Home » ISSU HUKUM » KRIMINALISASI RUU PORNOGRAFI
KRIMINALISASI RUU PORNOGRAFI
Saat ini parlemen kita sedang disibukkan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi yang akan segera disahkan menjadi undang-undang. Namun dalam proses menuju pengesahan tersebut, mengalami pro kontra baik dimasyarakat maupun antar fraksi diparlemen, yang pada akhirnya nanti bisa saja diambil langkah voting apabila tidak terjadi kesepakatan.
Kriminalisasi Pornografi
Satu hal yang menarik berkaitan dengan proses pengesahan RUU ini adalah ada pendapat bahwa ada RUU Pornografi ini terkesan dipaksa untuk segera disahkan. Mengapa menarik, karena pendapat tersebut menunjukkan bahwa RUU tersebut belum waktunya disahkan atau mungkin tidak perlu disahkan sama sekali. Padahal sebuah RUU yang akan segera disahkan seharusnya sudah tidak ada permasalahan lagi, khususnya berkaitan dengan masalah substansi/isinya. RUU Pornografi yang mengatur ketentuan pidana, tentunya sudah melewati tahapan kriminalisasi, yaitu sebuah tahapan dimana menetapkan sebuah perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana. Artinya, semua pasal-pasal pidana yang ada dalam RUU Pornografi tersebut penetapannya tidaklah sembarangan dirumuskan, namun sudah memenuhi syarat kriminalisasi. Begitupula dengan ketentun-ketentuan lain diluar ketentuan pidana, seperti ketentuan umum yang mengatur pengertian/definisi, dimana perumusannya mempertimbangkan aspek hukum, sosial, budaya, agama, politik dan lain-lain.
Dalam laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus tahun 1980 di Semarang, disebutkan tentang kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi, yaitu Pertama, apakah perbuatan itu tidak disukai/dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban; Kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan tertib hukum yang akan dicapai; Ketiga, apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya; dan Keempat, apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Keempat hal di atas merupakan kriteria/syarat yang harus diperhatikan/dipetimbangkan apabila ingin mengkriminalisasikan sebuah perbuatan. Setiap satu pasal ketentuan pidana yang ada dalam RUU Pornografi harus memenuhi keempat kriteria tersebut. Apabila tidak, maka pasal pidana itu hanya akan menjadi pasal mandul yang tidak efektif dalam aplikasinya.
Kriteria pertama, jelas sudah terpenuhi karena pornografi merupakan perbuatan yang tidak disukai/dibenci oleh masyarakat karena merugikan secara materi bahkan sosial, serta mendatangkan korban. Beberapa kasus perkosaan dan pencabulan serta maraknya prostitusi diantaranya karena ada korelasi dengan pornografi. Disamping itu, pornografi jelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama dan budaya ketimuran bangsa ini.
Kriteria kedua, harus dapat diperkirakan apakah dengan disahkannya RUU Pornografi nanti, betul-betul efektif dalam penerapannya sehingga menimbulkan tertib hukum. Artinya, biaya yang besar untuk penyusunan RUU tersebut, upaya pengawasan dan penegakan hukum yang akan dilakukan, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri tidaklah sia-sia.
Kriteria ketiga, dan ini sangat penting, yaitu apakah dengan adanya UU Pornografi nanti tidak menambah beban aparat penegak hukum yang sudah begitu banyak dan berat atau justru memang nyata-nyata tugas penegakan UU Pornografi nantinya tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki aparat penegak hukum. Walaupun tugas penegakan hukum juga menjadi tanggungjawab masyarakat, namun selama ini tugas tersebut lebih banyak kita serahkan ke aparat penegak hukum, terlebih dengan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah. Oleh karena itu, sebelum RUU Pornografi disahkan, perlu diperhitungkan sejauh mana kekuatan/kemampuan sumber daya manusia, baik kualitas maupun kuantitas dari aparat penegak hukum dan bagaimana kesiapan sarana dan prasarana yang akan digunakan dalam penegakan hukum UU Pornografi nantinya, termasuk ketersediaan peraturan pelaksananya.
Kriteria keempat, Pornografi jelas merupakan bentuk kejahatan yang dapat merusak generasi penerus bangsa dan dapat merusak sistem sosial masyarakat yang dapat menghambat proses pembangunan nasional.
Polemik Definisi Pornografi
Sejak awal RUU Pornografi diusulkan dan dibahas, sudah menimbulkan pro kontra dan polemik. Salah satunya dalam perumusan definisi pornografi. Dari kacamata agama bisa dinilai sebagai pornografi, namun dari kacamata seni belum tentu. Sepertinya sulit sekali untuk merumuskan definisi pornografi yang bersifat universal, yang dapat diterima semua pihak. Dalam penal policy (kebijakan hukum pidana), sebenarnya setiap perumusan dalam undang-undang tidak ada kewajiban untuk selalu membuat atau mendefinisikan setiap istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut. Termasuk istilah pornografi dalam RUU Pornografi.
Jadi mendefinisikan atau tidak mendefinisikan adalah pilihan politik dari pembuat undang-undang. Apabila sulit didefinisikan atau setelah didefinisikan justru menimbulkan polemik dan multitafsir, mungkin lebih baik jangan didefinisikan. Namun orang akan bertanya, bagaimana mungkin akan mengatur sesuatu, tetapi tidak ada kejelasan tentang apa yang diatur. Sebenarnya, apabila mengalami kesulitan dalam mendefinisikan pornografi, maka lebih baik jangan didefinisikan, tetapi cukup dengan mengatur secara eksplisit bentuk-bentuk perbuatan pornografi dalam pasal-pasal ketentuan pidananya.. Karena pasal-pasal pidana inilah yang lebih bersifat fungsional dan mengandung unsur-unsur tindak pidana yang digunakan untuk membuktikan seseorang telah melakukan tindak pidana pornografi atau tidak.. Sementara pemberian definisi pornografi dalam ketentuan umum hanya bersifat memberikan penjelasan. Hal inilah yang dilakukan oleh pembuat UU Tindak pidana korupsi, dimana tidak mendefinisikan korupsi, namun langsung mengaturnya dalam rumusan pasal ketentuan pidana.
Ditulis Oleh : irwansyah Hari: Sabtu, Oktober 01, 2011 Kategori: ISSU HUKUM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah