”Setiap wacana hukum tidak dapat dilepaskan dari beroperasinya kekuasaan tertentu (power) dan pengetahuan (knowledge), serta relasi sosial di antara keduanya yang menghasilkan kebenaran (truth) dan keadilan (justice). Kebenaran tidak dapat dipandang sebagai produk objektif penyelidikan dan penyidikan tetapi produk dari sebuah sistem kekuasaan yang sedang berjala”.
REFLEKSI dari Michel Foucault, ilmuan Prancis itu, memotret fenomena kehidupan hukum dalam konteks relasi kekuasaan. Menurut dia, kekuasaan tidak sebatas pada posisi otoritatif di tingkat politik tetapi menyebar secara diaspora dalam seluruh dimensi kehidupan umat manusia, seperti kekayaan, kecantikan, kekuatan, mode, pemikiran dan sebagainya.
Bahkan kekuasaan jenis ini, dalam kondisi tertentu, jauh melebihi kekuasaan otoritas yang bersifat politis. Fenomena Anggodo Widjojo, yang berlatar belakang bukan polisi, jaksa, atau hakim, justru mampu menyusun skenario hukum yang bisa melampaui batas kewenangan lembaga penegak hukum. Kenyataan ini, memberi pesan kepada kita tentang rapuhnya struktur hukum sebagai benteng pencarian keadilan dan kebenaran.
Jika selama ini teoretisi hukum menyuguhkan tentang keadilan normatif dan kebenaran normatif di balik formula-formula hukum maka fenomena Anggodo dapat dipahami sebagai penolakan terhadap semua klaim tersebut. Sebab, faktanya ada sistem kuasa yang ternyata jauh melebihi sistem kuasa hukum, meskipun akhirnya Anggodo tertangkap berkat gerakan rakyat mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi. Permasalahannya, jika fenomena Anggodo tidak terkuak maka ke mana masyarakat akan mencari kebenaran dan keadilan normatif?
Menurut begawan ilmu hukum Indonesia Prof Satjipto Rahardjo (13:2009), hakikatnya ilmu hukum mengandung ide dan konsep abstrak seperti seperti keadilan dan kemanfaatan sosial. Dengan demikian, penegakan hukum, sejatinya mengandung pengertian penegakan nilai-nilai abstrak tersebut yang mengalami formalisasi ke dalam bentuk perundang-undangan dan aturan-aturan normatif dan terlembagakan ke dalam kesatuan-kesatuan organis lembaga penegakan hukum. Dalam ilmu hukum, inilah yang disebut dengan organisasi dan manajemen penegakan hukum.
Organisasi dan manajemen penegakan hukum dibangun di atas satu prinsip bahwa tujuan-tujuan abstrak hukum tidak akan bias diwujudkan di tengah kompleksitas masyarakat, tanpa memiliki kekuatan-kekuatan organis yang bisa mengelola dan menjalankan roda hukum itu sendiri. Setidaknya, penegakan hukum membutuhkan empat prasyarat yang harus terpenuhi secara bersama-sama, yaitu SDM seperti polisi, jaksa, hakim, dan panitera, sumber daya fisik seperti gedung, perlengkapan, dan kendaraan, sumber daya keuangan seperti anggaran belanja dan sumber daya lain yang dibutuhkan untuk mendukung penegakan hukum.
Dari empat prasyarat yang disebutkan, faktor manusia menempati prasyarat yang paling mementukan. Manusia, lanjut Satjipto, adalah sumbu dari proses penegakan hukum. Hukum ditegakkan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia. Jadi, penegakan hukum bukan untuk hukum. Sebab, eksistensi hukum merupakan proyeksi yang dibangun di atas konsensus untuk menjaga dan melindungi kepentingan manusia atas tindakan manusia lainnya, secara tidak adil dan semena-mena.
Dengan persepektif seperti itu, sejatinya penegakan hukum diletakkan di atas keseluruhan kenyataan dimensi kehidupan manusia, baik secara politik, kultural, maupun ekonomis. Dalam konteks ini, penegakan hukum menjadi sangat kompleks dan tidak mudah sesuai dengan kompleksitas dimensi kehidupan manusia. Karena wataknya yang kompleks, seharusnya secara sosiologis penegakan hukum tidak bisa dipandang statis, tetapi dinamis. Dengan demikian, penegakan hukum tidak bisa lepas dari hubungan timbal-balik yang erat dengan masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat kompleksitas sebuah masyarakat/bangsa maka akan semakin kompleks pula mekanisme penegakan hukumnya. Inilah inti problematis penegakan hukum.
Jika hukum menempatkan asas kesamaan di depan hukum, maka menurut Weber (335:1954), justru sejak lahir manusia dilahirkan dalam keadaan tidak sama (the fates of human being are not equal). Termasuk juga dalam perkembangannya, kondisi manusia dalam masyarakat tidaklah sama. Sebab, di tengah-tengah masyarakat terdapat struktur sosial yang berjalan sesuai dengan hukum besi kehidupan, yaitu kelompok yang memiliki kekuatan (kekayaan, pengaruh politik dan lain-lain) akan lebih memungkinkan untuk mengatur sumber daya kekuasaan, termasuk kekuasaan atas hukum. Struktur sosial inilah yang secara antagonistik mengambil posisi terbalik dari nilai-nilai dan cita-cita luhur hukum tentang sebuah kesetaraan sosial.
Menurut Chamblis dan Seidman (65:1971), ketika distribusi sumber daya kekuasaan telah terakumulasi secara politik maupun ekonomis maka sejak saat itulah telah dimulai sebuah proyek strukturisasi kekuasaan atas hukum. Dan lebih sempurna lagi manakala kekuasaan itu mengalami perpaduan antara kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomis secara bersama-sama. Sebab, perpaduan keduanya akan membentuk titik kesempurnaan kekuasaan yang sulit disentuh, apalagi untuk disetarakan secara hukum.
Merujuk pada Mydral dalam The Challenge of World Poverty, ”semua negara berkembang, termasuk Indonesia, merupakan negara yang lembek dalam pengertian tidak memiliki kedisiplinan sosial yang manifestasinya adalah berbentuk cacat-cacat dalam perundang-undangan, terutama dalam menjalankan dan menegakkan hukum” (76:1971).
Selain itu, dunia berkembang juga terjebak dalam produksi perundang-undangan yang terburu-buru (sweeping legislation). Peraturan tersebut, pada mulanya dimaksudkan untuk percepatan modernisasi tetapi tidak mempertimbangkan kenyataan-kenyataan objektif masyarakatnya sehingga menyebabkan terjadinya banyak ketidakteraturan.
Kondisi seperti ini, lanjut Mydral, sangat berbeda dari kondisi yang terjadi di Eropa. Menurutnya, Eropa memiliki sejarah yang panjang dalam perumusan formula-formula hukum, yang sangat berbeda kondisinya dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sejarah negara berkembang yang banyak diwarnai oleh sejarah kolonialisme didesak pada kepentingan deklarasi politik kemerdekaan sehingga lupa memeriksa problem-problem fundamental prasyarat sebuah negara. Artinya, pada saat itu otonomi politik telah berjalan mapan dan lebih besar ketimbang otonomi hukum yang menyebabkan subsistem sibernetiknya lebih besar ketimbang yang dimiliki oleh hukum.
Sebagaimana dimafhumi bersama, fungsi politik adalah untuk menentukan tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat dan memobilisasi masyarakat untuk mencapainya sehingga hukum terkesampingkan. Karena itu, Daniel Lev memberi penegasan kondisi yang berlangsung di dunia ketiga dengan kalimat ”apa yang menjadi hukum di sebuah negara berkembang adalah apa yang boleh untuk dilakukan oleh kondisi kekuatan politik dan penguasa”.
Jadi tampak jelas bagaimana operasi kekuasaan begitu mendominasi dibanding formula-formula hukum karena disebabkan oleh sejarah masa lalunya di bawah kekuasaan kolonialisme.
Lebih kompleks dari penelusuran Nonet dan Selznick, problem penegakan hukum di dunia ketiga (Indonesia) menyisakan noda-noda yang lebih buruk lagi karena praktik mafia hukum yang bekerja secara sistematis dengan jaringan yang kuat secara terselubung.
Dalam rangka penguatan sistem hukum nasional dan menjaga ekspektasi publik terhadap sistem dan tatanan hukum, maka pemberantasan mafia hukum mutlak harus dilakukan. Pemberantasan mafia hukum ini dilakukan melalui beberapa sebagaimana berikut:
Pertama, perlunya dilakukan reformasi lembaga atau institusi lembaga penegak hukum, terutama sterilisasi berokrasi penegak hukum untuk menjaga integritas aparat penegak hukum. Sejauh ini, lembaga penegak hukum merupakan ”gerbong yang terlambat” dalam melakukan reformasi secara internal.
Kedua, sesuai dengan wataknya yang mengalami formalisasi dan organisasi secara kelembagaan, membuat lembaga-lembaga penegak hukum cenderung bergerak secara otonom yang ”memiliki tujuannya sendiri” dan terkadang keluar dari konteks fundamental hukum itu sendiri. Bahkan tujuan fungsi penegakan hukum berganti menjadi fungsi dan tujuan kelembagaan. Inilah yang oleh Max Weber disebut sebagai birokratisasi hukum. Karena itu, fungsi kelembagaan tersebut harus mengalami reposisi pada upaya penegakan hukum yang sebenar-benarnya.
Ketiga, perlunya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan penegakan hukum untuk menghindari semakin berkembangnya praktik-praktik hukum yang berjalan di luar koridor hukum yang sebenar-benarnya.
Keempat, lebih penting dari semua itu, karena hukum tidak lahir di ruang hampa maka penegakan hukum akan semakin baik manakala didukung oleh sistem sosial dan sistem kesadaran sosial yang betul-betul kondusif untuk implementasi nilai-nilai yang abstrak di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Sebab, mengutip Weber, di tengah-tengah masyarakat terdapat khadijustiz, sebuah substansi yang rasional yang memang sudah disepakati oleh masyarakat, diterima, dan diikuti sebagai postulat kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi seperti etika, agama, nilai-nilai moral dan sebagai. (10)
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah