambungan sikap dan konsistensi dalam tindakan para pejabat pemerintahan amat menentukan kadar kepastian hukum. Rapuhnya kesinambungan sikap dan konsistensi dalam tindakan, akan mengakibatkan kaburnya kepastian hukum. Keputusan-keputusan seperti itu akan sulit dievaluasi, apabila prosesnya tidak transparan dan data serta informasi yang diperlukan untuk memberikan tolok-ukur tidak terbuka untuk umum. Sulit memperoleh akses ke sumber-sumber yang dapat digunakan untuk menelusuri informasi sebagai tolok-ukur yang akurat. Sedangkan diketahui bahwa suatu keputusan seseorang penguasa yang dikaji dan dinilai untuk memperoleh kritik, akan meningkatkan kualitas dan signifikansi sosial¬ politiknya. Kehilangan signifikansi sosial-politik, pada gilirannya keputusan-keputusan para pejabat pemerintahan seperti itu hanya akan bermakna baik di atas kertas daripada realitas.
Keputusan-keputusan seperti itu pada umumnya hanya akan menjadi signifikan apabila pelaksanannya dipaksakan dengan dukungan kekuasaan dan kekuatan sanksi secara fisik. Sedangkan diketahui bahwa sanksi fisik jika terlanjur eksesif, hanya akan menjadikan segala keputusan, baik yang in abstracto dalam bentuk keputusan legislatif untuk diundangkan, maupun yang in concreto dalam bentuk keputusan pejabat administratif dan juga dalam bentuk amar putusan hakim, akan menjadi sangat represif. Dengan demikian, hanya keputusan-keputusan yang telah teruji melalui partisipasi masyarakat yang menyumbangkan opini-opini kritik melalui antara lain debat dan wacana publik, keputusan-keputusan yang mempunyai akibat hukum akan tampil dalam sifatnya yang responsif dan demokratis. Pada gilirannya akan terproses pula secara wajar untuk menjadi signifikan dalam kehidupan sosial-politik.
Gaya Moral Pemerintahan Yang Baik Dalam Hukum
Pemerintahan dalam definisinya yang luas, tidak hanya berkenaan dengan apa yang dikerjakan para pejabat di wilayah eksekutif dan administrasi semata, tetapi juga yang berlangsung di wilayah legislatif dan yudisial. Maka, wacana tentang syarat gaya moral pelaksanaan pemerintahan yang baik, dimasukkan pula ke dalam proses bagaimana hukum itu dibentuk dan ditegakkan.
Merupakan tuntutan dalam kehidupan hukum yang demokratis dan berwawasan kemasyarakatan untuk memberikan tolok-ukur setiap proses pengambilan keputusan oleh para pejabat yang berwenang, atas dasar kriteria mengenai gaya moral pelaksanaannya. Para pejabat pemerintahan dan anggota masyarakat yang berkepentingan mesti sama-sama mengetahui kriteria untuk memberikan tolok-ukur ada-tidaknya good governance dalam praktik-praktik pemerintahan yang akan berdampak pada kehidupan mereka.
Dengan memahami secara baik seluk-beluk dan liku-liku good governance, para pejabat pemerintahan akan berhati-hati dalam bertindak guna menjaga kualitas moral-politik dan moral-legal keputusan-keputusannya. Sementara itu, dengan mengetahui apa yang dimaksud dengan good governance, masyarakat pun akan dapat memberikan tolok-ukur dan menilai apakah badan legislatif, baik di pusat maupun di daerah, telah menguasai dan mampu melaksanakan gaya moral governance yang baik atau belum. Masyarakat akan dapat menilai kepatuhan anggota-anggota badan legislatif pada ketentuan-ketentuan yang ada mengenai mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan demi terjaganya sistem hukum. Kepatuhan pada mekanisme dan prosedur serta sistem yang ada, pada gilirannya akan menjamin terpenuhinya tuntutan predictability dan accountability.
Dengan mengetahui apa yang dimaksud dengan good governance, masyarakat akan dapat mengamati dan memberikan tolok-ukur apakah para pelaksana penegakan hukum sebagai fungsionaris dalam suatu proses peradilan, hakim, jaksa, polisi dan pengacara, telah bertindak sesuai dengan persyaratan gaya moral governance yang baik atau belum. Pengetahuan dan kepahaman masyarakat mengenai sesuatu yang baik dalam wilayah yudisial, akan dapat digunakan untuk menilai proses penyelesaian berbagai perkara yang telah atau yang masih harus diselesaikan melalui pengadilan.
Dalam proses peradilan, indikator yang dapat digunakan untuk mengamati dan memberikan tolok-ukur gaya moral governance adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hukum, antara lain: “Adakah tindakan-tindakan kepolisian atau kejaksaan pada tingkat penyelidikan dan penyidikan telah berlangsung seperti yang diharapkan dan patut didugakan?” “Adakah tindakan-tindakan polisionil demi hukum dapat dipertanggungjawabkan?” Adakah penyelenggaraan sidang-sidang pengadilan, baik pada tahap dakwaan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan hukuman, telah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan?”
Implementasi Gaya Moral Pemerintahan Yang Baik
Governance dan good governance, cenderung dipahami sebagai persoalan manajemen pemerintahan dalam artinya yang sempit. Dirumuskan oleh International Council on Archives Paris (ICA), France, dalam proposal ‘The Management of Public Sector Records in Developing Countries’, bahwa:
The management of recorded information is thus a cornerstone of any government’s ability to ensure the degree of openness, accountability and integrity necessary to fulfill the government’s basic responsibility to serve the public interest. This is fundamental to the capacity of the state to embrace sound governance in terms of the direct and indirect management of public affairs and the maintenance of the rule of law.
Akibat dari pemahaman sebagai persoalan manajemen pemerintahan dalam arti yang sempit, maka apabila persoalan governance dan good governance dimasukkan sebagai persoalan hukum dan peradilan, persoalannya akan disempitkan ke dalam persoalan hukum acara, mekanisme dan prosedur formal belaka. Pejabat hukum akan dinilai sudah bertindak benar apabila mekanisme dan prosedur formal telah diikuti, meski dalam maknanya yang harfiah dan sumir.
Padahal, persoalan good governance adalah persoalan gaya dan moral pengelolaan proses, yang memerlukan pemahaman terhadap ¬maknanya yang lebih substantif. Persoalan governance merupakan persoalan yang terkait erat dengan kepentingan masyarakat sebagai stakeholders dalam suatu kehidupan bernegara. Dari perspektif paham demokrasi, persoalan good governance adalah persoalan public predictability, public accountability, public transparency, dan public participation.
Dalam persoalan gaya moral governance, apabila pemahaman rule of law dimaksudkan untuk mengontrol kepatuhan prosedural para pejabat pemerintahan, dan rule of law diletakkan sebagai norma hukum yang tertinggi (supreme), maka harus dipahami bahwa dalam rule of law itu hendak ditegakkan demi kepentingan dan dimudahkannya masyarakat memperoleh pengetahuan informatif suatu range of predictability mengenai tindakan-tindakan para pejabat pemerintahan yang berwenang membuat keputusan¬-keputusan.
Oleh karena persoalan gaya moral pemerintahan yang baik, relevan dengan kepentingan masyarakat, maka sangat diperlukan kesadaran masyarakat atas kewajiban dan hak-hak yang dimiliki untuk memantau dan menilai kinerja para pejabat pemerintahan di badan-badan eksekutif berikut para pejabat yang mengisi jajaran birokrasi, sipil atau militer, serta badan-badan legislatif dan badan-badan yudisial. Kesadaran seperti ini perlu ditumbuhkembangkan, sehingga masyarakat akan dapat mengevaluasi berdasarkan tolok-ukur yang ada. Hanya dalam kondisi demikian, hak untuk menuntut predictability, accountablity, transparency dan participation, masyarakat dapat mengevaluasi kinerja para pejabat pemerintahan dan mencegahnya dari tindakan-tindakan yang menyimpang.
Reformasi Administrasi Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik
Dalam kehidupan bernegara, administrasi negara merupakan wahana utama penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Di samping melakukan pengelolaan pelayanan, administrasi negara juga bertugas menterjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional. Karena itu administrasi negara merupakan faktor penentu keberhasilan dalam mewujudkan good governance. Dalam hubungan ini, hal utama yang perlu ditempuh adalah terwujudnya good governance yang berlandaskan prinsip-prinsip participation, rule of law, transparency, resposiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability dan strategic vision, serta integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Dalam Article 41, Charter of Fundamental Rights of the European Union (EN C 364/18 Official Journal of the European Communities 18.12.2000), disebutkan “Right to good administration”:
1. Every person has the right to have his or her affairs handled impartially, fairly and within a reasonable time by the institutions and bodies of the Union.
2. This right includes:
the right of every person to be heard, before any individual measure which would affect him or her adversely is taken;
the right of every person to have access to his or her file, while respecting the legitimate interests of confidentiality and of professional and business secrecy;
the obligation of the administration to give reasons for its decisions.
3. Every person has the right to have the Community make good any damage caused by its institutions or by its servants in the performance of their duties, …….
Dengan mengadopsi Right to good administration dari Charter of Fundamental Rights of the European Union di atas, maka pemahaman administrasi dan pelayanan publik merupakan hak masyarakat, yang pada dasarnya:
1. memperoleh penanganan urusan-urusannya secara tidak memihak, adil dan dalam waktu yang wajar;
2. hak untuk didengar sebelum tindakan individual apapun yang akan merugikan dirinya diputuskan;
3. hak atas akses untuk memperoleh berkas milik pribadi dengan tetap menghormati kepentingannya yang sah atas kerahasiaan dan atas kerahasiaan profesionalitasnya;
4. kewajiban pihak administrasi negara untuk memberikan alasan-alasan yang mendasari keputusannya;
5. memperoleh ganti rugi yang ditimbulkan oleh lembaga atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan tugasnya.
Untuk meningkatkan pelayanan publik tidak terlepas dari upaya reformasi administrasi. Pelayanan publik tidak hanya sepenuhnya diandalkan pada adanya suatu peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukumnya, akan tetapi perlu dilakukan reformasi administrasi yang bermuara pada pembenahan birokrasi. Reformasi administasi meliputi: (1) reformasi administrasi ditujukan untuk perbaikan birokrasi; (2) reformasi birokrasi berkaitan dengan inovasi; (3) perbaikan atas efisiensi dan efektifitas pelayanan publik merupakan tujuan dari reformasi administrasi; (4) urgensi reformasi dijustifikasi dengan kebutuhan untuk mengatasi ketidakpastian dan perubahan dalam lingkungan organisasi. (Mark Turner and David Hume, 1997: 106)
Dalam posisi dan perannya yang demikian penting dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik, administrasi negara sangat menentukan efesiensi dan kualitas pelayanan kepada masyarakat, serta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, tuntutan akan reformasi administrasi negara mengandung makna perlunya langkah-Iangkah pendayagunaan terhadap sistem administrasi negara, pada berbagai lembaga dan individu, baik publik maupun privat, termasuk lembaga-lembaga negara dan berbagai lembaga yang berkembang dalam masyarakat, beserta segenap personnelnya, yang dilakukan secara sinergis dengan semangat mengemban amanat konstitusi, dan mengindahkan prinsip-prinsip good governance.
Reformasi sistem administrasi negara seperti di atas, memerlukan pelaksanaan yang terarah pada proses perubahan dan pencapaian sasaran yang meliputi aktualisasi tata nilai, yang melandasi dan menjadi acuan perilaku sistem dan proses administrasi negara, yang tertuju pada pencapaian tujuan bangsa dalam bernegara. Semua itu dikembangkan dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan negara, terwujudnya good governance, berdaya guna dan berhasil guna.
Tata nilai dalam suatu sistem berperan melandasi, memberikan acuan dan menjadi pedoman perilaku dalam sistem administrasi negara. Reformasi administrasi negara yang hendak dilakukan pertama-tama harus menjaga konsistensi dengan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara yang menjadi dasar eksistensi dan acuan perilaku sistem dan proses administrasi negara.
Dalam pembukaan UUD 1945 terkandung dimensi-dimensi nilai, yang terdiri atas dimensi spiritual, berupa pengakuan terhadap eksistensi Kemahakekuasaan dan curahan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dalam perjuangan bangsa (alinea tiga); dimensi kultural, berupa landasan falsafah negara yaitu Pancasila; dimensi institusional, berupa cita-cita (alinea dua) dan tujuan bernegara; serta nilai-nilai yang terkandung dalam bentuk negara dan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara (alinea empat). Penempatannya dalam konstitusi, menjadikannya sebagai nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa, yang harus diwujudkan dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dalam hubungan antar bangsa, sebagai acuan pokok dalam penyelenggaraan negara.
Dimensi-dimensi nilai itu pulalah yang harus diaktualisasikan dalam dan melalui reformasi administrasi negara dalam berbagai aspeknya, dalam rangka pencapaian kinerja yang terarah pada pencapaian tujuan bernegara.
Wujud dari reformasi administrasi negara adalah berupa sistem dan proses pemerintahan negara berdasarkan hukum yang merupakan perwujudan atas nilai peradaban dan kemanusiaan yang luhur, dilaksanakan dengan penuh kearifan, ketaatan, atau kepatuhan sebagai pejabat negara, warga negara dan warga masyarakat dunia. Dengan demikian hukum dapat ditempatkan pada tingkat yang paling tinggi, yang pada penerapannya tidak boleh menjadi subordinasi tetapi supremasi.
Untuk menjamin adanya pemerintahan yang good governance, maka dalam pembentukan hukum (law making process) harus ditujukan untuk mencapai tegaknya supremasi hukum. Pembentukan hukum sebagai sarana mewujudkan supremasi hukum, harus diartikan bahwa hukum termasuk penegakan hukum, harus diberikan tempat sebagai instrumen utama yang akan mengarahkan, menjaga dan mengawasi jalannya pemerintahan. Penegakan hukum harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi konsep yang jelas, dan integritas yang tinggi. Selain itu penegakan hukum harus benar-benar ditujukan untuk meningkatkan jaminan dan kepastian hukum dalam masyarakat, sehingga keadilan dan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat.
Pada akhirnya, reformasi dalam konsteks administrasi negara tersebut, baik di pusat maupun di daerah-daerah, perlu memperhatikan aktualisasi tata nilai yang terkandung dalam konstitusi dan prinsip-prinsip good governance, yakni participation (partisipasi masyarakat), rule of law (tegaknya supremasi hukum), transparency (tranparansi), resposiveness (sikap responsif), consensus orientation (berorientasi pada konsensus), equity (kesetaraan atau kesederajatan), effectiveness and efficiency (efektifitas dan efisiensi), accountability (akuntabilitas), dan strategic vision (visi strategis).
Simpulan
Kunci utama dalam memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip good governance akan diperoleh tolok-ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya penyelenggaraan pemerintahan, dapat dinilai apabila pelaksanaannya telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance.
Pentingnya memahami good governance, agar masyarakat mengetahui bahwa tolok-ukur yang diperlukan guna menilai kinerja para pejabat pemerintahan itu ada, kemudian didayagunakan secara efektif, melaksanakan kontrol sosial secara optimal, sehingga diharapkan kualitas keputusan-keputusan para pejabat pemerintahan akan terjaga. Tingginya kualitas keputusan-keputusan para pejabat pemerintahan yang tertengarai memenuhi tolok-ukur predictability, accountability, transparency dan widely participated, akan mengindikasikan tingginya kadar demokrasi di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Membangun pemerintahan yang good governance sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku para pejabat pemerintahan di badan-badan eksekutif berikut para pejabat yang mengisi jajaran birokrasi, sipil atau militer, serta badan-badan legislatif dan yudisial. Sebagai konsekuensi, pemerintah dituntut untuk meningkatkan kemampuan sumber daya insaninya sesuai dengan bidang tugasnya, kesejahteraannya, termasuk menentukan sikap dan perilakunya, agar mampu berpikir dengan baik dan benar. Dengan demikian para pejabat pemerintahan sebagai seorang penguasa di bidangnya, tidak akan menyalahgunakan kekuasaan dan mampu menjalankan mandat yang diberikan rakyat secara lebih bertanggungjawab.
Dalam konteks reformasi administrasi negara termasuk birokrasi di dalamnya, pada hakikatnya merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi UUD 1945. Dalam hubungan ini, reformasi administrasi negara juga merupakan jawaban atas tuntutan terhadap sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good governance, dan sumber daya insani pejabat pemerintahan dan seluruh penyelenggara kenegaraan yang memiliki integritas, kompetensi dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance tersebut, baik di badan-badan eksekutif berikut para pejabat yang mengisi jajaran birokrasi, sipil atau militer, serta badan-badan legislatif dan yudisial.
Ditulis Oleh : irwansyah Hari: Senin, Oktober 03, 2011 Kategori: KISAH PERCINTAAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah