Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia
Abstrak
Konflik, sengketa, pelanggaran atau
pertikaian antara atau terkait dua individu atau lebih dewasa ini telah
dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan
semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik,
sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Dalam
kaitan itu diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau
alternative dispute resolution yang tidak membuat masyarakat tergantung
pada dunia hukum yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat
menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Mekanisme tersebut
sebenarnya telah memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden serta
pernah dipraktikkan di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme
tersebut juga memiliki potensi untuk semakin dikembangkan di Indonesia.
Pendahuluan
Saat membicarakan hukum dan institusi
negara yang melaksanakan hukum, maka kita kerap mengaitkannya dengan
wacana tentang “keadilan formal” (formal justice) yang
dijalankan dan dihasilkan oleh hukum maupun proses hukum yang juga
formal. Mengapa dikatakan “formal”, mengingat proses hukum yang
dilaksanakan oleh institusi negara di bidang hukum itu didasarkan pada
hukum yang tertulis dan terkodifikasikan, dilakukan oleh aparat resmi
negara yang diberi kewenangan, serta membutuhkan proses beracara yang
juga standar dan mengabadi.
Namun demikian, wajah lain dari hukum dan
proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan
formal tadi, sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal,
berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih
parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Salahsatu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini
terlihat problematik adalah, mengingat terdapatnya dan dilakukannya satu
proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya.
Bila dikaitkan dengan cita-cita mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia guna membentuk Negara Hukum (recht staat), dan bukan Negara Kekuasaan (macht staat),
maka salahsatu indikator capaiannya adalah terbentuknya kondisi dan
kemampuan warga negara atau masyarakat untuk patuh hukum (citizen who abides the law), atau bahkan masyarakat yang patuh hukum (law abiding citizen).
Dalam situasi tersebut, proses penegakan hukum tidak seyogyanya
sepenuhnya atau selamanya dilakukan dengan mempergunakan metode keadilan
formal, yang salahsatunya berupa tindakan kepolisian represif dan
dilanjutkan dengan proses hukum litigatif (law enforcement process).
Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif tersebut banyak
bergantung pada upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang
melakukannya. Selanjutnya, kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya
akan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost)[1].
Memang, tidak terlalu tepat untuk
mengatakan yang sebaliknya, bahwa dalam suatu negara kekuasaan atau
macht staat tadi, yang cenderung dilakukan adalah proses penegakan hukum
formal via litigasi. Dalam kenyataannya, di negara-negara seperti itu,
kalaupun dilakukan suatu proses penegakan hukum terhadap suatu perbuatan
melanggar hukum, yang sering terjadi adalah suatu formalitas hukum atau
bahkan pengenyampingan hukum sama sekali. Adalah kooptasi
besar-besaran pada elemen-elemen negara bidang hukum itulah (contoh
terjelas adalah terhadap peradilan), sehingga mampu menghasilkan putusan
yang tidak hanya bias dan diskriminatif tetapi justru malah tidak adil[2].
Dalam konteks kehadiran masyarakat yang
mau untuk patuh pada hukum ataupun yang telah patuh hukum dalam suatu
negara kesatuan tersebut, maka semangat yang muncul dewasa ini adalah
juga semangat pengenyampingan untuk tidak mempergunakan proses penegakan
hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya adalah, dalam konteks ini,
pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” (win-win) antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga akan lebih menyembuhkan (healing)
terkait para pihak yang terlibat (khususnya korban), serta lebih
resolutif (sebagai suatu kata bentukan “re-solusi” yang dapat diartikan
sebagai “tercapainya kembali solusi yang sebelumnya tidak lagi
diperoleh”). Minimal, pengakhiran konflik atau sengketa bisa dilakukan
tanpa ada pihak yang kehilangan muka atau elegant solution[3].
Alternatif terkait pengenyampingan
tersebut adalah, bahwa diperkirakan akan lebih tepat apabila dalam
kondisi, alasan dan atau perbuatan tertentu, bisa dilakukan mekanisme
penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolutions (selanjutnya disebut dengan ADR).
Makalah ini untuk selanjutnya menguraikan
pertama-tama tentang mekanisme penyelesaian sengketa alternatif itu
sendiri sebagai suatu kajian yang telah berkembang, dilanjutkan dengan
pembahasan tentang posisinya dalam sistem hukum Indonesia dan potensi
pengembangan masa depan. Dalam sub Penutup, akan diajukan sejumlah
rekomendasi terkait aplikasinya di Indonesia.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif
Yang pertama-tama perlu ditekankan adalah
bahwa istilah “penyelesaian diluar pengadilan” tidak sama dengan
istilah ADR, meskipun terdapat kesamaan dimana suatu perkara pelanggaran
pidana tidak diajukan ke pengadilan.[4]
Apabila ADR merupakan lembaga yang diakui secara hukum sebagai lembaga
penyelesai perkara yang sah dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan melalui mekanisme mediasi, arbitrase, negosiasi atau
rekonsiliasi, tidak demikian halnya dengan penyelesaian perkara di luar
pengadilan.
Untuk yang kedua ini, umumnya dikenal
sebagai kebijakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki
wewenang untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu
keluaran akhir dari suatu kasus sengketa, konflik, pertikaian atau
pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan
diskresi/pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak
tertentu, sekaligus (tidak dalam semua hal) dilanjutkan dengan
permintaan kepada pelaku/pelanggar agar mengakomodasi kerugian korban.
Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara
pelanggaran hukum pidana.
Keuntungan utama dari penggunaan ADR
dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian
pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain
yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk
pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang
dirundingkan/disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan
menjadi buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu
pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan
hakim.
Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa
alasan bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan
pidana sebagai berikut[5]:
- Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif
- Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP)
- Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda
- 4. pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium
- Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi
- Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya
- Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat
Sedangkan kelemahan dari penggunaan
sistem ini adalah, dapatnya menjadi sumber penyalahgunaan wewenang dari
para penegak hukum, khususnya apabila diskresi dibelokkan menjadi
”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi sebagai
melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau pelanggar aturan.
Terakhir, juga tidak semua kalangan setuju bahwa ADR dalam konteks
pidana pada dasarnya sederajat atau ekuivalen satu sama lain.
Salahsatu persoalan penting yang menjadi pertanyaan adalah, bagimana hubungan antara ADR dan Restorative Justice
(selanjutnya disebut dengan RJ). RJ merupakan salahsatu model ADR
dimana lebih ditujukan pada kejahatan terhadap sesama individu/ anggota
masyarakat daripada kejahatan terhadap negara. Dalam RJ, pihak-pihak
yang terlibat lebih diutamakan untuk menyelesaikan masalahnya bukan
semata-mata melalui penyelesaian hukum, tetapi memberikan kesempatan
kepada para pihak yang terlibat untuk menentukan solusi, membangun
rekonsiliasi demikian pula membangun hubungan yang baik antara korban
dan pelaku. Hubungan baik ini berguna untuk, salahsatunya, menekan
residivisme[6].
Dalam hal ini, korban memainkan peran yang utama dalam proses
penyelesaian masalah dan dapat mengajukan tuntutan sebagai kompensasi
kepada pelaku[7].
Singkatnya, RJ menekankan pendekatan yang seimbang antara kepentingan
pelaku, korban dan masyarakat dimana terdapat tanggungjawab bersama
antar para pihak dalam membangun kembali sistem sosial di masyarakat.
Posisi Dalam Sistem Hukum
Pemerintah, khususnya melalui Presiden
Megawati Soekarnoputri, menurut Gayus Lumbuun, sesungguhnya telah
memperkenalkan ADR dalam sistem hukum pidana, yakni melalui Inpres No. 8
Tahun 2002 tentang pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur
yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur
yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham. Inpres ini ditujukan kepada beberapa
menteri/kepala lembaga pemerintahan, antara lain Menteri Kehakiman dan
HAM, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional[8].
Dalam diktum pertama angka 4 Inpres No. 8
Tahun 2002 tersebut dinyatakan bahwa, “dalam hal pemberian kepastian
hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur
dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan,
penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka
sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek
pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Masih menurut Gayus Lumbuun, sebagai suatu kebijakan, maka kelemahan dari kebijakan release and discharge
(R &D) ini terlihat dari kurang kuatnya landasan hukum pelaksanaan R
& D itu sendiri. Seharusnya, kebijakan R & D dituangkan dalam
undang-undang dan diatur secara komprehensif menjadi suatu bentuk
alternatif penyelesaian perkara-perkara non-pidana. Betapapun demikian,
secara substantif, konsep R & D merupakan langkah maju dalam sistem
hukum pidana yang mengarah kepada alternative dispute resolution system.
Terkait dengan kepolisian, sebagai elemen
awal dalam sistem peradilan pidana Indonesia, maka dapat disebutkan
bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court Dispute Resolution dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam salahsatu
kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi, sebagai
salahsatu bentuk ADR, seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik
perdata maupun pidana. Itulah yang menjadikan penanganan masalah secara
alternatif ini relevan untuk dikaitkan dengan proses penegakan hukum
Polri, khususnya menyangkut perkara pidana yang ringan.
Hal ini penting untuk ditekankan
mengingat konstruksi hukum pidana Indonesia sebenarnya tidak mengenal
model penyelesaian perkara pidana melalui ADR. Sebagaimana dapat
terlihat, dalam hal perkara perselisihan yang termasuk bidang hukum
non-hukum pidana sekalipun, model ADR ditempatkan sebagai alternatif
terakhir.
Selanjutnya, di tingkat peradilan, ADR
tidak terlepas dari pasal 130 HIR/154 Rbg yang memberi dasar hukum
adanya Court Annexed Mediation (lembaga mediasi di pengadilan). Karena
pasal 130 HIR/154 Rbg kurang jelas baik prosedur, tahapan dan acaranya,
maka Mahkamah Agung RI pada tanggal 11 September 2003 mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan. Perma yang terdiri dari 18 pasal itu antara lain
berdasarkan pertimbangan bahwa institusionalisasi proses mediasi ke
dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga
pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan
yang bersifat memutus (ajudikatif)[9]. Maka, hakim dalam hal ini berperan aktif untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa dalam waktu 22 hari.
Di Mahkamah Agung dewasa ini, telah sejak
beberapa lama dibentuk Pusat Mediasi Nasional yang berfungsi untuk
menyebarluaskan kemampuan (skill) khususnya bagi para hakim dalam rangka
melakukan mediasi antar para pihak dalam kasus yang memungkinkan hal
itu terjadi. Selanjutnya, dorongan melakukan mediasi terkait
penyelesaian kasus juga dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai
tingkatan kewilayahan. Salahsatunya adalah yang hingga kini
ditumbuhkembangkan LP3S melalui program Balai Mediasi Desa di Nusa
Tenggara Barat[10].
Secara yuridis pula, menurut Artidjo
Alkostar, ADR diluar pengadilan telah diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam hubungan
ini telah terdapat beberapa lembaga pendorong metode ADR, antara lain
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang memfokuskan diri pada
dunia perdagangan dan ADR dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi
(UU No. 18 Tahun 1999 jo UU No.m 29 Tahun 2000 jo PP No. 29 Tahun 2000)
dengan yurisdiksi bidang keperdataan. Begitu pula terdapat ADR-ADR yang
lain, seperti menyangkut masalah hak cipta dan karya intelektual,
perburuhan, persaingan usaha, konsumen, lingkungan hidup dan lain-lain.
Di pihak lain, terdapat pula rencana
Pemerintah untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Rencana ini telah tertunda sekian
lama, yang salahsatu penyebabnya adalah adanya debat tak berkesudahan
antara ahli hukum yang berperspektif legal-konvensional dan yang
berperspektif legal-sosiologis. Khususnya diantara mereka yang
berperspektif legal sosiologis, telah cukup lama terpengaruh oleh model
berpikir liberal dalam rangka proses peradilan pidana, yang kemudian
banyak dikenal dengan due process liberal model.
Adapun beberapa prinsip utama dari model berpikir ini sebagai berikut [11]:
- Titik berat adalah pada kualitas kasus, bukan kuantitasnya. Sumber daya perlu dikerahkan guna mengungkap kasus secara tuntas dan, olehkarenanya, tidak perlu mengejar jumlah
- Amat memelihara hak-hak individual dan juga memperhatikan situasi individual tersangka. Selanjutnya, model ini juga menekankan pentingnya memperhatikan hak-hak korban.
- Jika hukum dianggap memperburuk situasi tersangka serta korban, demikian pula diprediksikan tidak akan memperbaiki hubungan dengan korban, maka sebaiknya tidak atau jangan dipergunakan
Potensi Pengembangan
Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa
kasus-kasus hukum yang memiliki preferensi untuk diselesaikan melalui
ADR adalah sebagai berikut:
Pertama, kasus-kasus yang pelaku (atau
tersangka pelaku) tidak melibatkan negara. Atau, dapat pula
diprioritaskan untuk tindak pidana yang termasuk kategori delik aduan
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Disamping itu, ADR juga dapat
diperluas mencakup tindak pidana yang korbannya adalah masyarakat atau
warga negara sehingga mereka sendiri yang mengungkapkan tingkat kerugian
yang dialaminya.
Kedua, tindakan pidana yang walaupun
melibatkan negara (sebagai tersangka pelaku), tetapi memerlukan
penyelesaian mengingat berdampak langsung kepada masyarakat. Misalnya,
untuk tindak pidana di bidang ekonomi dimana negara mengharapkan adanya
pengembalian dana negara dalam kasus-kasus korupsi[12].
Dalam kaitan itu, maka tak terhindarkan
apabila pemanfaatan ADR dalam perspektif ini lebih dirasakan pentingnya
untuk dikembangkan oleh kepolisian ketimbang kejaksaan ataupun
pengadilan, mengingat peran kepolisian sebagai gerbang awal dari sistem
peradilan pidana. Dapat diperkirakan bahwa suatu kasus yang telah
dimulai secara ADR, katakanlah demikian, akan lebih mungkin untuk
diteruskan dan berakhir dengan cara ADR pula ketimbang ADR dimunculkan
di tengah (ketika perkara ditangani kejaksaan) atau diakhir proses
peradilan pidana (maksudnya diputus oleh pengadilan).
Dalam konteks kepolisian tersebut, maka
isyunya adalah sebagai berikut: Terkait sistem peradilan pidana
Indonesia, maka pada dasarnya proses yang harus dilalui dan berkas yang
perlu dilengkapi terkait perkara besar atau kecil, sebenarnya sama saja.
Dalam kaitan itu, perkara kecil seyogyanya diselesaikan dengan cara
lain guna menghindari tumpukan perkara (congestion). Adapun yang dimaksud dengan perkara kecil atau ringan mencakup sebagai berikut:
- Pelanggaran sebagaimana diatur dalam buku ketiga KUHP
- Tindak pidana ringan yang
diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah)
- Kejahatan ringan (lichte musjdriven) sebagaimana diatur dalam KUHP sebagai berikut:
- Pasal 302 tentang penganiayaan ringan terhadap hewan
- Pasal 352 tentang penganiayaan ringan terhadap manusia
- Pasal 364 tentang pencurian ringan
- Pasal 373 tentang penggelapan ringan
- Pasal 379 tentang penipuan ringan
- Pasal 482 tentang penadahan ringan
- Pasal 315 tentang penghinaan ringan
Kembali pada perkara kecil atau ringan
tersebut, maka masyarakat (khususnya tingkat lokal) sebenarnya memiliki
kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan perilaku seseorang
atau beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang atau melanggar
pidana. Kapasitas itulah yang kita kenal dengan sebutan ”peradilan adat”
atau village justice (dorpsrechtspraak) yang pada dasarnya
merupakan upaya penduduk secara sukarela untuk menyelesaikan
permasalahannya kepada suatu badan yang diketuai oleh kepala desa, tetua
atau badan lain yang diakui dalam masyarakat. Setiap masyarakat,
diyakini bahkan oleh ahli seperti teer Haar (1948) sebagai dimiliki oleh
setiap masyarakat lokal dan dimanfaatkan untuk menyelesaikan konflik
atau sengketa yang mereka hadapi[13].
Sayangnya, kapital sosial ini telah sejak beberapa lama tertinggal atau
bahkan dilupakan pengembangannya. Salahsatu yang tertinggal adalah
lembaga sosial Pecalang di Bali[14].
Kebijakan untuk tidak lekas-lekas membawa
kasus yang kecil ke jalur penyidikan, juga selaras dengan model
kegiatan kepolisian ”perpolisian komunitas” (terjemahan bebas dari community policing)
yang dalam konteks Polri dikembangkan dengan dua elemen minimal (dari
berbagai elemen yang secara teoritik dianjurkan oleh community policing)
saja yakni kemitraan (partnership) dan pemecahan masalah (problem solving). Hal itu tercermin dalam Surat Keputusan Kapolri no 737/X/2005[15].
Dengan kata lain, justru dewasa ini hendak dipacu inisiatif maupun
kemampuan masyarakat yang dibantu kepolisian setempat guna mengupayakan
terjadinya pemecahan masalah terkait kasus-kasus lokal dan bersifat
ringan.
Selain diskresi (sebagai suatu
pengenyampingan hukum atas masalah hukum) maupun ADR (penggunaan cara
lain atas masalah hukum), maka sebenarnya masih terdapat satu lagi
mekanisme bernuansa ADR dalam kepolisian. Mekanisme itu sering disebut
dengan diversi (atau pembelokan non-penal oleh) polisi atau police diversion[16].
Seperti juga dikresi dan ADR, maka diversi polisi juga sebenarnya telah
sering dilakukan namun kerap tidak disadari oleh kepolisian sendiri.
Adapun jenis-jenisnya mencakup mulai dari pengabaian pidana atau
pelanggaran yang telah terjadi (offence ignored), pemberian peringatan secara informal (informal warning), pemberian peringatan formal (formal warning), pemberitahuan bersifat pembatasan (infringement notice) hingga perintah kepolisian untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (public address)
Penutup
Telah diperlihatkan berbagai penjelasan
maupun perkembangan situasi terkait ADR sebagai suatu mekanisme
terobosan dalam hukum dan perkembangannya di Indonesia. Hampir semuanya
menjanjikan masa depan yang cerah guna mengatasi problem hukum itu
sendiri, terutama dari sisi proses yang belum bisa menjanjikan kecepatan
putusan, akurasi penanganan serta biaya yang murah sekaligus.
Ke depan, diharapkan akan ada lebih
banyak lagi terobosan yang dilakukan para pimpinan lembaga-lembaga hukum
guna memungkinkan hidupnya ADR. ADR tentu saja tidak seyogyanya dilihat
sebagai kompetitor, tetapi justru penyaring atau filter agar kasus yang
benar-benar kompleks-lah yang kemudian ditangani para profesional di
bidang hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan.
===
Daftar Pustaka
Alkostar, A., “Alternative Dispute Resolution Sebagai Salahsatu Bentuk Mekanisme
Pemecahan dan Penanganan Masalah dalam Proses Penegakan Hukum Polri”, makalah, Jakarta, 2007
Kapolri, Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri, Surat Keputusan, November 2005
LP3ES, Program Penguatan Balai Mediasi Desa, naskah proposal, Jakarta, 2005
Lumbuun, T.G.., ”Alternative Dispute Resolution Di Dalam Sistem Peradilan
Pidana”, makalah, Jakarta, 2007
Meliala, A., ”Adakah Model-Model Resolusi Konflik”, artikel, Koran Tempo, 2001
Meliala, A. et. al, Restorative Justice: Sistem Pembinaan Narapidana untuk Pencegahan
Residivisme, laporan, AusAID & Departemen Kriminologi FISIP UI, 2004
Meliala, A., ”Dampak Proses ADR dalam Penegakan Hukum Polri”, makalah, Jakarta,
2007
Mudzakkir, “Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana Dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, makalah, Jakarta, 2007
Nordholt, H.S., Bali: an open fortress, draft buku, KITLV-Leiden
Soedarsono, T., “Sosialisasi Penanganan Perkara Melalui Proses Alternative Dispute
Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam Mewujudkan Strategi Community
Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, makalah,
Jakarta, 2006
teer Haar, B., Adat Law in Indonesia, New York: Institute of Pacific Relations, 1948
Santosa, M.A & Wiwiek A., ”Alternative Dispute Resolution (Negosiasi & Mediasi)”,
naskah presentasi, Jakarta, tanpa tahun
Bahan Internet
Suffolk University, College of Arts & Sciences, Center for Restorative Justice, Wikipedia
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah