BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasca Gerakan Reformasi 1998, Indonesia mengalami proses transisi yang melibatkan
pelembagaan politik sebagai upaya konsolidasi demokrasi dan desentralisasi
pemerintahan. Proses transisi ini telah menghasilkan beberapa hal positif bagi bangsa
Indonesia, termasuk di dalamnya meningkatkan partisipasi politik rakyat, tapi juga
menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar akan dampak negatifnya.
Lebih dari itu, gerakan netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisme birokrasi
(bureaucratic pluralism), dimana format kebijakan lebih merupakan hasil dari kompetisi
aktor-aktor ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasi penting yaitu peluang
untuk mempengaruhi kebijakan publik lebih dimungkinkan dan juga relatif
meningkatnya tanggung jawab birokrasi terhadap masalah-masalah sosial dan tekanan
sosial.
Masalah politisasi birokrasi tetap menjadi isu krusial dalam pemilihan umum khususnya
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kekhawatiran publik terhadap
keberpihakan birokrasi memang tidak berlebihan karena institusi ini sangat rentan dan
mudah menjadi wilayah konflik kepentingan partai politik. Terbukti masalah netralitas
ini kembali marak dipertanyakan ketika muncul isu terjadinya mobilisasi PNS di Bali
dalam rangka kampanye PDI-P menjelang pemilu legislatif bulan April 2004. Bahkan
makin mencuat lagi ketika disinyalir adanya kampanye terselubung birokrat untuk
mendukung salah satu calon presiden dalam pemilu putaran kedua, 20 September
2004 yang lalu.
Fenomena ini menunjukkan dengan jelas bahwa Undang-undang dan peraturan
tentang birokrasi/PNS ternyata masih tidak cukup kuat untuk mencegah upaya
penyelewengan fungsi birokrasi. Kecenderungan birokrat atau partai yang memerintah
(apapun partainya) untuk menggunakan mesin birokrasi sebagai alat yang efektif untuk
mendapatkan dukungan suara dalam pilkada sulit dicegah. Peluang reformasi
birokrasi ke depan bisa jadi terhambat oleh konflik kepentingan yang tidak pernah
absen untuk senantiasa menggunakan mesin birokrasi sebagai pengumpul suara
dalam pilkada.
Dengan sistem multi partai tidak tertutup kemungkinan konflik kepentingan di birokrasi
akan makin menajam. Selain itu, gambaran belakangan ini menunjukkan bahwa
disorientasi PNS ternyata masih berlangsung, PNS cenderung bersikap pragmatis dan
memihak partai yang berkuasa. Hal ini bila diteruskan akan menghilangkan makna
birokrasi yang seharusnya melayani masyarakat dan bersikap profesional dalam
menjalankan tugasnya. Dengan kata lain, prospek reformasi birokrasi pasca pemilu
2004 tergantung seberapa besar komitmen elit birokrat dan pimpinan negara untuk
mereformasi birokrasi, sehingga mampu menghapus kesan bahwa komitmen mereka
cenderung longgar dan pragmatis.
Lepas dari tantangan besar yang masih dihadapi birokrasi untuk menjadi profesional,
netral, akuntabel dan partisipatif, secara umum dapat dikatakan bahwa birokrasi di era
transisi cenderung menciptakan birokrasi yang plural yang ditandai dengan makin
pluralnya sistem politik di mana sistem ini lebih terbuka terhadap pengaruh kekuatan
sosial (societal forces) dalam masyarakat. Salah satu indikator penting dari ciri
pluralisme birokrasi adalah tak satu pun kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah
tak mendapatkan sorotan atau kritikan dari masyarakat. Meskipun tak semua
keberatan publik dapat menggagalkan kebijakan pemerintah, namun sebagian
terpaksa mengalami penundaan karena resistensi yang besar dari masyarakat.
Pada tanggal 9 April 2009 mendatang Indonesia berencana menggelar pesta
demokrasi yakni pemilihan umum legislatif (DPR, DPD, DPRD Prov & DPRD
Kab/Kota). Di Provinsi Lampung, selain diikuti oleh 58 calon anggota DPD, pemilu
2009 mendatang juga akan diiukuti oleh 42 partai politik dari 48 parpol yang berhak
mengikuti pemilu 2009 ini. Dari beberapa parpol peserta pemilu tercatat bahwa
terdapat beberapa nama bupati/walikota yang kebetulan juga menjadi ketua partai
pada tingkat kabupaten/kota.
Tercatat Drs. Eddy Sutrisno (Walikota Bandar Lampung) sebagai ketua DPD Partai
Golkar Kota Bandar Lampung, Drs. Mukhlis Basri (Bupati Lampung Barat) sebagai
Ketua DPC PDI-P Kabupaten Lampung Barat dan Satono (Bupati Lampung Timur)
sebagai ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Lampung Timur. Posisi sebagai pimpinan
daerah sekaligus ketua partai dalam konteks netralitas birokrasi menjadi menarik diteliti
karena ada kekhawatiran sebagai bupati/walikota yang memiliki kewenangan
menginstruksikan aparatur pemerintah akan dimanfaatkan dalam konteks pemenangan
parpol yang dipimpinnya.
Netralitas birokrasi versus upaya pemenangan parpol dalam pemilu 2009 menjadi isu
menarik untuk diteliti karena politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam dinamika

pemerintahan Indonesia saat ini bagaikan kesatuan yang tidak terpisahkan. Hubungan
ketiganya dapat dilacak dari sejarah awal pembentukan negara ini, dari masa kerajaan,
zaman kolonial hingga setelah kemerdekaan. Tarik-menarik politik dan kekuasaan
berpengaruh kuat terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi selama ini. Birokrasi
yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi
melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat ini,
pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi
memberi pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik
kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit
birokrasi lainnya.
Potret birokrasi di Indonesia memang memiliki akar masalah sejarah yang tidak pernah
terlepas dari pengaruh politik praktis. Sejak awal kemerdekaan, birokrasi telah menjadi
objek dan alat politik. Kita ketahui bahwa di era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an,
ketika parpol tampil saat itu sebagai aktor sentral dalam sistem politik Indonesia,
birokrasi secara masif telah menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena
perlombaan pengaruh parpol, sehingga menimbulkan polarisasi dan fragmentasi
birokrasi.
Terjadinya perubahan politik ke era Demokrasi Terpimpin (1959-1966) pun tidak
menghasilkan perubahan mendasar kecuali perubahan peta kekuatan politik.
Pergeseran politik saat itu ditandai tiga konteks: pertama, peranan parpol mulai
termarjinalisasikan sebagai aktor utama dalam sistem politik; kedua, menonjolnya figur
Presiden Soekarno sebagai patron kekuasaan; dan ketiga, masuknya kekuatan militer
secara resmi ke pentas politik, menempati banyak jabatan strategis pemerintahan dari
pusat hingga daerah.
Marjinalisasi parpol dalam era Orde Lama itu, penyebabnya tidak terlepas dari
sentimen Soekarno dan militer. Stigma negatif terhadap parpol sebagai biang
instabilitas suatu isu yang oleh rezim Orde Baru yang lahir kemudian, kian dipertajam
merupakan senjata ampuh dalam proses penyingkiran parpol. Kecuali PKI saat itu
satu-satunya partai yang dapat menarik keuntungan karena kedekatannya dengan
Presiden Soekarno. Namun, dalam realitasnya justru yang terjadi pergulatan politik
segi tiga (Soekarno, PKI, dan militer), sebagaimana tercermin puncaknya dalam
Peristiwa G30S, dengan dampaknya yang juga akhirnya menimbulkan fragmentasi
birokrasi.
Terjadinya peralihan ke era rezim Orde Baru (1966-1998) berikutnya pun hanya
merupakan peristiwa perubahan konfigurasi politik juga. Perubahan itu antara lain

ditandai dua hal. Pertama, pola konsentrasi kekuatan politik berubah dari polarisasi
dan pertarungan antar-parpol dan politisi sipil ke pola dominasi militer dan Golongan
Karya (Golkar). Kedua, proses marjinalisasi parpol secara umum yang terus berjalan
seiring dengan tampilnya unsur kekuatan militer yang kian memantapkan posisi
sebagai aktor sentral.
Kita ketahui, kelahiran Orde Baru merupakan buah kemenangan militer dengan politik
representasinya yang terpusat pada sosok Jenderal Soeharto. Hal ini yang menjadi
penyebab militer di masa Orde Baru itu dengan jalan terbuka lebar berhasil
mendominasi struktur birokrasi, termasuk memperalatnya sebagai sarana represif
untuk membungkam setiap gerakan kritis termasuk mahasiswa dan LSM. Bedanya
dengan masa sebelumnya, birokrasi tidak lagi terfragmentasi oleh pertarungan
kepentingan parpol, tetapi terjebak dalam hegemonisasi kekuasaan rezim otoritarian
Orde Baru yang didominasi militer.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi benar-benar sempurna menjadi alat
politik rezim patrimonialistik dan militeristik Presiden Soeharto. Mirip cara rezim
kolonial Belanda dalam memanipulasi aparat birokrasi tradisional atau kalangan
pangreh praja yang diintegrasikan ke dalam beamtenstaat (struktur kolonialisme);
demikian korps pegawai negeri juga diintegrasikan sebagai mesin politik negara
korporatik-otoritarian oleh rezim Orde Baru.
Tindakan institusionalisasi itu dimulai lewat Korps Karyawan Pemerintah Dalam Negeri
di awal Orde Baru, dan berikut disempurnakan dengan Korpri (Korps Pegawai
Republik Indonesia) lewat Kepres No. 82/1972. Melalui jalan itulah, aparat birokrasi
secara masif dimobilisasi untuk kepentingan politik rezim, termasuk sebagai
pendukung kekuatan politik, kuda troya, sekaligus sebagai basis konstituen aktual di
setiap pemilu yang hanya bertujuan melanggengkan status quo rezim.
Tidak heran, setelah keruntuhan Orde Baru tahun 1998, berkembang tuntutan luas dari
publik bagi penegakan netralisasi politik birokrasi. Tuntutan reformasi ini sebagian
sebenarnya telah direspon oleh rezim pemerintahan pasca-Soeharto. Hubungan
antara birokrasi dengan kekuatan politik praktis mulai dipangkas, termasuk keterkaitan
birokrasi dengan Golkar bersama kino-kino derivasinya, sementara Korpri sendiri
disingkirkan sebagai wadah korporatik yang merantai aparat birokrasi. Misalnya,
dengan membuat peraturan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjadi anggota
parpol harus berhenti atau diberhentikan dari jabatannya atau cuti jika terlibat dalam
parpol. Namun, status sebagai aparat negara dapat diaktifkan lagi jika mereka
melepaskan keterikatan sebagai anggota maupun pengurus parpol. Bagian dari aturan yang sama juga mencakup unsur militer (TNI) dan kepolisian (Polri).
Masalahnya, berbagai langkah reformasi birokrasi pasca Orde Baru tersebut terganjal
faktor real politics. Tampaknya birokrasi tetap juga sulit untuk melepaskan diri dari
pengaruh politik praktis, berhadapan pluralisasi kepartaian dan tampilnya politisi atau
parpol yang menggantikan peranan dominan militer sebagai aktor utama sistem politik.
Gambaran gonjang-ganjing kepartaian yang tak pernah sepi dalam pertarungan
kekuasaan dan perebutan kursi mulai dari pusat hingga daerah sejak era
kepemimpinan Presiden BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dengan jelas menunjukkan fenomena itu.
Di tengah era reformasi dewasa ini yang membuka peluang bagi berkembangnya
pluralisasi dan polarisasi kepartaian, termasuk keterbukaan pola rekrutmen politik,
mirip pengalaman era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di masa lalu, kiranya kita
telah menyaksikan bersama suatu kontestasi seru persaingan partai dan politisi yang
berlomba untuk dapat merebut kursi atau minimal berusaha mempengaruhi kinerja
birokrasi pemerintahan. Khususnya di level daerah/lokal dari provinsi hingga
kota/kabupaten, realitas ini bahkan seolah kian terlegitimasikan penguatannya lewat
UU Pemerintahan Daerah, baik UU No. 22/1999 yang telah ditinggalkan maupun UU
No. 32/2004 yang baru, beserta peraturan pelaksanaannya yang bersemangatkan
otonomi daerah.
Di sisi lain, masyarakat selama ini masih berpandangan bahwa birokrasi (administrasi
negara) sama dengan pemerintah. Padahal keduanya berbeda dan tidak dapat
disamakan. Untuk konteks Indonesia, perbedaan birokrasi (administrasi negara)
dengan pemerintah, memang kurang lazim didengar. Kekeliruan itu membuat peran
eksekutif tetap dominan dan berkuasa penuh atas birokrasi beserta sayap-sayapnya
yang menjangkau seluruh lembaga-lembaga negara.
Ada beberapa pokok pemikiran dalam rencana penelitian ini yang akan dipergunakan
sebagai basis analisis, yakni, pertama bahwa pemerintah adalah salah satu cabang
kekuasaan dalam konsep trias politika yang dikenal dengan eksekutif. Kedua,
administrasi negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat negara yang
menjalankan tugas-tugas negara, di antaranya menjalankan tugas pemerintahan.
Pemikiran ini mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama dengan negara
dan karenanya, aparat negara bukanlah melulu aparat pemerintah.
Ketiga, penyatuan administrasi negara dengan administrasi pemerintah dapat
mengakibatkan administrasi negara cenderung melayani kekuasaan, daripada
menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat. Keempat, netralitas
birokrasi yang dimaknai hanya sebatas membebaskan administrasi negara dari
intervensi politik (pimpinan partai politik) atau partai politik, sebagaimana dianut
Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
Partai Politik, merupakan pengertian yang semu. Pemerintah sebagai bagian dari
administrasi negara adalah kekuasaan politik, sehingga akan sulit bagi pemerintah
untuk tidak mendatangkan pengaruh politik ke dalam birokrasi.
Kelima, administrasi negara dengan administrasi pemerintah perlu dipisahkan dengan
mereposisi administrasi negara ke dalam bingkai negara, sehingga administrasi
Negara benar-benar merupakan abdi negara dan abdi masyarakat, bukan abdi
pemerintah. Keenam, untuk mereposisi administrasi negara perlu dibuat sandaran
aturan baru yang lebih kuat. Sandaran itu berupa dasar aturan yang benar-benar
mampu menciptakan administrasi negara yang lebih independen dan netral.
Pilihannya, menyempurnakan aturan perundang-undangan yang sudah ada atau
membuat aturan baru yang lebih kuat.
Melalui aturan perundang-undangan yang baru, hubungan antara pemerintah dan
administrasi negara ditata ulang, sehingga posisi administrasi negara menjadi lebih
independen dan netral, utamanya terhadap pemerintah (eksekutif). Dalam konteks
reformasi birokrasi, netralitas birokrasi memang bukan jawaban tuntas untuk
kebobrokan birokrasi dewasa ini. Netralitas birokrasi hanya salah satu aspek yang
harus diperhatikan dari agenda besar reformasi birokrasi. Namun peneliti berpendapat,
netralitas birokrasi sangat penting dan perlu mendapatkan prioritas, bahkan menjadi
prasyarat bagi percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi itu sendiri.
1.2. Perumusan Masalah
Atas dasar latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam rencana penelitian
ini adalah
1. Bagaimana netralitas birokrasi di Pemerintah Kabupaten Lampung Barat dalam
pemilu legislatif Tahun 2009?
2. Bagaimana sikap dan/atau instruksi Bupati Lampung Barat sebagai ketua DPC
PDIP Kabupaten Lampung Barat dalam pemilu legislatif 2009 kepada jajaran
birokrasinya?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui netralitas birokrasi pemerintah Kabupaten Lampung Barat
dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009.
2. Untuk mengetahui sikap dan/atau instruksi Bupati Lampung Barat sebagai ketua
DPC PDIP Kabupaten Lampung Barat dalam Pemilu Legislatif 2009 kepada jajaran
birokrasinya.
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis; penelitian ini sebagai salah satu kajian politik dan pemerintahan,
terutama berkaitan dengan sikap politik birokrasi
2. Secara praktis; penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
bagi birokrat agar dalam setiap pemilu memiliki sikap netral dan profesional

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Birokrasi
Birokrasi memiliki asal kata dari Bureau, digunakan pada awal abad ke 18 di Eropa
Barat bukan hanya untuk menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada kantor,
semisal tempat kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi berasal dari
bahasa perancis berarti pelapis meja. Kata birokrasi sendiri kemudian digunakan
segera setelah Revolusi Perancis tahun 1789, dan kemudian tersebar ke negara lain.
Kata imbuhan -kratia berasal dari bahasa Yunani atau kratos yang berarti kekuasaan
atau kepemimpinan. Birokrasi secara mendasar berarti kekuasaan perkantoran
ataupun kepemimpinan dari strata kepegawaian (Thoha, 2004).
Di Cina, dinasti Song (960 AD) sebagai contoh membentuk birokrasi sentralistis
dengan staf berasal dari rakyat jelata yang terdidik. Sistem kepemimpinan ini
kemudian mendorong konsentrasi kekuasaan di dalam tangan kaisar dan birokrasi
istana daripada yang diperoleh oleh dinasti sebelumnya.
Teori Karl Marx tentang birokrasi berasal dari teori mengenai historical materialisme,
asal muasal birokrasi dapat ditemukan dalam empat sumber: agama, pembentukan
negara, perdagangan, dan teknologi. Kemudian, bentuk birokrasi paling awal terdiri
dari tingkatan kasta rohaniawan/tokoh agama, pegawai pemerintah dan pekerja yang
mengoperasikan aneka ritual, dan tentara yang ditugaskan untuk mentaati perintah. Di
dalam transisi sejarah dari komunitas egaliter primitif ke dalam civil society terbagi
kelas-kelas sosial dan wilayah, muncul sekitar 10.000 tahun yang lalu, dimana
kewenangan terpusat, dan dipaksakan oleh pegawai pemerintah yang keberadaannya
terpisah dari masyarakat.
Negara memformulasikan, memaksakan dan menegakkan peraturan, dan memungut
pajak, memberikan kenaikan kepada sekelompok pegawai yang bertindak untuk
menyelenggarakan fungsi tersebut. Kemudian, negara melakukan mediasi bila terjadi
konflik di antara masyarakat dan menjaga konflik agar masih dalam batas kewajaran;
negara juga mengatur pertahanan wilayah. Terutama, hak umum perorangan untuk
membawa dan menggunakan senjata untuk mempertahankan diri sedikit demi sedikit
dibatasi; memaksakan orang lain untuk berbuat sesuatu menjadi hak legal negara dan
aparat pemerintah untuk melakukannya.
2.2. Teori Birokrasi Max Weber
Max Weber menjadi salah seorang yang paling berpengaruh di dunia karena pengaruh
ajarannya pada ilmu pengetahuan sosial. Ia terkenal oleh karena studinya mengenai
pembirokrasian masyarakat; banyak aspek dari administrasi publik modern berpaling
kepadanya; pendekatan klasik, pegawai pemerintah yang secara organisasi hirarkhis
selanjutnya disebut “Weberian civil service.” akan tetapi, bertolak belakang dengan
pendapat masyarakat umum, “bureaucracy” merupakan kata yang berasal dari Inggris
jauh sebelum Weber; Kamus Bahasa Inggris terbitan Oxford menyebutkan kata ini
beberapa kali dalam edisi tahunan yang berbeda antara tahun 1818 dan 1860,
sebelum tahun kelahiran Weber pada 1864 (Watson, 1980).
Weber menggambarkan tipe birokrasi ideal dalam nada positif, membuatnya lebih
berberntuk organisasi rasional dan efisien daripada alternatif yang terdapat
sebelumnya, yang dikarakterisasikan sebagai dominasi karismatik dan tradisional.
Menurut terminologinya, birokrasi merupakan bagian dari dominasi legal. Akan tetapi,
ia juga menekankan bahwa birokrasi menjadi inefisien ketika keputusan harus diadopsi
kepada kasus individual.
Menurut Weber, atribut birokrasi moderen termasuk kepribadiannya, konsentrasi dari
arti administrasi, efek daya peningkatan terhadap perbedaan sosial dan ekonomi dan
implementasi sistem kewenangan yang praktis tidak bisa dihancurkan. Birokrasi ala
Weber dikenal juga dengan sebutan “Birokrasi Weberian”.
2.3. Teori Max Weber dan Teori Besi Oligarki
Seorang pejabat birokrasi adalah berkepribadian bebas dan ditunjuk dalam posisi
berdasarkan peraturan, menggunakan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan
gaya kepemimpinan yang adil, dan kesetiaannya tergambar melalui pelaksanaan
tugasnya secara sepenuh hati, penunjukkan dan penempatan kerja berdasarkan
kualifikasi teknis yang dimiliki, kerja administratif dikerjakan penuh waktu (full time),
pekerjaan diganjar berdasarkan upah harian dan prospek masa depan sepanjang karir.
Seorang pegawai pemerintah harus menggunakan penilaian dan keterampilannya,
akan tetapi tugasnya adalah menempatkan kedua hal tersebut pada kewenangan yang
lebih tinggi; akhirnya ia hanya bertanggungjawab untuk menjalankan sebagian tugas
yang telah ditugaskan dan harus mengorbankan penilaiannya apabila bertentangan
dengan tugas pekerjaannya. Pola kerja Weber banyak diikuti oleh yang lainnya seperti
Robert Michels dengan teori Besi Oligarki (Iron Law of Oligarchy).
2.4. Reformasi Birokrasi Pasca Jatuhnya Orde Baru
Tuntutan reformasi birokrasi yang menjadi aspirasi publik pasca Orde Baru, tampaknya
kini perlu diangkat kembali sebagai isu publik. Apalagi dari sejumlah agenda reformasi
yang telah dilaksanakan selama ini, birokrasi merupakan salah satu wilayah yang
belum tersentuh secara signifikan. Presiden SBY pun beberapa waktu lalu telah
merespon tuntutan ini dengan mengemukakan akan memimpin sendiri secara
langsung proses reformasi birokrasi ini dengan membentuk tim khusus. Entah tim
khusus seperti apa yang akan dibentuk, belum ada penjelasan konkret.
Salah satu masalah krusial yang patut disoroti terkait masalah ini adalah soal yang
berhubungan dengan perilaku jaringan orang-orang partai yang berkuasa dalam
domain lembaga birokrasi. Kita ketahui, bahwa keberadaan mereka bagaimanapun
sulit dipungkiri membawa pengaruh kepentingan politik praktis. Tuntutan publik adalah
agar para politisi yang menjadi pejabat pemerintahan tidak mempolitisasi birokrasi.
Memang ironis, bahwa upaya untuk membangun birokrasi modern yang seperti
diistilahkan oleh Max Weber sebagai birokrasi rasional yang lebih bertumpu pada
aspek profesionalitas dan prestasi sebagai public servant masih sulit untuk dibangun.
Sepanjang era reformasi, birokrasi menunjukkan peluangnya malah kian terperangkap
menjadi alat politik partisan. Apalagi sumber rekrutmen kepemimpinan birokrasi mulai
Presiden/Wakil Presiden, Menteri-menteri, Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil
Walikota, hingga Bupati/Wakil Bupati, tidak terlepas dari jaringan dukungan parpol.
2.5. Netralitas Birokrasi
Konsep netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis sosial dan
politik hampir dua abad yang lalu. Konsep itu terpusat pada analisis dan buah pikiran
para pemikir klasik seperti Karl Mark, Max Weber, Jhon Stuart Mill, Gaestano Mosca
dan Robert Michels (Fischer & Sirriani; 1984)
Sekitar abad ke 20, konsep netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting
dalam kehidupan sosial politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang
berbicara tentang managerial revolution dan konsep baru tentang birokrasi dunia
(bureaucratization of the world). Berbarengan dengan itu mereka juga ingin tahu
sampai di mana peranan birokrasi dalam perubahan-perubahan besar dalam
kehidupan sosial, ekonomi dan politik pada zaman yang semakin maju ini.
(Miftah;1993)
Kemudian bila dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Indonesia khususnya pada era
Orde Baru yang berjalan hamipr 32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi sudah
menampakkan keberpihakannya kepada satu kekuatan politik tertentu (Golkar)
sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri.
Ketika Orde Baru lahir, kehidupan kepartaian kita dalam kondisi dan situasi yang
sangat memprihatinkan. Ini disebabkan oleh strategi pembangunan politik orde lama di
mana PKI merupakan satu-satunya partai politik yang tetap eksis dengan fungsinya.
Sedangkan parta-partai lain satu persatu hilang, baik secara alamiah atupun karena
tidak sesuai dengan Bung Karno sebagai Presiden yang sekaligus sebagai Panglima
Tertinggi dan menyatakan dirinya juga sebagai Panglima Besar Revolusi waktu itu
yang mengeluarkan gagasan JAREK (jalannya revolusi kita)
Dalam keadaan seperti itu masyarakat sangat merindukan terciptanya satu situasi
yang memungkin-kan kepentingan mereka tersalurkan dan terwakili melalui partai
politik. Situasi yang demikian dibaca oleh rejim baru, sehingga begitu orde lama
tumbang, orde baru berusaha untuk memulihkan keadaan dengan mengetrapkan dua
strategi dasar:
Pertama: menjadikan tentara/ABRI sebagai ujung tombak demokrasi dan pemegang
kemdali pemerintahan ditopang oleh birokrasi yang kuat dan terlepas dari ikatan
kepartaian konvensional/tradisional. Kedua: menitikberatkan pembangunan ke arah
rehabilitasi ekonomi. (Sunardian W dalam Anshori :1994)
Dua strategi tersebut jelas akan memerlukan stabilitas dengan segala resikonya yang
dalam banyak hal akan merugikan bagi parpol non-pemerintah. Dalam kerangka inilah
ABRI kemudian mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (SEK-BER
GOLKAR) pada tahun 1964 sebagai embrio bagi partai pemerintah (partai pelopor
seperti konsep Presiden Soekarno).
Dari sini kita melihat bahwa politik orde baru berusaha menciptakan iklim politik yang
mendukung tumbuh suburnya kembali partai-partai politik, namun tetap berada di
bawah kontrol birokrasi sehingga tidak akan menggoyahkan stabilitas nasional.
Faktor lain yang juga dapat disebut adalah tulisan Dr. Muhajir Darwin seperti dikutip
Anshori (1994) yang menyatakan bahwa ; sejarah birokrasi di Indonesia di jaman
kerajaan dahulu pernah meletakkan para birokrat (kaum ningrat dan abdi dalem)
sebagai instrumen untuk melayani kepentingan raja. Kemudian datang penjajah atau
para kolonial yang mengembangkan birokrasi model Weberian (secara rasional) untuk
memenuhi kepentingan negara penjajah.Setelah kemerdekaan diperoleh, birokrasi
menjelma sebagai organisasi modern dan besar di tengah masyarakat yang belum
terbiasa berorganisasi secara modern.Disamping itu birokratisasi di Indonesia
berkembang tanpa didahului oleh demokrasi seperti kebanyakan yang terjadi di
negara-negara berkembang lainnya (Muhajir dalam Anshori :1994)
Melihat perjalanan sejarah birokrasi di Indonesia yang seperti di atas tadi, maka sulit
kiranya (bila biorkrasi tidak benar-benar netral) mewujudkan proses kontrol yang efektif
terhadap birokrasi, menciptakan proses check and balance dalam mekanisme politik.
Sebab dengan model; birokrasi = kekuatan politik tertentu/dominan dan sebaliknya,
birokrasi akan bebas meniadakan fungsi kontrol terhadap hak-hak politik warga
negara; sebagai contoh (era orde baru) lembaga LITSUS paling efektif untuk mengebiri
hak-hak politik warga negara dengan menggunakan justifikasi politis yaitu "stabilitas
politik" dan alasan ini adalah paling tepat dan mudah digunakan karena sejauh itulah
yang dipercaya sebagai faktor yang mendukung keberhasilan pembangunan Indonesia
selama kurun waktu 30 tahun terakhir ini.
Namun memihaknya birokrasi pemerintah kepada kekuatan politik atau pada golongan
yang dominan membuat birokrasi tidak steril (Miftah; 1993). Banyak virus yang terus
menggrogotinya seperti pelayanan yang memihak, jauh dari obyektifitas, terlalu
birokratis (bertele-tele) dan sebagainya, akibatnya merteka merasa lebih kuat sendiri,
kebal dari pengawasan dan kritik.
Dengan melihat masalah politisasi birokrasi yang tetap berlangsung, maka jelas
tampak di sini pentingnya untuk mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi
birokrasi. Sebenarnya tuntutan ini sudah pernah menghangat ketika muncul
perdebatan mengenai rangkap jabatan seorang pejabat pemerintahan sekaligus
pengurus atau anggota partai. Namun demikian, tuntutan itu mendapatkan resistensi
dari parpol dan para politisi atau kader partai yang meraih kekuasaan dalam
kepemimpinan birokrasi pemerintahan.
Terungkap setidaknya tiga alasan dari sikap para politisi dan parpol sehingga tidak
mau melepaskan inter-relasinya. Pertama, bahwa tidak ada aturan yang melarang
seorang aktivis partai merangkap sebagai pejabat birokrasi, khususnya pada jabatan
politik dari presiden/wakil presiden, menteri, gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil
walikota, dan bupati/wakil bupati. Kedua, bertahannya mereka sebagai pengurus partai
meski telah menjadi pejabat birokrasi, bukan karena ambisi pribadi namun karena
kehendak partai termasuk konstituen. Ketiga, posisi sebagai aktivis partai dan pejabat
negara/pemerintahan merupakan dua hal yang berbeda, karena itu, katanya, dapat
berusaha dipisahkan.
Pertanyaan yang menarik dilontarkan, apakah mungkin bagi para politisi yang
merangkap sebagai birokrat itu benar-benar dapat melepaskan diri dari ikatan aspirasi
atau kepentingan partai yang mendukungnya? Sulit disangkal mereka pasti mengalami
kendala. Terbuka peluang birokrasi untuk dimanfaatkan sebagai alat politik, jika tidak
akibatnya malah melahirkan conflict of interest. Mengingat, garis batas aktivitas dan
kepentingan antara domain birokrasi dan parpol bisa amat kabur, jika politisi
bersangkutan menjabat pejabat birokrasi tanpa melepaskan atribut kepartaiannya.
Mencuatnya berbagai isu krusial seperti pergantian atau pergeseran pejabat dalam
pos-pos pemerintahan oleh pejabat yang berkuasa yang tidak mengindahkan aturan,
aksi dukung-mendukung aparat birokrasi terhadap kandidat dan aktivitas partai tertentu
terutama dalam kasus Pilkada, adanya penetrasi kepentingan parpol dalam penentuan
dan pengelolaan anggaran pembangunan dan banyak lagi lainnya yang sudah menjadi
isu publik, semua itu menunjukkan isyarat kemungkinan terjadinya politisasi birokrasi.
Maka, kini mendesak bagi pemerintah bersama lembaga legislatif mulai dari level
pusat hingga ke daerah, untuk menegakkan profesionalitas dan netralitas kinerja
birokrasi. Untuk itu, diperlukan code of conduct berupa regulasi tersendiri yang
mengatur kinerja birokrasi atau dengan mengefektifkan regulasi yang sudah ada untuk
mengontrol dan mengevaluasi masalah ini. Alternatif lain ialah dengan membentuk
sebuah institusi kontrol khusus atau dengan mengefektifkan lembaga pengawas
berwenang yang sudah ada mulai dari pusat hingga daerah, untuk mengawasi dan
mengevaluasi sejauh mana arah rasionalitas dan profesionalitas birokrasi telah
ditegakkan.
Selain itu, keterlibatan komponen masyarakat sipil (civil society) juga penting dalam
mengontrol performa birokrasi. Mengingat posisinya yang amat strategis sebagai
wadah yang lebih mampu bersikap kritis dan bergerak otonom di antara domain
birokrasi (state/government) dan parpol (political society). Unsur masyarakat sipil harus
menjaga jangan sampai birokrasi secara melanggar aturan hanya dimanfaatkan
sebagai alat politik dan legitimasi belaka, untuk kepentingan partisan pihak yang
memegang kepemimpinan birokrasi bersama parpol pendukungnya.
Birokrasi indonesia tercipta sebagai warisan dari sejarah masa penjajahan dan pasca
penjajahan kolonial. Pola kekuasaan dalam budaya Jawa bercampur dengan budaya
administrasi pemerintahan Barat menempatkan pencitraan birokrasi sebelum masa
reformasi sebagai raja-raja kecil.
Belum lagi, di masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi mendapatkan tempat paling
tinggi dalam tatanan masyarakat, bukan sebagai pelayan (pamong) rakyat, namun
lebih sebagai dilayani rakyat. Penguatan jajaran birokrasi terutama setelah
dilegitimasikannya PNS untuk masuk dalam arena politik, sebagai kendaraan partai
Soeharto, Golkar memenangkan pemilihan umum sampai ke 7 kalinya.
2.6. Kerangka Pikir Penelitian
Birokrasi Pemda Lambar
Bupati Lampung Barat
Pemilu Terdapat 9 April 2009
Instruksi/Tidak
Netral Tidak
Netralitas Birokrasi :
1. Ada Instruksi/Tidak
2. Kampanye/Tidak
3. Memakai Fasilitas
Negara/Tidak
4. Ada Unjuk Rasa/Tidak
5. Ada Aturan/Tidak
6. Ada Intervensi ke
KPU/Tidak
7. Ada Gejolak Birokrasi/
Tidak
Hasil Pemilu :
1. Jumlah suara PDIP
2. Jumlah perolehan
suara
3. Konflik Perolehan
Suara
4. Tanggapan
Masyarakat
5. Ada Rolling atau
Tidak Pasca Pemilu
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Peneliitian banyak sekali ragamnya tergantung dari pada tujuan, pendekatan, bidang
ilmu, tempat dan lain sebagainya. Agar suatu penelitian dapat mencapai suatu tujuan
sebagaimana yang diharapkan, maka perlu ditetapkan dahulu desain penelitiannya.
Desain penelitian disini adalah macam atau jenis penelitian tertentu yang dipilih untuk
dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan.
”Desain penelitian merupakan rencana tentang cara mengumpulkan data dan
menganalisis data agar dapat dilaksankan serasi dengan tujuan penleitian itu”
(Nasution, 1991:40). Dari pendapat diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
desain penelitian merupakan suatu proses analisis data yang sangat berguna terutama
untuk memberi pegangan yang jelas kepada peneliti dalam menentukan batas-batas
penelitian yang berkaitan dengan tujuan penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, karena peneliti berencana melakukan
pengamatan terhadap sikap birokrasi secara umum dalam pemilu legislatif Tahun
2009. Metode deskriptif dianggap paling sesuai untuk penelitian ini dengan pendekatan
kualitatif sebagaimana dikemukakan Nazir di dalam buku Metode Penelitian (1988:3)
yang menyatakan bahwa pengertian deskriptif adalah suatu metode dengan meneliti
sekelompok manusia, suatu objek, suatu hal kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun
suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode deskriptif adalah suatu bentuk
menerangkan hasil penelitian yang bersifat memaparkan sejelas-jelasnya tentang apa
yang diperoleh di lapangan, dengan cara peneliti melukiskan, memaparkan dan
menyusun suatu keadaan secara sistematis sesuai dengan teori yang ada untuk
menarik kesimpulan dalam upaya pemecahan masalah.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang
didukung oleh penggunaan pendekatan kuantitatif. Peneliti memilih kedua pendekatan
tersebut, berdasarkan pernyataan Faried Ali (1997 : 61) bahwa ”Jika penelitian
dengan metode kualitatif yang digunakan, maka untuk memberikan dukungan
kebenaran atau keyakinan atas analisis yang dilakukan perlu didukung oleh
penggunaan metode kuantitatif atau paling tidak dukungan oleh data yang
terkualifikasi. Begitu pula sebaliknya, jika penelitian atau metode kuantitatif yang
dijadikan pokok analisis harus didukung juga oleh analisis yang bersifat kualitatif”.
Pendapat ini dipertegas oleh Sumanteri (dalam Usman dan Akbar, 1999 : 93)
menyatakan bahwa ”penelitian kualitatif sebaiknya diikuti oleh pendekatan kuantitatif,
agar dapat memberikan kenyataan yang lebih akurat sehingga berguna bagi kegiatan
prediksi dan kontrol”.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam mengungkap masalah
penelitian ini adalah ”suatu proses pengadaan data primer untuk keperluan penelitian”
(Nazir, 1998). Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian bertujuan
mengungkapkan gambaran nyata mengenai variabel yang diteliti untuk mendapatkan
data yang akurat, untuk itu diperlukan alat atau instrumen pengumpul data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Wawancara Mendalam, yaitu teknik pengumpulan data dengan suatu daftar atau
lembar pertanyaan yang belum dicantumkan pilihan jawabannya. Data primer
yang akan diambil dalam penelitian ini akan menjaring gambaran/tanggapan
masyarakat terhadap loyalitas dan dukungan birokrasi terhadap Bupati Lampung
Barat sebagai ketua DPC PDIP dalam pemilu legislatif Tahun 2009 dan
implikasinya terhadap perolehan suara PDIP dalam pemilu legislatif tersebut.
2. Observasi, metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
observasi langsung non partisipatif yaitu teknik pengumpulan data dengan cara
mengadakan pengamatan secara langsung objek penelitian. Maksud dari
penelitian non partisipatif adalah dimana peneliti tidak terlibat langsung (secara
formal) dalam melakukan kegiatan Maksud dari penelitian non partisipatif adalah
dimana peneliti tidak terlibat langsung (secara formal) dalam birokrasi, dengan
maksud untuk mengurangi subjektivitas (penilaian apa adanya) dalam penelitian
tentang netralitas birokrasi di Kabupaten Lampung Barat dalam pemilu legislatif
Tahun 2009 ini.
3. Dokumentasi, yaitu cara memperoleh data sekunder dengan dokumen-dokumen
resmi, terutama yang berkaitan dengan masalah dan gambaran umum penelitian
baik dari jurnal maupun pemberitaan di media terkait dengan sikap dan perilaku
birokrasi di Kabupaten Lampung Barat dalam hubungannya dengan pemilu
legislatif tahun 2009.
3.3. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan melalui pendekatan kualitatif, yaitu menjawab dan
memecahkan masalah dengan melakukan pemahaman dan pendalaman secara
menyeluruh dan untuk objek yang diteliti guna menghasilkan kesimpulan yang bersifat
deskriptif sesuai dengan kondisi dan waktu. Apabila dirasakan data dan fakta yang
didapat telah cukup memadai maka akan dituangkan ke dalam bentuk laporan dengan
menggunakan metode penulisan induktif, yaitu penarikan kesimpulan setelah
memberikan pemamparan dari berbagai data yang diperoleh di lapangan.
Analisis data yang digunakan melalui pendekatan kuantitatif, penulis lakukan melalui
analisis data dalam perhitungan tabel dan frekwensi dan kuisioner yang didasarkan
kepada sampel yang terpilih.
Analisis terhadap data yang diperoleh melalui observasi dan kuisioner bertujuan untuk
menerjemahkan data kuisioner sehingga dapat diketahui secara umum pendapat
responden dari sampel yang mewakili populasi. Kuisioner disusun menurut indikatorindikator
dari variabel yang digunakan sebagai instrumen penelitian dan hasil jawaban
responden akan menghasilkan suatu hasil data statistik deskriptif yang ditampilkan
dalam tabel dan dituangkan ke dalam bentuk narasi.
Hal tersebut didukung oleh pendapat Masri Singarimbun (1985 : 3), bahwa penelitian
analitik ditujukan untuk menyoroti dan menjelaskan hubungan diantara variabelvariabel
penelitian”. Dengan ”dibantu analisis non statistik yang bermaksud mencari
proporsi, mencari prosentai dan ratio” (Arikunto : 998 : 348).
Skala yang digunakan untuk mengukur fenomena sosial adalah skala likert, menurut
Sugiono (1997 : 73), ”skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi
seseorang atau kelompok orang tentang fenomena sosial, yang telah ditetapkan
secara spesifik oleh peneliti”. Dengan skala likert, variabel yang akan diukur dijabarkan
dengan sub variabel, selanjutnya dijabarkan lagi indikator-indikator yang dapat diukur.
Indikator inilah yang dijadikan tolak ukur menyusun item instrumen yang dapat berupa
pertanyaan yang dijawab responden.

Ditulis Oleh : irwansyah Hari: Selasa, Agustus 30, 2011 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

jangan lupa komentar yah