BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Bagaimana orang menyeimbangkan demokrasi? Bisakah kita menerima pemerintahan oleh mayoritas, sementara minoritas tetap dihormati dan dilindungi? Sistem demokrasi di seluruh dunia harus menghadapi pertanyaan tentang bagaimana menjaga keseimbangan antara gagasan ‘pemerintahan oleh mayoritas’ di satu pihak, dan gagasan demokrasi yang mempertimbangkan ‘para individu’ di pihak lain. Masalah ini sebenarnya sudah cukup lama dikenali. Para ahli teori demokrasi seperti Alexis De Tocqueville and John Stuart Mill pernah menyinggung gagasan tentang ‘Tirani Mayoritas’ dalam studinya yang sangat terkenal “Democracy in America” dalam abad ke 19, sementara Mill pernah mengingatkan kita tentang bagaimana mayoritas dapat meloloskan hukum atau undang-undang yang memiliki pengaruh sangat menjijikkan bagi kelompok minoritas.
Maka, orang juga kerap bertanya apakah demokrasi? Apakah demokrasi berarti bahwa negara harus melindungi para individu, ataukah demokrasi hanya berarti sebagai pemerintahan oleh mayoritas? Juga di Indonesia, ketika demokratisasi tidak segera membuahkan hasil berupa kesejahteraan dan stabilitas sosial-politik yang lebih baik (seperti yang tersirat dalam ungkapan bahwa “demokrasi kita sudah keblablasan”), maka ada alasan bagi sebagian orang yang menginginkan agar Indonesia kembali pada sistem lama, yaitu pada model kekuasaan otoritarian yang menjanjikan terciptanya kesejahteraan dan stabilitas dalam waktu yang cepat.
Demokrasi jelas disadari bukan sebagai sistem yang sempurna, tetapi ada petunjuk kuat bahwa demokrasi adalah sistem terbaik di antara sistem lain dalam pengaturan pemerintahan manusia oleh manusia yang pernah dicoba dalam sejarah. Karena itu, seperti yang sering disuarakan oleh sejumlah ahli, yang diperlukan sesungguhnya adalah pendalaman demokrasi (deepening demokrasi), bukan menolak demokrasi itu sendiri.
Pada tingkat kekuasaan, demokratisasi akan berarti keharusan untuk memperkuat paham kedaulatan rakyat (people sovereignty) dan menegakkan aturan main demokratis (dalam bentuk konstitusi dan rule of law), namun pada level akar rumput dan di kalangan generasi muda, tantangan demokratisasi menunjukkan wajah yang agak berlainan.
Michael Oakeshott dan F.A. Hayek pernah menyatakan bahwa sivitas atau negara sebagai bentuk purposive association yaitu pengelompokkan yang dibentuk karena persamaan tujuan atau maksud (shared purposes or goals), memiliki kecenderungan mencerabut kebebasan berasosiasi bagi kelompok-kelompok yang memiliki tujuan sendiri yang dianggap seolah-olah berbeda dengan tujuan bangsa secara keseluruhan. Akibatnya, negara purposive (yang dilawankan dengan ‘enterprise association) semacam itu mau tidak mau cenderung melanggar kebebasan berasosiasi, menuntut keharusan partisipasi dalam kelompok yang mendukung tujuan-tujuan dari sivitas (negara), dan pada saat yang bersamaan menindas siapapun yang menganggu usaha pencapaian tujuan yang dimaksukan (purposive goals). Pada akhirnya, hanya dengan memastikan pemerintah bersikap netral dalam kaitannya dengan berbagai tujuan yang ada dalam masyarakat, maka civil society akan bisa bertumbuh dengan subur. Meskipun kebebasan berasosiasi tidak disebut dengan cara yang sama seperti kebebasan berpendapat (free speech) dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly), kebebasan itu nampak menjadi salah satu “kebebasan dasar” dari banyak masyarakat liberal setidaknya menurut para pemikir seperti Rawls, Mill dan banyak pemikir liberal yang lain.
Tetapi gagasan tentang netralitas negara mendapatkan kritik karena dianggap tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya dari kebijakan yang sering dan bisa diambil oleh negara. Misalnya, kebijakan hukum yang diambil oleh negara selalu mengandung konsepsi tersembunyi mengenai pengertian tentang hidup yang baik. Lebih tajam lagi, para pengkritiknya (yaitu kelompok komunitarian yang diwakili oleh tokoh seperti William Galston, Michael Sandel, dan Benjamin Barber) tidak mempercayai klaim liberal bahwa masyarakat sipil memiliki kemampuan untuk mengarahkan dirinya sendiri, menyatakan, sebagaimana pernah dikemukakan juga oleh Alexis de Tocqueville bahwa adanya dorongan dalam masyarakat sipil sendiri yang mungkin menghambat pembentukan asosiasi sipil. Ada kecenderungan dalam masyarakat sipil itu sendiri—misalnya dalam bentuk sentralisasi ekonomi, monopoli media, pemaksaan kepentingan khusus, dan partai politik yang terorganisasi--membatasi jangkauan kemungkinan yang dapat diberikan pada individu. Jelas bahwa sejumlah tujuan (ends) tidak bebas dipilih oleh para individu, melainkan justru ‘terberikan’ (given) atau dipaksa diberlakukan oleh kesempitan peluang atau ketiadaan kesempatan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa arti istilah dan sejarah demokrasi?
2. Apa contoh tindakan yang menentang demokrasi?
3. Bagaimana demokrasi di Indonesia?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pendidikan kewarganegaraan tetapi juga untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada pembaca mengenai arti istilah dan sejarah demokrasi, contoh tindakan yang menentang demokrasi, dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti Istilah dan Sejarah Demokrasi
Istilah “demokrasi” berasal dari yunani kuno yang diutarakan di Athena Kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos /cratein yang berarti pemerintahan. Sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa memperdulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntibilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
B. Kegagalan Demokrasi Indonesia
Indonesia tengah dilanda berbagai masalah yang kompleks. Sistem demokrasi yang seyogyanya menghasilkan masyarakat yang bebas dan sejahtera, tidak terlihat hasilnya, malah kenyataannya bertolak belakang. Berikut ini adalah beberapa fenomena kegagalan demokrasi di Indonesia.
a) Pertama, Presiden tidak cukup kuat untuk menjalankan kebijakannya. Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini membuat posisi presiden presiden kuat dalam ati sulit untuk digulingkan.
Namun, di parlemen tidak terdapat partai yang dominan, termasuk partai yang mengusung pemerintah. Ditambah lagi peran lagislatif yang besar pasca reformasi ini dalam menentukan banyak kebijakan presiden. Dalam memberhentikan menteri misalnya, presiden sulit untuk memberhentikan menteri karena partai yang “mengutus” menteri tersebut akan menarik dukungannya dari pemerintah dan tentunya akan semakin memperlemah pemerintah. Hal ini membuat presiden sulit mengambil langkah kebijakannya dan mudah di-“setir” oleh partai.
b) Kedua, rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat justru di tengah kebebasan demokrasi. Tingkat kesejahteraan menurun setelah reformasi, yang justru saat itulah dimulainya kebebasan berekspresi, berpendapat, dll. Ini aneh mengingat sebenarnya tujuan dari politik adalah kesejahteraan. Demokrasi atau sistem politik lainnya hanyalah sebuah alat. Begitu pula dengan kebebasan dalam alam demokrasi, hanyalah alat untuk mencapai kesejahteraan.
c) Ketiga, tidak berjalannya fungsi partai politik. Fungsi partai politik paling tidak ada tiga: penyalur aspirasi rakyat, pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama, dan sarana pendidikan politik masyarakat. Selama ini dapat dikatakan ketiganya tidak berjalan. Partai politik lebih mementingkan kekuasaan daripada aspirasi rakyat.
Fungsi partai politik sebagai pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama pun tidak berjalan mengingat tidak adanya partai politik yang konsisten dengan ideologinya. Partai politik sebagai sarana pendidikan politik masyarakat lebih parah. Kita melihat partai mengambil suara dari masyarakat bukan dengan pencerdasan terhadap visi, program partai, atau kaderisasi. Melainkan dengan uang, artis, kaos, yang sama sekali tidak mencerdaskan malah membodohi masyarakat.
d) Keempat, ketidakstabilan kepemimpinan nasional. Jika kita cermati, semua pemimpin bangsa ini mualai dari Soekarno sampai Gus Dur, tidak ada yang kepemimpinannya berakhir dengan bahagia. Semua berakhir tragis alias diturunkan. Ini sebenarnya merupakan dampak dari tidak adanya pendidikan politik bagi masyarakat. Budaya masyarakat Indonesia tentang pemimpinnya adalah mengharapkan hadirnya “Ratu Adil” yang akan menyelesaikan semua masalah mereka. Ini bodoh. Masyarakat tidak diajari bagaimana merasionalisasikan harapan-harapan mereka. Mereka tidak diajarkan tentang proses dalam merealisasikan harapan dan tujuan nasional.
Hal ini diperburuk dengan sistem pemilihan pemimpin yang ada sekarang (setelah otonomi), termasuk pemilihan kepala daerah yang menghabiskan biaya yang mahal. Calon pemimpin yang berkualitas namun tidak berduit akan kalah populer dengan calon yang tidak berkualitas namun memiliki uang yang cukup untuk kampanye besar-besaran, memasang foto wajah mereka besar-besar di setiap perempatan. Masyarakat yang tidak terdidik tidak dapat memilih pemimpin berdasarkan value.
e) Kelima, birokrasi yang politis, KKN, dan berbelit-belit. Birokrasi semasa orde baru sangat politis. Setiap PNS itu Korpri dan wadah Korpri adalah Golkar. Jadi sama saja dengan PNS itu Golkar. Ini berbahaya karena birokrasi merupakan wilayah eksekusi kebijakan. Jika birokrasi tidak netral, maka jika suatu saat partai lain yang memegang pucuk kebijakan, maka dia akan sulit dalam menjalankan kebijakannya karena birokrasi yang seharusnya menjalankan kebijakan tersebut memihak pada partai lain. Aknibatnya kebijakan tinggal kebijakan dan tidak terlaksana. Leibih parahnya, ini dapat memicu reformasi birokrasi besar-besaran setiap kali ada pergantian kepemimpinan dan tentunya ini bukanlah hal yang baik untuk stabilitas pemerintahan. Maka seharusnya birokrasi itu netral.
Banyak sekali kasus KKN dalam birokrasi. Contoh kecil adalah pungli, suap, dll. Ini menjadi bahaya laten karena menimbulkan ketidakpercayaan yang akut dari masyarakat kepada pemerintah. Selain itu berdampak pula pada iklim investasi. Investor tidak berminat untuk berinvestasi karena adanya kapitalisasi birokrasi.
Hal di atas mendorong pada birokrasi yang tidak rasional. Kinerja menjadi tidak professional, urusan dipersulit, dsb. Prinsip yang digunakan adalah “jika bisa dipersulit, buat apa dipermudah”.
f) Keenam, banyaknya ancaman separatisme. Misalnya Aceh, Papua, RMS, dll. Ini merupakan dampak dari dianaktirikannya daerah-daerah tersebut semasa orde baru, yang tentunya adalah kesalahan pemerintah dalam “mengurus anak”. Tentunya ini membuat ketahanan nasional Indonesia menjadi lemah, mudah diadu domba, terkurasnya energi bangsa ini, dan mudah dipengaruhi kepentingan asing.
C. Kegagalan Demokrasi Elitis Di Indonesia
Sejak Pemilu 1999, secara formal Indonesia telah menempuh rute demokrasi dalam perjalanan politiknya sebagai bangsa menuju masa depan dimana, semua hak asasi dari semua dimajukan dan dilindungi.
Jika rute ini bisa ditempuh dengan sukses, Indonesia akan menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah AS dan India, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tetapi jika pilihan untuk menempuh demokrasi ini gagal, maka kegagalannya akan menjadi kegagalan keempat dalam pengalaman sejarahnya sejak 1945. Seperti diketahui, kegagalan pertama terjadi pada 1959 ketika demokrasi liberal diganti menjadi demokrasi terpimpin. Kegagalan kedua terjadi pada 1965/66 dengan dimusnahkannya gerakan kiri dan demokrasi kerakyatannya. Dan kegagalan ketiga adalah pupusnya upaya-upaya kelas menengah liberal pada awal 1970an untuk meliberalisasi politik Orde Baru yang diikuti oleh pelembagaan sistem politik otoritarian hingga 1998.
Pengalaman selama lima tahun terakhir ini memperlihatkan beberapa gejala bahwa ternyata demokrasi liberal pasca reformasi tidak berhasil menanggulangi masalah-masalah kritis yang dihadapi bangsa, bahkan cenderung mengidap potensi-potensi kegagalan:
Institusi-institusi demokrasi telah dikuasai (kembali) oleh kalangan elite; sementara para aktivis pro-demokrasi yang dulu merebutnya dari Orde Baru tetap berada pada posisi marginal. Demokrasi liberal ternyata hanya menguntungkan kalangan elite, dan menjadi suatu bentuk demokrasi elitis – untuk tidak menyebutnya oligarki liberal;
Korupsi terus tidak tertanggulangi, bahkan makin merajalela sampai ke tingkat lokal. Sementara desentralisasi berpotensi menyebabkan munculnya kekuasaan bos-lokal yang pada gilirannya berpotensi menjadi kaki-tangan berbagai kekuatan sentralistis yang berada di Jakarta, Tokyo, New York, London dan pusat-pusat kekuasaan ekonomi politik.
Depolitisasi masyarakat sipil masih terus berlangsung dengan menguatnya suasana anti-politik yang terus meluas. Partisipasi memang tumbuh subur, tetapi perluasan partisipasi tampaknya tidak berbanding lurus dengan perubahan hubungan-hubungan kekuasaan yang memungkinkan rakyat banyak menikmati sumber-sumber daya politik dan ekonomi.
Kegagalan demokrasi tampaknya juga disebabkan karena faktor lain, yakni bahwa para aktor pro-demokrasi tidak cukup punya akses, kemauan, dan kapasitas untuk mengendalikan (controle) proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Mereka terus berada di barisan anti-negara, di luar sistem, di luar struktur. Urusan demokrasi bagaimanapun masih dipahami oleh para aktivis sebagai urusan pergantian rezim, padahal agenda demokratisasi memerlukan energi lebih besar untuk rekonstruksi negara dan masyarakat.
D. Demokrasi di Indonesia
Demokrasi di negara Indonesia sudah mengalami kemajuan yang pesat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan dibebaskan menyelenggarakan kebebasan pers, kebebasan masyarakat dalam berkeyakinan, berbicara, berkumpul, mengeluarkan pendapat, mengkritik bahkan mengawasi jalannya pemerintahan. Tapi bukan berarti demokrasi di Indonesia saat ini sudah berjalan sempurna. Masih banyak persoalan yang muncul terhadap pemerintah yang belum sepenuhnya bisa menjamin kebebasan warga negaranya. Seperti meningkatnya angka pengangguran, bertambahnya kemacetan di jalan, semakin parahnya banjir, dan masalah korupsi.
Dalam kehidupan berpolitik di setiap negara yang kerap selalu menikmati kebebasan berpolitik namun tidak semua kebebasan berpolitik berjalan sesuai dengan yang diinginkan, karena pada hakikatnya semua sistem politik mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Demokrasi adalah sebuah proses yang terus menerus merupakan gagasan dinamis yang terkait erat dengan perubahan. Jika suatu negara mampu menerapkan kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan dengan sempurna, maka negara tersebut adalah negara yang sukses menjalankan sistem demokrasi. Sebaliknya, jika suatu negara itu gagal menggunakan sistem pemerintahan demokrasi, maka negara itu tidak layak disebut sebagai negara demokrasi. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara Indonesia yang menganut sistem pemerintahan yang demokrasi, kita sudah sepatutnya untuk terus menjaga, memperbaiki, dan melengkapi kualitas-kualitas demokrasi yang sudah ada. Demi tercapainya suatu kesejahteraan, tujuan dari cita-cita demokrasi yang sesungguhnya akan mengangkat Indonesia kedalam suatu perubahan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena Kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” dibanyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Negara Indonesia menunjukkan sebuah Negara yang sukses menuju demokrasi sebagai bukti yang nyata, dalam pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Selain itu bebas menyelenggarakan kebebasan pers. Semua warga negara bebas berbicara, mengeluarkan pendapat, mengkritik bahkan mengawasi jalannya pemerintahan. Demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat bahkan dalam memilih salah satu keyakinanpun dibebaskan.
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang meliputi: pada masa orde lama, orde baru, masa reformasi yang terdiri dari: Reformasi pada masa B.J. Habiebie, Megawati Soekarno Putri, Abdurrahman Wahid/Gusdur, hingga presiden yang sekarang Susilo Bambang Yudhoyono.
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah