BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bagi rakyat, tanah memegang peranan penting karena tanah merupakan sumber
kehidupan dan penghidupan masyarakat. Tauchid (1952: 6) mengatakan bahwa soal
agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia karena tanah
adalah asal dan sumber makanan. Soal tanah adalah soal hidup, soal darah yang
menghidupi segenap manusia. Perebutan tanag berarti perebutan makanan,
perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah,
mengorbankan segala hal yang ada untuk mempertahankan hidup selanjutnya.
Sementara itu bagi Soetrisno (1995: 61), tanah bagi masyarakat agraris di
Indonesia merupakan salah satu “basic needs” yang penting.
Pendapat tersebut memberi makna filosofis yang mendalam bahwa tanah bagi
masyarakat Indonesia menjadi sesuatu yang inherent dalam kehidupan mereka.
Eksistensi manusia, dalam arti keberlanjutan hidupnya, sangat ditentukan oleh
keberadaan tanah atau lahan untuk kelanjutan hidupnya. Sehingga dengan
demikian, masyarakat Indonesia umumnya menggantungkan hidupnya dari tanah atau
dalam hal ini tanah untuk bertani dan sebagainya.
Dengan demikian, aspek pertanian di daerah ini menjadi salah satu
penyambung hidup yang cukup penting.
Seiring dengan semakin tingginya persaingan dan peningkatan hidup di daerah
ini, masyarakat semakin merasakan manfaat tanah pertanian. Tanah menjadi
pertaruhan hidup. Kondisi ini memberi ruang terjadinya penyerobotan tanah dan
klaim kepemilikan tanah yang pada gilirannya memicu konflik pertanahan.
Masyarakat terpicu melakukan sengketa karena mengklaim memiliki tanah, apalagi
jika tanah tersebut diklaim sebagai tanah leluhur atau tanah adat (tanah
ulayat).3
Sengketa atau konflik pertanahan telah lama terjadi di daerah ini. Karsadi
(2002)4 melaporkan sejumlah konflik pertanahan di
sejumlah wilayah di Kabupaten konawe, khususnya di daerah transmigrasi, yang
melibatkan penduduk pribumi dan pendatang. Bahkan hingga kini, konflik atau
sengketa pertanahan masih terjadi di beberapa tempat meskipun dalam skala yang
lebih kecil.
Menjamurnya sengketa atau konflik pertanahan yang berlarut-larut, menuntut
penyelesaian secara hukum, baik melalui mekanisme penyelesaian hukum positif
maupun hukum adat (customary law). UUPA Tahun 1960 dan hukum adat Tolaki
melalui media Kalosara bisa menjadi tumpuan penyelesaian konflik
pertanahan. Dengan metode ini, diharapkan konflik semacam ini tidak lagi
berlarut-larut yang gilirannya pembangunan di sektor pertanian di daerah ini
bisa lebih baik, terarah dan lancar, tanpa selalu disesaki dengan sejumlah
persoalan tanah.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Sebenrnya Konsep Tanah Yang
Terkandung Dalam Kalosara
2. Sebab Konflik Tanah Antara Masyarakat
Pribumi Dan Pendatang
3. Apa Hubungan UUPA Dengan Kalosara
C.
Tujuan
1. Menjelaskan Konsep tanah Dalam adat
kalosara Tolaki.
2. Menjelaskan Sebab Terjadinya konflik antara
masarakat pribumi dengan pendatang.
3. Menjelaskan Hubungan UUPA Dan Kalosara
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kalosara dan konsep tanah dalam masyarakat Tolaki
Suku Tolaki telah lama mendiami dataran
tenggara Pulau Sulawesi. Suku ini menyebar di dua wilayah yang cukup luas yakni
wilayah Kolaka, Konawe, Konawe Utara dan Konawe Selatan. Persebaran suku Tolaki
ini tentunya membawa serta pranata-pranata sosial, politik, ekonomi dan tata
nilai. Biasanya sumber nilai dalam suku Tolaki disebut Kalo.
Secara harfiah, kalo adalah
suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan
pertemuan atau kegiatan bersama dengan pelaku membentuk lingkaran. Sebagai
benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari
bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, dan pandan,
bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993:20). Menurut Tarimana (1993:22), konsep kalo
dalam kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkup maknanya. Kalo secara
umum meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara owoseno tolaki atau
sara mbu’uno tolaki, yaitu adat pokok, yang merupakan sumber dari segala
adat-istiadat orang Tolaki yang berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka.
Kalo sebagai adat pokok dapat digolongkan ke dalam apa yang disebut: (1) sara
wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahan; (2) sara mbedulu, yaitu
adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya; (3) sara
mbe’ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan; (4) sara
mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan
keahlian dan keterampilan; dan (5) sara monda’u, mombopaho, mombakani,
melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun,
beternak, berburu, dan menangkap ikan.
Secara historis, lembaga adat kalosara
merupakan landasan dasar dari
keseluruhan sistem sosial budaya orang Tolaki termasuk kepemimpinan,
kaidah-kaidah hidup bermasyarakat, sistem norma-norma, sistem hukum dan
aturan-aturan lainnya. Di dalam kehidupan sosial budaya orang Tolaki
sehari-hari secara umum baik merupakan rakyat biasa, sebagai seorang tokoh
formal maupun nonformal, nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam lembaga
adat kalosara berintikan persatuan dan kesatuan, keserasian dan
keharmonisan, keamanan dan kedamaian, dan sebagainya. Lembaga kalosara juga
menjadi landasan kultural bagi setiap individu orang Tolaki di dalam
menciptakan suasana kehidupan bersama yang aman damai serta di dalam menegakkan
aturan baik berupa hukum adat maupun hukum negara (Tawulo dkk, 1991; Tarimana,
1993; Su’ud, 1992; Tondrang, 2000). Karena itu bagi orang Tolaki menghargai,
mengkeramatkan dan mensucikan kalo berarti mentaati ajaran-ajaran nenek
moyang mereka. Apabila mereka berbuat sebaliknya, diyakini akan mendatangkan
bala atau durhaka (Tarimana, 1993: 43, Su’ud, 1992).
Kalo secara antropologis merupakan unsur
kebudayaan yang merupakan suatu unsur pusat dalam kebudayaan Tolaki,
sehingga mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan orang
Tolaki. Fokus kebudayaan dari suatu masyarakat, oleh R. Linton (1936:402-404)
disebut cultural interest atau social interest, yaitu suatu
kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak amat digemari warga masyarakatnya
sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang
bersangkutan (Koentjaraningrat, 1981:230).
Menurut Tarimana (1993:283) kalo
bagi orang Tolaki adalah fokus yang dapat mengintegrasikan unsur-unsur yang ada
dalam kebudayaan Tolaki, memiliki fungsi:
a.
Kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam
kehidupan orang Tolaki. Kalo pada tingkat nilai budaya adalah sistem
nilai budaya yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal yang
paling bernilai bagi orang Tolaki, adalah apa yang disebut medulu mepoko’aso
(persatuan dan kesatuan), ate pute penao moroha (kesucian dan keadilan),
morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro (kemakmuran dan kesejahteraan).
Ide ini dinyatakan melalui penggunaan kalo dalam setiap upacara perkawinan,
kematian, upacara tanam dan potong padi atau pun pada setiap upacara
penyambutan tamu. Selain itu, ide ini juga diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya dalam apa yang disebut mete’ alo-alo
(bantu-membantu) dan lain-lain.
b.
Kalo sebagai fokus dan pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan
Tolaki. Kalo bagi orang Tolaki bukan hanya sekedar simbol, tetapi juga fokus
dalam pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki, yakni bahasa, sistem
ekonomi tradisional, sistem teknologi tradisional, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, sistem kepercayaan dan juga kesenian.
c.
Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban
sosial dan moral dalam kehidupan orang Tolaki. Untuk terciptanya ketertiban
sosial dan moral dalam kehidupan masyarakat, penggunaan Kalo sebagai
pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral tampak dalam usaha
memulihkan suasana kelaparan karena panen gagal atau karena bencana alam atau
peristiwa lainnya.
Orang Tolaki menganggap bahwa timbulnya
suasana yang tidak baik akibat dari manusia yang telah melanggar adat ataupun
ajaran agama, dengan kata lain telah melanggar ajaran Kalo sebagai adat
pokok mereka. Untuk memulihkan suasana semacam ini, tidak ada jalan lain
kecuali melalui upacara yang disebut mosehe wonua (menyehatkan negeri)
yang diikuti oleh sebahagian besar warga masyarakat Tolaki
Kalo sebagai pemersatu untuk
pertentangan-pertentangan konseptual atau sosial dalam kebudayaan dan dalam
kehidupan orang Tolaki.
Pertentangan konseptual antara tubuh
dan jiwa dipersatukan oleh Kalo, di antaranya kalo yang
dipakaikan pada pergelangan tangan dan kaki bayi disebut kalo kale-kale.
Timbulnya pertentangan sosial bisa terjadi kapan, di mana saja dan juga antar
perorangan ataupun kelompok yang dapat meresahkan masyarakat. Konflik yang
sering muncul di masyarakat, seperti masalah sengketa hak atas tanah, masalah
perkawinan, pinangan ataupun masalah warisan juga diselesaikan dengan
menggunakan kalo. Begitu juga masalah sengketa perbatasan antar desa
yang seringkali sulit dipecahkan/diselesaikan oleh pemerintah, akhirnya
diselesaikan secara adat melalui kalo. Kebudayaan Tolaki dengan medium Kalosara
menjadi alat dominan dalam penyelesaian setiap sengketa. Misalnya, dalam
penyelesaian sengketa tanah pemerintah setempat bersama tokoh masyarakat dan
kepala adat melakukan kegiatan mosehe (penyehatan negeri) (Tarimana,
1993) . Upacara mosehe merupakan upaya rekonsiliasi antara
pihak-pihak yang bertikai.
B.
Konflik Tanah: Pribumi Versus Pendatang
Dalam masyarakat yang sedang berkembang dan selalu berubah, proses-proses
sosial seringkali berujung kepada meruyaknya sejumlah konflik dan pertentangan.
Pasca pemerintahan Suharto, sejumlah permasalahan yang dulunya terpendam
meledak kepermukaan. Konflik merebak di mana-mana. Beragam konflik yang terjadi
pada prinspinya selalu mengedepankan, setidak-tidaknya, wacana pertahanan diri
atau egoisme antar-kelompok yang melakukan konflik. Bukan tidak mungkin,
konflik yang terjadi malah akan berujung kepada proses integrasi sosial atau
kedewasaan sosial antar-masyarakat.
Merujuk kepada teori konflik, konflik yang terjadi selama ini lebih
memiliki motif ekonomi. Artinya konflik yang terjadi melibatkan kelas sosial
yang lebih rendah dengan kelas yang lebih tinggi, pemilik modal dengan kaum
miskin atau buruh, pemilik tanah dengan penyerobot tanah, antara pribumi dan
pendatang. Konflik-konflik yang terjadi, menurut teori konflik ini, akhirnya
berujung kepada pendewasaan hidup masyarakat.
Asumsi di atas mungkin tepat jika diterapkan kepada masyarakat tertentu,
misalnya pada masyarakat Amerika, Eropa, dan sejumlah negara berkembang. Pada
skala tertentu, khususnya pada masyarakat lokal, teori ini belum tentu bisa
diaplikasikan. Setidaknya, analisis teori konflik menjadi krusial jika
dipergunakan untuk menganalisa fenomena konflik di pertanahan, khususnya pada
masyarakat Tolaki.
Menjadi persoalan, apakah setiap
konflik atau pertentangan yang terjadi selalu berujung kepada integrasi sosial?
Sudah barang tentu, ada norma-norma baru yang muncul berkaitan dengan proses
konflik dan integrasi dalam setiap komunitas tertentu. Jika demikian,
bagaiamana eksistensi norma-norma lama yang mengatur tata hubungan sosial yang
mengandaikan perdamaian dan integrasi masyarakat?
Dalam kasus konflik pertanahan di
sejumlah wilayah, selalu saja tidak berujung kepada integrasi atau perdamaian.
Biasanya ada salah satu pihak yang dirugikan.konflik pertanahan di
sejumlah wilayah melibatkan antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat
dengann perusahaan-perusahaan raksasa, dan antara masyarakat dengan masyarakat
itu sendiri.
Bagi Susetiawan (2001: 65), persoalan
tanah merupakan persoalan klasik yang selalu ada dimana-mana sebab tanah
memiliki multimakna, mulai dari makna ekonomi, sosial, politik sampai dengan
kebudayaan. Oleh karena itu, konflik yang berhubungan dengan tanah senantiasa
berlangsung sebab setiap orang atau kelompok selallu memiliki kepentingan
dengannya.
Bentuk-bentuk sengketa pertanahan yang
banyak melibatkan rakyat atau para petani biasanya beragam bentuk. Scott (1985) menyebutnya sebagai everyday forms of
resistence, perlawanan terselubung (Siahaan, 1996), dan perbanditan sosial
(Suhartono, 1995). Bentuk lain perlawanan petani dimotivasi oleh sikap-sikap
keagamaan. Sartono Kartodirdjo (1984) mencatat bahwa perlawanan para tani dapat
diidentifikasi sebagai gerakan juru selamat (messianisme), gerakan ratu
adil (millenearisme), gerakan pribumi (nativisme), gerakan
kenabian (prophetisme), dan penghidupan kembali (revivalisme).
Sengketa tanah yang melibatkan petani biasanya
berhadap-hadapan dengan pemerintah, perusahaan raksasa, dan antar masyarakat
itu sendiri. Karsadi (2002) mencatat, ada sejumlah sengketa tanah yang akhirnya
mengarah kepada konflik kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia. Pada 1977
hingga 1998, sengketa tanah adat merentang sejak di Luwu Sulawesi
Selatan, di Belitung Sumatera selatan, dan pada tahun yang sama sengketa tanah
adat dan hak ulayat terjadi di Irian Jaya yang berimplikasi pada pengungsian
10.000 penduduk asli ke PNG hingga sengketa tanah di Kutai, Kalimantan Barat,
Donggala Sulawesi Tengah, Rimbayu Kalimantan timur. Arianto Sangadji (2000) juga mencatat
konflik pertanahan yang melibatkan penduduk lokal, To lindu, di palu
dengan PLTA. Konflik tanah ini kebanyakan terkait dengan klaim mengenai hak
ulayat oleh masyarakat adat atau masyarakat lokal di berbagai tempat di
Indonesia.
Upaya merekam sejumlah konflik tanah di
Kabupaten Konawe telah dilakukan oleh beberapa orang sarjana. Karsadi (2002)
dalam Desertasi Doktornya di Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Sengketa
tanah dan Kekerasan di Daerah Transmigrasi: Studi Kasus di Lokasi Pemukiman
Transmigrasi di Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara”, mencatat sejumlah kasus
konflik yang terjadi di wilayah Kabupaten Kendari (sekarang Kabupaten Konawe),
khususnya terkait dengan konflik tanah. Konflik yang terjadi di beberapa
kecamatan, yakni kecamatan Konda, Wawotobi dan Pondidaha, di daerah ini
melibatkan antara masyarakat pribumi dan pendatang. Penduduk pribumi lokal,
suku Tolaki, mengklaim bahwa mereka berhak atas tanah adat. Sementara penduduk
pendatang, umumnya suku Bali, Jawa, Bugis dan sebagainya juga mengklaim hal
yang sama. Saling mengklaim atas tanah di beberapa kecamatan ini kemudian
berlanjut kepada kontak fisik.
Konflik pertanahan di daerah ini
bermula ketika pemerintah menempatkan warga transmigrasi di beberapa wilayah di
daerah ini.menurut Karsadi, sejak penyelanggaraan program transmigrasi di
Kabupaten Kendari dengan menempatkan transmigran dengan jumlah yang relatif
besar telah berdampak terhadap menyempitnya lahan pertanian secara tradisional.
Keberadaan lahan-lahan pertanian tradisional seperti homa, anahoma atau anasepu
semakin tergusur karena lahan tersebut sebagian besar digunakan untuk
proyek transmigrasi.
Secara sosial ekonomi, dengan
tergusurnya areal lahan pertanian berupa homa, anahoma atau anasepu,
o’epe, arano, lokua, dan walaka untuk kepentingan penyelenggaraan
transmigrasi di daerah ini telah menimbulkan marjinalisasi di pihak penduduk
asli. Semakin menyempitnya lahan perladangan menyebabkan terjadinya penurunan
produktivitas dan subsitensi pangan mereka.
Selain itu, permasalahan lain yang
mempertajam munculnya konflik dilatari oleh semakin melebarnya kesenjangan
antara penduduk transmigran dengan penduduk asli atau suku Tolaki. Secara
sosial ekonomi, penduduk transmigran memiliki kecakapan dan keahlian di bidang
pertanian, kepemilikan aset-aset dan alat-alat pertanian. Sementara hal ini
berbanding terbalik dengan penduduk asli khusuusnya di kalangan petani yang
hidupnya masih memprihatinkan. Dengan proyek transmigrasi ini, penduduk asli
semakin kehilangan lahan pertanian untuk menyambung hidupnya.
Pemerintah daerah telah berupaya meredam dan menyelesaikan konflik
pertanahan di ketiga kecamatan ini. Penelitian Karsadi selanjutnya mencatat
bahwa penyelesaian sejumlah konflik di daerah transmigrasi terkesan terlambat
dan cenderung memihak kepada kepentingan masyarakat tertentu. Karena itu upaya
meminimalisir kemungkinan konflik berkelanjutan akan sulit terwujud. Bagi
Karsadi (2002), penyelesaian sengketa tanah di daerah transmigrasi sukar
membuahkan hasil karena alternatif solusi sengketa tanah yang diterapkan masih
memiliki beberapa kelemahan mendasar, misalnya, adanya intervensi pemerintah
daerah yang berlebihan dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah, bahkan intervensi
itu seringkali bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
keberpihakan pemerintah daerah setempat pada salah satu kelompok masyarakat
tertentu tanpa terlebih dahulu melihat akar permasalahan sengketa tanah yang
terjadi, pemerintah daerah dalam merumuskan dan menentukan alternatif solusi
sengketa tanah memiliki standar ganda dan cenderung bersifat ambivalen, dan
adanya sikap dan pandangan negatif oleh beberapa pejabat pemerinatah daerah
terhadap transmigran baik langsung maupun tidak langsung berdampak pada
munculnya perasaan permusuhan dan kebencian antarkelompok-kelompok masyarakat
yang bersengketa.
Meskipun penilaian Karsadi masih perlu ditelaah dan dikaji ulang, tetapi
paling tidak penyelesaian sengketa tanah tanpa berpatokan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan pada kearifan lokal (local genius)
pada masing-masing pihak yang bersengketa tidak dapat membuahkan hasil yang
positif. Penyelesaian sengketa tanah akan semakin sulit dilakukan jika akar
permasalahannya tidak dikaji secara mendasar, landasan berpijaknya kabur, dan
masing-masing pihak tidak bersikap dewasa dalam menyikapi persoalan mereka.
C.
UUPA dan Kalosara
Tanah adat di Indonesia biasa disebut sebagai hak ulayat. Secara umum pengertian hak ulayat
utamanya berkenan dengan hubungan hukum antara masyatakat adat dengan tanah
dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum tersebut adalah merupakan
serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang
berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyaakat
hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seorang maupun yang belum.
Umumnya batas wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat teritorial tidak dapat
ditentukan secara pasti.
Ketentuan mengenai hak ulayat disebutkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 3:
“dengan mengingat ketentuan-ketentuan
dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Hak Ulayat dalam ketentuan UUPA Nomor 5
Tahun 1960 ini tidak memberikan kriteria mengenai yang mana yang disebut
sebagai hak ulayat. Hal ini didasari oleh alasan para perancang dan pembentuk
UUPA untuk tidak mengatur tentang hak ulayat karena penngaturan Hak Ulayat,
baik dalam penentuan kriteria eksistensi maupun pendaftarannya, akan
melestarikan keberadaan hak ulayat. Sedangkan secara alamiah terdapat
kecenderungan melem
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah