Yurisprudensi Hukum Pidana
HUKUM PIDANA DALAM YURISPRUDENSI
( R. Ahmad. S. Soema Di Pradja )
YURISPRUDENSI, ARTI DAN PERANANNYA BAGI HUKUM PIDANA
Tidak dapat disangkal bahwa tugas darpada
seorang hakim adalah berbeda, berlainan dari pada tugas dan kewenangan
dari pembentuk undang-undang. Dapat dikatakan bahwa baik hakim maupun
pembentuk undang-undang menentukan atau menetapkan hokum yang dapat
diartikan dalam arti yang berbeda pula. Pembentuk undang-undang
membentuk hokum secara in abstracto yaitu merumuskan peraturan hukum
secara umu yang berlaku bagi semua orang yang tunduk pada ketentuan
undang-undang. Lain halnya kedudukan hakim, ia sebaliknya yaitu
menetapkan hukum secara in concreto dimana hakim menerapkan peraturan
hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili
dan diputus.
Terkait hal ini, dalam pasal 14 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman telah menggariskan tentang tugas hakim sebagai
berikut :
Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih,
bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya.
Menurut pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 digariskan lebih lanjut tentang kewajiban hakim, sebagai berikut :
Hakim sebagi penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Lebih lanjut dapat dikatakan disini, bahwa bagi hakim pidana berlaku pula asas “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege ponali”,
sebagaimana dapat ditarik dari isi ketentuan pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang menandung arti bahwa perbuatan apa dan
yang bagaimanakah yang dilarang diperbuat orang serta yang diancam
dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, diletkan
sepenuhnya dalam kekuasaan pada (badan) pementuk undang-undang pidana.
Akan tetapi dilain pihak, untuk menilai
sereta selanjutnya menentukan apakah sesuatu kata dalam perumusan
ketntuan undang-undang pidana adalah jelas ataupun tidak hal itu harus
ditetapkan oleh hakim (pidana) sesuai tugas serta kewenangannya
menetapkan hukum pidana secara in concreto seperti apa yang telah
digariskan dalam pasal 14 (1) tersebut diatas. Oleh karena itu, kiranya
tidak ada seorangpun yang menolak hak hakim pidana untuk menafsirkan
undang-undang pidana didalam rangka menjalankan tugas serta
kewenangannya menerapkan hukum pidana secara in concreto itu.
Didalam putusannya itu. hakim pidana,
menurut pendapat R. Sardjono sebagaimana dikemukakan dalam Raker Hakim
dan Panitera dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Jakarta pada tahun
1972, antara lain :
- Merupakan suatu pertanggungan jawab dari hakim mengenai alasa-alasan yang menjadi dasar putusannya itu terhadap masyarakat dan negara dalam kedudukannya sebagai alat perlengkapan negara, yang dibuatnya dengan jalan menyusun pertimbangan putusan tersebut.
- Pertimbangan-pertimbangan itu harus merupakan keseluruhan yang lengkap, tersusun secara sistematis dan satu sama lainnya mempunyai hubungan yang logis tidak ada pertentangan (tegenstrijdigheid) satu sama lain (innerlijke tegenstrijdigheid), pertentangan-pertentangan mana juga tidak boleh terdapat antara pertimbangan-pertimbangan putusan dan dictum putusan.
- Hakim harus menilai kekuatan pembuktian tiap alat bukti dan memberi kesimpulannya mengenai soal terbukti atau tidaknya tuduhan terhadap si terdakwa.
- Hakim dalam mempertimbangkan perkara adalah tidak bebas, melainkan terikat pada hukum, undang-undang dan rasa keadilan, sehingga dengan demikian segala kesan bahwa hakim bertindak sewenang-wenag sekaligus dapat dilenyapkan.
- Hubungan antara dictum (amar) putusan dan pertimbangan adalah bahwa setiap bagian dari dictum putusan harus didukung oleh pertimbangan tertentu.
Dengan demikian telah diketahui bahwa
hakim dilarang secara tegas untuk menolak mengadili suatu perkara
(pidana) yang dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diadili.
Sedangkan dilain pihak haikm diwajibkan pula untuk menggali,
mengikutidan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat.
SURAT DAKWAAN, ISI SERTA PERANANNYA MENURUT YURISPRUDENSI DEWASA INI
Surat dakwaan menurut hukum acara pidana,
sepertipun yang termuat dalam KUHAP jo Undang-undang No. 8 Tahun 1981
mempunyai peranan yang sangat penting, karena surat dakwaan yang dibuat
oleh Jaksa dalam kedudukannya sebagai Penuntut Umum menjadi dasar
pemeriksaan disidang pengadilan. Kemudian surat dakwaan itu menjadi pula
dasar dari putusan hakim (Majelis Hakim). Betapa pentingnya surat
dakwaan itu dapat terlihat dari bunyi pasal 197 KUHP, dalam hal putusan
pemidanaan, haruslah didasarkan kepada dakwaan sebagaimana terdapat
dalam surat dakwaan. Sebagai konsekuensi logis dari sifat dan hakikat
surat dakwaan digariskan dalam KUHAP seperti dikemukakan diatas,
musayawarah-terakhir untuk mengambil keputusan Majelis Hakim wajib
mendasarkannya kepada isi surat dakwaan (pasal 182 ayat 4 KUHAP).
Dari hal tersebut diatas jelas kiranya
bahwa betapa pentingnya peranan yang dijalankan oleh surat dakwaan dalam
proses pemeriksaan perkara pidan. Surat dakwaan dengan demikian
merupakan dasar hukum acar pidana, sehingga seorang terdakwa yang
diajukan ke depan persidangan atas dakwaan melakukan suatu kejahatan,
akan diperiksa, diadili dan diputus atas dasar surat dakwaan yang telah
disusun secara terperinci dan jelas oleh Jaksa selaku Penuntut Umum dan
bukan oleh hakim seperti halnya diatur dalam HIR sebelum berlakunya
Undang-undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kejaksaan RI.
Dalam pada itu, seperti halnya ditegaskan
dalam Bab “memutuskan” dari Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP telah mencabut “Het Herziene Inlandsch Reglement” Stbl Tahun 1941
No. 44 jo Undang-undang No. 1 Tahun 1951 L.N 1951 Nomor 9 “sepanjang hal
itu mengenai hukum acara pidana”, sehingga atas dasar itu dalam tingkat
banding, Pengadilan Tinggi tidak lagi mempunyai kewenangan untuk
mengubah atau merubah surat dakwaan, seperti ditentukan dalam pasal 14
dari Undang-undang Darurat diaksud tersebut tadi. Dalam kaitan ini MA
dalam putusannya No. 589K/ Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984 menggariskan
“Pengadilan Tinggi tidak berhak merubah dakwaan”.
Karena pentingnya surat dakwaan ini
didalam pemeriksaan perkara sehingga walaupun terdakwa memang benar
telah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam dakwaan
Jaksa, akan tetapi apabila ternyata perbuatan-perbuatan yang didakwaan
dalam surat dakwaan Jaksa adalah tidak sesuai atau tidak selaras dengan
teks aslinya dari rumusan delik yang didakwakan telah dilanggar oleh
terdakwa maka dakwaan itu harus dinyatakan “tidak dapat diterima dan
terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan”.
Dalam rangka pembahasan tentang surat
dakwaan ini, perlu dikatahui bahwa menurut pengetahuan dan juga
yurisprudensi, surat dakwaan itu dapat disusun dan dirumuskan dala
beberapa bentuk, yakni :
1. Dakwaan Tunggal.
Hal ini disusun dalam bentuk paling
sederhana dalam hal seseorang atau lebih terdakwa disangka telah
melakukan satu perbuatan atau satu tindak pidana saja. Misalnya
melakukan tindak pidana “pencurian” jo pelanggaran, pasal 362 KUHAP.
2. Dakwaan Alternatief.
Memang benar dalam dakwaan itu sendiri
tercantum beberapa perbuatan tetapi yang harus dapat dibuktikan adalah
hanya satu perbuatan saja, dipilih diantara yang didakwakan itu satu
(perbuatan). Sehubungan dengan hal tersebut, dakwaan ini disebut pula
“dakwaan pilihan”.
Dakwaan dengan cara ini dibuat dalam hal,
Penuntut Umum ragu-ragu menerapkan pasal manakah dari perbuatan yang
dilakukan terdakwa itu paling tepat sehingga dapat dibuktikan dalam
persidangan nanti.
Dalam dakwaan alternatief ini
masing-masing dakwaan akan saling mengecualikan satu sama lain. Hakim
akan memilih salah satu perbuatan yang didakwakan terbukti menurut
keyakinannya tanpa memeriksa dan memutus dakwaan lainnya.
3. Dakwaan Subsidair.
Seperti halnya apa yang dikemukakan
diatas, dalam hal dapat diadakan pilihan diantara beberapa perbuatan
yang ddakwakan disebut pula pendakwaan secara alternatief atau
subsidair. Didalam praktek menurut Van Bemmelen kedua istilah ini
seringkali dipergunakan secara campur aduk, akan tetapi pada hakekatnya
diantara kedua bentuk itu terlihat ada perbedaannya yaitu pendakwaan
secara alternatief dianggap sebagai pernyataan yang lebih luas dan
mencakup pula pendakwaan secara subsidair dalam arti sempit.
Dalam hal pendakwaan secara alternatief
hakim harus melakukan pilihan, untuk selanjtnya ia mempunyai kebebasan
untuk menyatakan perbuatan sebagaimana dirumuskan kedua dinyatakan
sebagai terbukti tanpa terlebih dahulu adanya kewajiban untuk menyatakan
perbuatan yang pertama-tama didakwakan.
Lain halnya dalam hal pendakwaan
subsidair dalam arti yang sesungguhnya, disini adanya maksud atau tujuan
dari perumusan dakwaan bahwa hakim pertama-tama harus memeriksa
perbuatan yang erdahulu dicantumkan dalam surat dakwaan, dakwaan primair
itulah yang harus diperiksa dan dalam hal dakwaan primair ini tidak
dapat dibuktikan barulah diperiksa dakwaan dibawahnya ataupun yang
disebut “pendakwaan subsidair”.
4. Dakwaan Kumulatief.
Tidak ada satu ketentuanpun dalam KUHAP
yang melarang diadakan pendakwaan lebih dari satu perbuatan, sehubungan
dengan hal itu ada kemungkinan beberapa perbuatan tidak ada sangkut
pautnya satu sama lain telah dilakukan seseorang pada saat-saat yang
berlainan pula. Umpamanya saja, seseorang telah melakukan pencurian pada
bulan Juli dan berbuat penipuan pada bulan Agustus dalam tahun yang
sama, dalam hal yang demikian ini telah terjadi “meerdaadsesamenloop”
atau “perbarengan perbuatan”. Beberapa perbuatan diminta supaya diadili
secara sekaligus. Pada terdakawa dalam pendakwaan didakwakan beberapa
(cumulatief) perbuatan.
Pembuatan surat dakwaan diatas harus memenuhi dua syarat yang pokok yaitu :
a) Syarat Formal
Surat dakwaan mutlak harus berisi
syarat-syarat formal ini, meskipun demikian, jika tidak dipenuhi
syarat-syarat formal ini, tidak diancam pembatalan.
Syarat-syarat formal dibuat dalam surat
dakwaan adalah guna dapat meneliti “identitas”, apakah benar terdakwa
inilah yang harus dihadapkan ke sidang pengadilan ataukah orang lain.
Yang terpenting adalah bahwa surat dakwaan itu harus disampaikan kepada :
- Tersangka atau kuasanya (penasehat hukumnya).
- Penyidik.
Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan bahwa
Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani, berisikan nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama serta pekerjaan
tersangka.
b) Syarat Materiil.
Menurut ketentuan perundang-undangan, tidak dipenuhinya syarat materiil ini dalam dakwaan, membawa akibat batalnya dakwaan.
Adapun syarat materiil ini adalah berupa
“uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan”.
Pentingnya penyebutan waktu dan tempat
dlam surat dakwaan adalah untuk menentukan pengadilan yang manakah yang
berwenang mengadili dan juga untuk membuktikan ketika terdapat alibi
(berada ditempat lain) dari terdakwa saat dalam proses persidangan.
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah