BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Warsa 1970-an dapat dicatat
sebagai awal dari perkembangan pendidikan ilmu hukum empiris dengan menggunakan
pendekatan sosiologis untuk mengkaji fenomena-fenomena hukum dalam masyarakat
sedang berkembang di Indonesia, yang dikenal kemudian sebagai disiplin
sosiologi hukum (sociology of law). Nama-nama akademisi hukum seperti
Soerjono Soekanto (alm.) dari UI, Satjipto Rahardjo dari UNDIP, dan Sutandyo
Wignyosubroto dari UNAIR dapat dicatat sebagai para perintis pengenalan mata
kuliah sosiologi hukum di fakultas-fakultas hukum di Jawa.
Kemudian, sejak warsa 1980-an dunia pendidikan ilmu hukum di Indonesia
semakin diperkaya dengan pengenalan studi-studi hukum empiris dengan
menggunakan pendekatan antropologis. Untuk ini, T.O. Ihromi dan Valerine J.L.
Kriekhoff dari UI bekerjasama dengan F. von Benda-Beckmann dari Wageningen
Agriculture University the Netherlands dapat dinobatkan sebagai peletak dasar studi-studi
antropologis tentang hukum yang kemudian dikenal sebagai antropologi hukum (anthropology
of law, legal anthropology, anthropological study of law). Makalah
bersahaja ini mencoba untuk memberi pemahaman mengenai antropologi hukum
sebagai bidang studi ilmu hukum empiris, dengan berfokus pada awal pemikiran
studi-studi antropologis tentang hukum, pengembangan konsep hukum dalam
studi antropologi hukum, perkembangan tema-tema kajian antropologi hukum,
metodologi antropologi hukum, dan diskusi tema kemajemukan hukum dalam
studi antropologi hukum.
B. Rumusan
Masalah
Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah
bagaimana hubungan manusia dengan hokum dalam kajian antropologi ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui hubungan manusia dengan hokum dalam
kajian antropologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Manusia
Secara bahasa
manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti
berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai makhluk
lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta,
sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu.
Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup
(living organism).
Terbentuknya
pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat
dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal
(genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan.
Tatkala seoang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi,
dan oleh kaena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan
kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap
manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination)
dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat
untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan
Manusia adalah
makhluk yang tidak dapat dengan segera menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Pada masa bayi sepenuhnya manusia tergantung kepada individu lain. Ia belajar
berjalan,belajar makan,belajar berpakaian,belajar membaca,belajar membuat
sesuatu dan sebagainya,memerlukan bantuan orang lain yang lebih dewasa.
Malinowski(1949),
salah satu tokoh ilmu Antropologi dari Polandia menyatakan bahwa ketergantungan
individu terhadap individu lain dalam kelompoknya dapat terlihat dari
usaha-usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan sosialnya
yang dilakukan melalui perantaraan kebudayaan.
Rasa aman secara
khusus tergantung kepada adanya system perlindungan dalam rumah,pakaian dan
peralatan. Perlindungan secara umum, dalam pengertian gangguan/kelompok lain
akan lebih mudah diwujudkan kalau manusia berkelompok. Untuk menghasilkan
keamanan dan kenyamanan hidup berkelompok ini, diciptakan aturan-aturan dan kontrol-kontrol social tentang apa yang
boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh setiap anggota kelompok. Selain itu
ditentukan pula siapa yang berhak mengatur kehidupan kelompok untuk tercapainya
tujuan bersama.
Melalui
studi-studi antropologis mengenai sistem pengendalian sosial (social control)
di berbagai komunitas masyarakat di dunia, kalangan ahli antropologi memberi
kontribusi yang sangat penting dan
bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang secara nyata berlaku dan
dioperasikan dalam kehidupan masyarakat. Anthropologist have focussed upon
micro processes of legal action and interaction, they have made the universal
fact of legal pluralism a central element in the understanding of the working of
law in society, and they have self-consciously adopted a comparative and historical approach and
drawn the necessary conceptual and theoritical conclusion from this choice
(Griffiths, 1986:2).
Hal ini karena para ahli antropologi
mempelajari hukum bukan semata-semata sebagai produksi dari hasil abstraksi
logika sekelompok orang yang diformulasikan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, tetapi lebih mempelajari hukum sebagai perilaku sosial
(Llewellyn dan Hoebel, 1941; Hoebel, 1954; Black & Mileski, 1973; Moore,
1978; Cotterrel, 1995).
Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari
sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu
hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh
aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi,
dll. (Pospisil, 1971); atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang
berlangsung dalam kehidupan masyarakat (Moore, 1978). Karena itu, hukum dalam
perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan
yang diciptakan oleh Negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya
sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan
masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime
pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai
sarana pengendalian sosial (legal
order).
B. Hukum
Dalam Perspektif Antropologi
Melalui Studi-studi
antropologis mengenai hukum diawali dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan
mendasar: apakah hukum itu ?; dan apakah hukum itu terdapat dalam setiap bentuk
masyarakat ? (Nader, 1965:4; Bohannan, 1967:4; Hoebel, 1967:187; Roberts,
1979:17). Untuk menjawab pertanyaan di atas menjadi menarik untuk mengungkapkan
diskusi dari dua ahli antropologi ternama, yaitu A.R. Radcliffe-Brown dan
Bronislaw Malinowski, yang memberikan pandangannya masing-masing mengenai
hukum, sebagaimana diuraikan dalam Nader (1965:4-5); Koentjaraningrat
(1989:28-9); Moore (1978:218-223)
seperti berikut :
1.
Di
satu sisi, hukum dalam pandangan Radcliffe-Brown adalah suatu sistem
pengendalian sosial yang hanya muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada
dalam suatu bangunan Negara, karena hanya dalam suatu organisasi sosial seperti
Negara terdapat pranata-pranata hukum seperti polisi, pengadilan, penjara dll.
sebagai alat-alat Negara yang mutlak harus ada untuk menjaga keteraturan sosial
dalam masyarakat. Karena itu, dalam masyarakat-masyarakat bersahaja yang tidak terorganisasi secara
politis sebagai suatu Negara tidak mempunyai hukum. Walaupun tidak mempunyai
hukum, ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi
yang ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan
(automatic-spontaneous submission to tradition).
2.
Di
sisi lain, Malinowski berpendapat, bahwa hukum tidak semata-mata terdapat dalam
masyarakat yang terorganisasi suatu Negara, tetapi hukum sebagai sarana
pengendalian sosial (legal order) terdapat dalam setiap bentuk masyarakat.
Hukum dalam kehidupan masyarakat bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan
yang bersifat otomatis-spontan, seperti dikatakan Radcliffe-Brown, tetapi
karena adanya prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan prinsip
publisitas (principle of publicity). Sistem pertukaran sosial yang berkembang
dalam masyarakat Trobriand menjadi pengikat sosial dan daya dinamis yang menggerakkan kehidupan ekonomi dan
sosial masyarakat melalui prinsip resiprositas atau timbal-balik dalam bentuk
pertukaran benda dan tenaga, menggerakkan hubungan-hubungan ekonomi, pertukaran
jasa antar kerabat, menggerakkan kehidupan kekerabatan, sistem pertukaran mas
kawin, dan juga menggerakkan hubungan antar kelompok dalam bentuk
upacara-upacara yang berlangsung dalam kehidupan bersama. Dari pandangan 2 ahli antropologi di atas dapat
dikatakan, bahwa apabila hukum diberi pengertian yang sempit, hanya sebagai
sistem pengendalian sosial yang diciptakan oleh lembaga legislatif dan
diterapkan oleh aparat penegakan hukum seperti polisi, pengadilan, jaksa, atau penjara
dalam kehidupan organisasi negara, maka hukum diartikan bahwa
masyarakat-masyarakat sederhana yang tidak terorganisasi sebagai suatu Negara
tidak memiliki hukum. Tetapi, kalau hukum diberi pengertian yang lebih luas,
yaitu sebagai proses-proses pengendalian sosial yang didasarkan pada prinsip
resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan
masyarakat, maka semua bentuk masyarakat betapapun sederhananya memiliki hukum
dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang diciptakan untuk menjaga keteraturan
sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial
(Nader, 1965:4; Radfield, 1967:3; Pospisil, 1967:26; Bohannan, 1967:48).
Wacana
antropologis mengenai hukum dalam perkembangan selanjutnya memperoleh elaborasi
dari kalangan antropolog yang lain. Konsep hukum yang dikemukakan Malinowski
memperoleh komentar dan kritik dari Bohannan (1967:45-9), yang pada pokoknya
menyatakan seperti berikut :
1.
Mekanisme
resiprositas (reciprocity) dan
publisitas (publicity) sebagai kriteria
untuk mengatur hak dan kewajiban dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya
bukanlah merupakan hukum seperti dimaksudkan Malinowski, tetapi hanya merupakan
suatu kebiasaan (custom) yang digunakan masyarakat untuk menjaga keteraturan
sosial.
2.
Pengertian
hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda
dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah
laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu.
Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah
laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa
sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum, tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan
norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua
institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur
perilaku masyarakat dalam hubungan antar individu, dan juga sama-sama berfungsi
sebagai sarana pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat.
3.
Kendatipun
kebiasaan dan peraturan hukum saling berbeda satu sama lain, karena kebiasaan terwujud sebagai institusi non
hukum dan peraturan merupakan institusi hukum, tetapi dalam masyarakat selalu
ditemukan kedua bentuk institusi
tersebut (institusi hukum dan institusi non hukum). Norma-norma hukum dalam
masyarakat cenderung mengabaikan atau menggusur atau bahkan sebaliknya
memfungsikan keberadaan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi non hukum dalam
penyelesaian kasus-kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat.
4.
Peraturan-peraturan
hukum juga mengembangkan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi hukum
melalui proses pelembagaan ulang
(reinstitutionalized) dan dinyatakan ulang (restated), sehingga peraturan hukum
juga dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang telah dilembagakan kembali untuk
tujuan-tujuan yang ingin dicapai hukum tersebut. Dengan demikian, apabila
dihubungkan dengan pengertian hukum yang dikemukakan Malinowski, maka peraturan
hukum diartikan sebagai seperangkat kewajiban yang dipandang sebagai hak warga
masyarakat dan kewajiban bagi warga masyarakat yang lain, yang telah
dilembagakan ulang menjadi institusi hukum, untuk suatu tujuan agar
kehidupan masyarakat secara terus
menerus dapat berlangsung dan berfungsi dengan
keteraturan yang dikendalikan oleh institusi hukum. Karena itu,
dikatakan bahwa resiprositas berada pada basis kebiasaan, tetapi kebiasaan yang
telah dilembagakan sebagai norma hukum melalui tahapan yang disebut double
institutionalization of norms (Bohannan, 1967:48).
Lebih lanjut, konsep mengenai hukum yang
dikemukakan Malinowski juga memperoleh
komentar dan kritik dari Pospisil (1967: 25-41; 1971:39-95), yang pada pokoknya
menyatakan seperti berikut :
1.
Pengertian
hukum yang dikemukakan Malinowski dipandang terlalu luas, sehingga hukum yang
dimaksudkan juga mencakup pengertian kebiasaan-kebiasaan (customs), dan bahkan
semua bentuk kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan aspek religi dan juga
kewajiban-kewajiban yang bersifat moral dalam kehidupan masyarakat.
2.
Hukum
pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang mempunyai fungsi sebagai
alat untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial
(social control) dalam masyarakat.
Karena itu, untuk membedakan peraturan hukum
dengan norma-norma lain, yang sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana
pengendalian sosial dalam masyarakat, maka peraturan hukum dicirikan mempunyai
4 atribut hukum (attributes of law),
yaitu :
1.
Atribut
Otoritas (Attribute of Authority), yaitu peraturan hukum adalah
keputusan-keputusan dari pemegang atoritas untuk menyelesaikan sengketa atau
ketegangan sosial dalam masyarakat, karena adanya ancaman terhadap keselamatan
warga masyarakat, keselamatan pemegang otioritas, atau ancaman terhadap
kepentingan umum.
2.
Atribut
dengan Maksud untuk Diaplikasikan secara Universal (Attribut of Intention of
Universal Aplication), yaitu keputusan-keputusan dari pemegang otoritas
tersebut dimaksudkan sebagai
keputusan-keputusan yang juga akan diaplikasikan terhadap peristiwa-peristiwa
yang sama secara universal.
3.
Atribut
Obligasio (Attribute of Obligatio), yaitu keputusan-keputusan dari pemegang
otoritas tersebut mengandung suatu pernyataan bahwa pihak
pertama memiliki hak untuk
menagih sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai kewajiban
untuk memenuhi hak pihak pertama
tersebut sepanjang mereka masih hidup.
4.
Atribut
Sanksi (Attribute of Sanction), yaitu keputusan-keputusan dari pihak pemegang
otoritas tersebut juga disertai dengan penjatuhan sanksi-sanksi, baik berupa sanksi yang bersifat fisik
seperti hukuman badan dan penyitaan harta benda, atau sanksi non fisik seperti
dipermalukan di depan orang banyak, diasingkan dari pergaulan sosial, dibuat
menjadi ketakutan, dll. Konsep hukum yang menekankan atribut otoritas dan
atribut sanksi juga dikemukakan oleh Hoebel (1954) untuk membedakan antara
norma hukum dengan norma-norma lain yang juga mempunyai fungsi sebagai alat
pengedalian masyarakat (social control).
Basis peraturan
hukum adalah norma-norma sosial, dan norma-norma sosial akan berubah menjadi
norma hukum apabila setiap pelanggaran atas norma sosial tersebut secara
reguler dijatuhi sanksi fisik berdasarkan keputusan pemegang otoritas yang
secara sosial diberi wewenang khusus untuk menjatuhkan sanksi tersebut. A
social norm is legal if its neglect or infraction is regularly met, in threat
or in fact, by the application of phisical force by an individual or group
possesing the socially recognized previlege of so acting (Hoebel, 1954:28).
Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata
berdasarkan pada atribut otoritas seperti dimaksud di atas diperkenalkan oleh
Ter Haar, dikenal sebagai teori Keputusan (Beslissingenleer/Decision Theory),
yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum didefinisikan sebagai
keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa dan
peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan dengan sengketa (Hoebel, 1979:33-4; F.
von Benda Beckmann, 1979:31; Slaats & Portier, 1992: 14-5).
C. Metode Investigasi Hukum Dalam
Masyarakat
Uraian pada bagian terdahulu
memperlihatkan bahwa norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat secara
metodologis dapat dipahami dari keberadaan keputusan-keputusan seseorang atau
kelompok orang yang secara sosial diberi otoritas untuk menjatuhkan
sanksi-sanksi kepada setiap orang yang melanggarnya. Karena itu, untuk
menginvestigasi hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat, Llewellyn dan
Hoebel (1941:20-1) dan Hoebel (1954:29) memperkenalkan metode penelusuran
norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat melalui 3 cara, yaitu dengan :
1. Melakukan investigasi terhadap
norma-norma abstrak yang dapat direkam dari ingatan-ingatan para tokoh
masyarakat atau para pemegang otoritas yang diberi wewenang membuat keputusan-keputusan
hukum (ideological method).
2. Melakukan pengamatan terhadap
setiap tindakan nyata atau perilaku aktual dari warga masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari, pada waktu mereka berinteraksi dengan warga
yang lain, warga masyarakat dengan kelompok, atau perilaku konkrit warga
masyarakat dalam berhubungan dengan lingkungan hidupnya, seperti hubungan warga
masyarakat dengan tanah, pohon-pohonan, tanaman pertanian, ternak,
dll. (descriptive method).
3. Mengkaji kasus-kasus sengketa
yang pernah atau sedang terjadi dalam masyarakat (trouble-cases method).
Kasus-kasus sengketa yang dipilih dan dikaji secara seksama adalah cara
yang utama untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku dalam suatu
masyarakat. Data yang diperoleh dari pengkajian terhadap kasus-kasus sengketa
sangat meyakinkan dan kaya, karena dari kasus-kasus tersebut dapat diungkapkan
banyak keterangan mengenai norma-norma hukum yang sedang berlaku dalam
masyarakat. The trouble-cases,
sought out and examined with care, are thus the safest main road into the
discovery of law. Their data are most certain. Their yield is reachest. They
are the most revealing (Llewellyn & Hoebel, 1941:29; Hoebel, 1954:36).
Metode kasus sengketa yang
diperkenal Llewellyn dan Hoebel (!941) dan Hoebel (1954) di atas
merupakan sumbangan yang berharga untuk memperkaya metodologi antropologi
dalam mengkaji fenomena-fenomena hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Karena itu, secara khusus Pospisil (1973) mengatakan :Hoebel is
regarded by Nader as one of the three leading legal anthropologycal pioneers of
this century. I go even further and, without diminishing the accomplishments of
the two scholars, dare to regard Hoebel as the partriarch of the
anthropology of law (Pospisil, 1973:539).
Kajian mengenai kasus-kasus
sengketa pada dasarnya dimaksudkan untuk mengungkapkan latar belakang
dari munculnya kasus-kasus tersebut, cara-cara yang ditempuh untuk
menyelesaikan sengketa, mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang
digunakan, dan sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pihak yang dipersalahkan,
sehingga dapat diungkapkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku,
prosedur-prosedur yang ditempuh, dan nilai-nilai budaya yang mendukung proses
penyelesaian sengketa tersebut. Sedangkan, materi kasus sengketa yang dapat
dikaji untuk memahami hukum yang berlaku dalam masyarakat meliputi :
kasus-kasus sengketa yang dapat dicermati mulai dari awal sampai sengketa
diselesaikan; kasus-kasus sengketa yang dapat dikaji melalui dokumen
keputusan-keputusan pemegang otoritas yang diberi wewenang menyelesaikan
sengketa; kasus-kasus sengketa yang dapat direkam dari ingatan-ingatan para
tokoh masyarakat atau para pemegang otoritas; dan kasus-kasus sengketa yang
masih bersifat hipotetis (Nader dan Todd, 1978:8).
Kasus-kasus sengketa sangat umum
digunakan sebagai metode untuk menelusuri hukum masyarakat dalam studi
antropologis mengenai hukum. Hal ini karena hukum bukanlah semata-mata sebagai
suatu produk dari individu atau sekelompok orang dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, atau bukanlah sebagai suatu institusi yang terisolasi dari
aspek-aspek kebudayaan yang lain, tetapi hukum merupakan produk dari suatu
relasi sosial dalam suatu sistem kehidupan masyarakat.
D.
Hubungan Hukum dengan Manusia
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak
mungkin menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka
manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan.
Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam
pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar
kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas
lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the
living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan
dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas
ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam
setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka
selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas
berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai
“semen perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu
struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah
tatanan sosial (social order) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan
mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia
membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si
pengatur(kekuasaan).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak
mungkin menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka
manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan.
Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam
pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar
kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas
lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hoebel (1954:29)
memperkenalkan metode penelusuran norma-norma hukum yang berlaku dalam
masyarakat melalui 3 cara, yaitu dengan :
1. Melakukan investigasi terhadap
norma-norma abstrak yang dapat direkam dari ingatan-ingatan para tokoh masyarakat
atau para pemegang otoritas yang diberi wewenang membuat keputusan-keputusan
hukum (ideological method).
2. Melakukan pengamatan terhadap
setiap tindakan nyata atau perilaku aktual dari warga masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari, pada waktu mereka berinteraksi dengan warga
yang lain, warga masyarakat dengan kelompok, atau perilaku konkrit warga
masyarakat dalam berhubungan dengan lingkungan hidupnya, seperti hubungan warga
masyarakat dengan tanah, pohon-pohonan, tanaman pertanian, ternak,
dll. (descriptive method).
3. Mengkaji kasus-kasus sengketa
yang pernah atau sedang terjadi dalam masyarakat (trouble-cases method).
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah