KALOSARA ADAT TOLAKI

Kalo Sara dan Hukum Adat Tolaki Tahukah “anda”? Apa yang dimaksud “Kalo Sara Sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki di Sulawesi Tenggara? Pertanyaan “Spesifik” ini versi penulis Drs Basaula Tamburaka, hanya khusus, ditujukan kepada orang Tolaki pada umumnya, lebih khusus lagi, generasi muda. Basaula dalam tulisannya beranggapan bahwa mereka belum paham tentang: apa, mengapa dan bagaimana kebudayaan Tolaki dalam hal, bentuk dan penggunaan Kalo. Seperti diketahui kebudayaan memiliki beberapa prinsip Kalo yang ada dalam masyarakat Tolaki. Ini perlu dipahami generasi muda Tolaki dan wajar untuk dilestarikan keberadaannya. Adapun empat prinsip atau fungsi Kalo terdiri: 1. Kalo sebagai lambang Adat-Istiadat, 2. Kalo sebagai fokus Kebudayaan Tolaki, 3. Kalo sebagai pedoman hidup, 4. Kalo sebagai alat pemersatu dalam kehidupan orang Tolaki. Inilah empat prinsip Kalo diwujudkan dalam bentuk ; Kalo sebagai benda, Kalo sebagai konsep, serta Kalo sebagai simbol yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari Tolaki. Untuk dipahami bahwa, dari sekian “ROH” atau isi Kalo, akan selalu muncul pertanyaan dikalangan masyarakat luas dewasa ini adalah, tentang bentuk dan penggunaan “fisik” Kalo. Serta penerapan “Hukum Adat Tolaki” disebut “O’SARA” digunakan khusus orang Tolaki, dimanapun mereka bermukim. Pada kesempatan ini, Insya Allah penulis akan mengetengahkan atau tepatnya ingin “memperkenalkan” kebudayaan Tolaki secara deskripsi dan berseri (seri etnografi). Kali ini, diawali sebagaimana judul di atas, mendeskripsikan Kalo Sara sebagai sumber hukum Adat Tolaki yang diakui, ditaati, dijunjung, dan dihormati masyarakatnya sejak dahulu kala hingga hari ini. Juga akan disinggung dimana perbedaan sebutan To Laki dan To Mekongga. Adapun yang mendorong penulis “membumikan” Kalo Sara kali ini bahwa, nampaknya orang Tolaki baik yang bermukim diperdesaan terutama di perkotaan, merasa tidak peduli lagi atau sama sekali kurang rasa hormatnya terhadap Adat-Istiadat Tolaki. Apakah mereka beranggapan bahwa, Adat-Istiadat Tolaki tergolong “Kuno ?” Sehingga enggan mempertahankan budaya dan kearifan lokal para leluhurnya ? Salah satu contoh, beberapa waktu lalu banyak kalangan tertentu menulis di media massa, termasuk di Harian Kendari Pos. Bahwa bahasa Daerah Tolaki dan karya budaya leluhur dalam bentuk aktifitas dan hasil karya (Artefak) mulai memudar atau akan hilang sama sekali? Itulah maksud dan tujuan spesifik tulisan itu hadir di tengah-tengah masyarakat Tolaki, Ketika orang “terlena” membicarakan peradaban dan kemajuan zaman, muncul di siang “bolong”, untuk mengingatkan kepada generasi muda khususnya dan kepada semua pihak yang merasa bertanggung jawab atas pelestarian Budaya Daerah Tolaki di Mekongga dan di Konawe. Yang dimaksud suku Tolaki disini adalah, salah satu suku bangsa dari sekian banyak etnis di Sultra. Menurut hasil penelitian, terdapat 30 suku atau etnis yang ada di Jazirah Celebes yang berbentuk huruf “K” pula Sulawesi itu. Mereka bermukim di “kaki” Tenggara Sulawesi, Provinsi berlambang kepala Anoa. Suku bangsa Tolaki ini, persebarannya di bekas Kerajaan Mekongga di Wundulako Kolaka dan sekitarnya. Bekas Kerajaan Konawe di Olo-Oloho Unaaha dan sekitarnya plus pulau Wawonii. Konon menurut catatan sejarah, dua bekas Kerajaan ini bersaudara kandung, yakni Raja/Ratu Wekoila dan Raja Larumbalangi. Menurut tokoh masyarakat Tolaki “Arsamid Al Ashur” “Suku Tolaki adalah To Konawe, artinya orang Konawe berdialek bahasa Konawe dan To Mekongga, artinya orang Mekongga berdialek bahasa Mekongga berada di dua tempat terpisah.” Selain itu pakar Antropologi ke 13 di Indonesia DR. A. Rauf Tarimana dalam bukunya “Kebudayaan Tolaki mengatakan, “Adapaun suku bangsa Tolaki adalah terdiri To Konawe dan To mekongga, yang disebut bahasa Konawe dan bahasa Mekongga, yang masing-masing merupakan dialek. Pemakai dan penerima “Bahasa” dari masing-masing dialek dapat saling mengerti satu sama lain, meskipun ada perbedan sedikit, baik dalam kata maupun lagu”. Mengutip penulis bangsa Belanda H. Vander Kliff dalam catatan tentang bahasa Mekongga. “Bahwa orang Mekongga adalah orang (suku) Tolaki di Mekongga”. Artinya hanya memisahkan secara geografis dari dua buah bekas kerajaan di atas. Namun dalam Ensiklopedia Antropologi Indonesia tetap satu, yaitu Suku Bangsa Tolaki alias Suku Tolaki. Ketika membicarakan kajian Kalo sebagai fokus kebudayaan Tolaki cukup luas aspeknya, beda jika disebut “Kalo Sara” sebagaimana fokus tulisan ini. Pada uraian berikutnya akan terlihat benang merah antara sebutan “Kalo” dengan “Kalo Sara”. Apalagi ditampilkan dalam Karya tulis ilmiah populer ini. Mustahil dipaparkan atau diuraiakan terinci serta runut sesuai pedoman yang tertulis dalam masyarakat Tolaki. Apa pasal ? Karena fungsi media massa seperti Kendari Pos yang “rajin” mengangkat unsur Kebudayaan Daerah yang ada di Sultra, dimana halaman Koran ini amat terbatas. Namun. tidak menghilangkan subtansi dan filosofi yang terkandung dalam bentuk kearifan lokal terutama aturan-aturan khusus yang berlaku, telah menstradisi di bumi Landolaki tersebut. Sebelum membahas substansi Kalo Sara sebagai “Urat Nadi” Hukum Adat Tolaki, yang selalu dihormati, dan dijunjung tinggi orang Tolaki. Terlebih dahulu dibahas “Kalo” dilihat secara harfiah atau arti Kalo sebagai benda. Apa saja bahan Kalo dibuat ? Kalo itu apa wadahnya ? Dimana yang membedakan sebutan Kalo An-Sich dengan sebutan “KALO SARA”?. Diakhiri tulisan, akan diuraikan siapa saja yang disebut “TOLEA” dan “PABITARA”? Dan apa fungsi dan peran kedua perangkat Adat ini ? Siapa yang berkompoten “menggelar” Kalo Sara ? Serta siapa sesungguhnya yang patut menerima suguhan “kebesaran” “KALO SARA”? (*) http://pemudatolaki.blogspot.com/2012/03/kalo-sara-dan-hukum-adat-tolaki.html PERNIKAHAN ADAT TOLAKI Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1aHd-mppWJXTl9TNIAWvs2zBUiqWu36gczHa3NkhHQ-_Z6he3__D80EHsz2WLAfmfDxRGaXu1DO-0wBGLdx-s3nWw3Ui4gswl4hG1qGBKOX7eIKLhbDapaIUkJrnyZBK7a-pWw8WyzbK6/s1600/Kalo+sara.jpg Seperti kita pahami bersama, perkawinan merupakan suatu hal yang sacral, agung dan mulia bagi kehidupan manusia agar kehidupannya bahagia lahir dan batin serta damai dalam mewujudkan rasa kasih sayang diantara keduanya. Karena perkawinan itu bukan saja sekedar pemenuhan kebutuhan biologis semata-mata, tetapi juga merupakan “sumber” kebahagiaan, istilah popular sekarang dikenal perkawinan menuju keluarga “Sakinah Mawadah Warahmah”. Didalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum tertulis masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Kemudian Masyarakat Hukum Adat yang ada di bumi Nusantara tercinta ini, menurut Hazairin (1977) setidaknya ada 250 etnis yang eksis memiliki “Masyarakat Hukum Adat” salah satu seperti misalnya keberadaan hukum Adat perkawinan Tolaki dengan Adat Kalosara sebagai jatidiri dan karakter suku bangsa Tolaki yang mendiami daratan pulau Celebes Tenggara alias Provinsi berlambang kepala Anoa Sultra, mereka bermukim di bekas Kerajaan Mekongga kini wilayah Kabupaten Kolaka dan sekitarnya dan kerajaan Konawe kini wilayah Kabupaten Konawe Selatan, Konawe Utara dan Kota Kendari. Masyarakat adat ini memandang perkawinan sebagai lambang untuk meneruskan keturunan, mempertautkan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Disamping itu, adakalanya suatu perkawinan adat merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang retak misalnya, selain itu tempat perkawinan yang bersangkut paut dengan warisan, kedudukan alias status dan harta perkawinan. Dikalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya seperti misalnya Adat “PEREPUA” Tolaki, maka perkawinan merupakan suatu “nilai hidup” untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan seperti hukum adat perkawinan Tolaki. Disamping itu adakalanya suatu kekerabatan yang telah jauh yaitu “ASOMBUE” yang artinya asal usul satu nenek moyang, ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kekerabatan. Sebagai contoh perkawinan itu sarana pendekatan dan perdamaian dahulu kala para bangsawan Tolaki ketika mencarikan jodoh putranya sampai melintasi wilayah suku bangsa tertentu, alias kawin dengan orang lain. Kemudian terselenggara perkawinan adat istiadat adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat setempat dengan tidak mementingkan peraturan-peraturan agama misalnya. Disinilah sasaran tulisan singkat ini yaitu membicarakan perkawinan Adat Tolaki yang berlangsung sejak terbentuknya kerajaan tradisional Mekongga dan Konawe di Landolaki sekitar abad 16 Masehi hingga kini memasuki era globalisasi. Dimana penyelenggaraan perkawinan suku Tolaki senantiasa disertai acara upacara adat perkawinan tolaki yang kesemuanya itu bertujuan untuk menjamin terpenuhinya semua kepentingan yang bersangkutan. Untuk memudahkan sidang pembaca mengikuti alur tulisan singkat ini, akan diuraikan selain membicarakan secara deskripsi upacara adat perkawinan Tolaki akan diuraikan pengertian dan kedudukan Kalosara dalam acara upacara adat perkawinan, model atau tata cara menggelar adat perkawinan, wanita yang pantang jadi istri, terakhir ketika melanggar upacara adat perkawinan tolaki. Ciri Khas Perkawinan Adat Tolaki Seperti kita ketahui bersama bahwa, suku-suku bangsa yang tersebar dimuka bumi Nusantara tercinta ini, bahkan mungkin dibelahan dunia sekalipun, pasti memiliki acara upacara adat atau kebiasaan-kebiasaan perkawinan adat menurut tradisi leluhurnya masing-masing. Demikian pula suku bangsa Tolaki memiliki acara upacara adat perkawinan dengan cirri khas tersendiri yang membedakan dengan suku-suku bangsa lainnya ialah adanya orang Tolaki menggunakan benda adat Kalosara dalam setiap prosesi acara upacara adat perkawinan Tolaki (Muslimin Suud 2005). Adapun perkawinan Adat Tolaki memiliki istilah ialah, Medulu yang artinya berkumpul, bersatu, dan Mesanggina yang berarti bersama dalam satu piring,” sedangkan istilah yang paling umum dalam masyarakat adat Tolaki adalah Merapu atau Perapua yang berarti Merapu, keberadaan suami, istri anak-anak, mertua, paman, bibi, ipar, sepupu, kakek, nenek, dan cucu adalah merupakan suatu pohon yang rimbun dan rindang, (A. Tarimana 1984). Selain pengertian perkawinan diatas ada lima atau tahapan prosesi acara upacara Adat perkawinan Tolaki Pertama,”Metiro atau Menggolupe” yang artinya mengintip meyelidiki calon istri. Kedua,”Mondutudu” yang artinya malamar jajakan. Ketiga,”Melosoako” yang artinya melamar sesungguhnya. Keempat,”Mondonggo Niwule” yang artinya meminang. Kelima,”Mowindahako” yang artinya menyerahkan pokok Adat, dilanjutnya acara pernikahan. Semua tahapan prosesi Adat disebutkan diatas, kecuali tahapan ” Metiro atau Monggolupe” diperankan Oleh “Tolea” dan Pabitara, dengan selalu ditampilkan menggunakan pranata Kalo”. Apa maksud ditampilkan Adat Kalosara, dalam acara upacara Adat Perkawinan Tolaki? Menurut pandangan orang Tolaki bahwa, suatu perkawinan merupakan sesuatu yang “Sakral”. Betapa tidak melibatkan kedua belah pihak keluarga besar, jika tadinya saling “cuek” alias kurang intim atau tidak saling kenal, kini disatukan menjadi “suatu kekuatan” dalam kesatuan rumpun keluarga besar posisinya adalah sebagai perkawinan yang akrab dan mulia bagi kehidupan membina keluarga agar hidupnya bahagia lahir dan batin. Selain pandangan diatas, kedudukan pihak keluarga wanita pada dasarnya adalah, pihak yang “ditinggalkan derajatnya”. Itulah sebabnya Adat Kalosara sebagai symbol “Kebesaran” orang Tolaki itu, wajib digelar dihadapan keluarga besar wanita tersebut. Pengertian dan Kedudukan Kalosara Dalam Perkawinan Adat Tolaki. Ketika berbicara Kalo sebagai bahasa simbolik dalam kehidupan sehari-hari orang Tolaki, disini penulis batasi fungsi Kalo dalam pengertian sempit, hanya membicarakan urusan adat istiadat Tolaki, seperti urusan “Perapua” atau perkawinan, tidak membahas makna filosofi dalam arti luas. Apa sebab ? Karena membicarakan Kalo umumnya terdiri dari banyak macam. Seperti misalnya jika anda menjumpai Kalo sebagai benda, cukup “Kalo” saja. Beda sebutannya ketika benda Kalo digelar pada prosesi adat istiadat seperti acara “mowindahako”, disana disebut “Kalosara”. Hakikat Kalosara terdiri : wadah anyaman, kain putih dan rantai yang dililit terdiri tiga buah itu. (terlampir gambar Kalosara). Kini diuraikan benda Kalo berdasarkan bahan pembuatannya. Bahan baku utama benda Kalo diperoleh dari alam alias hutan belantara. Secara harfiah Kalo adalah benda yang berbentuk lingkaran dari rotan kecil pilihan disebut “Uewai” dipilih tiga buah. Cara dibuat dengan lingkaran lilitan atau dipilin dari arah kiri ke kanan disebut “Kalohana”. Tiga jalur itu berbentuk lingkaran bundar atau sirkel sesuai ukuran yang sudah ditentukan. Ada dua jenis bentuknya. Jika garis menengah 45 cm disebut “Tehau Bose”, Kalo ini diperuntukan pejabat Bupati keatas. Sedangkan ukuran 40 cm disebut “Meula Nebose” diperuntukan pejabat Camat kebawah. Setelah itu ada dua model ikatan ujung Kalo. Model pertama, jika sesudah pertautan pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol sedangkan yang dua ujungnya dari arah kiri tersembunyi , maka model Kalo ini diperuntukan masalah adat istiadat seperti perkawinan dll. Adapun makna yang menonjol, ujung rotan itu adalah penghargaan pihak penerima. Sedangkan yang tersembunyi bermakna merendahkan diri pihak pengaju. Model kedua, jika kedua ujung simpul rotan hingga membentuk angka 8, maka benda Kalosara tersebut dipergunakan khusus acara upacara adat “mosehe” dalam hal ini seperti penyelesaian sengketa, perselisihan dan lain-lain. Inilah yang dimaksud pengertian Kalo dalam arti luas, disana banyak dibicarakan baik Kalo sebagai “konsep” maupun Kalo sebagai bahasa “simbolik” (A. Tarimana, 1985). Berkaitan fungsi Kalo diatas orang Tolaki masih menganggap Kalo sebagai “kramat dan sakti” yakni keberadaan benda Kalo mampu mempersatukan baik keinginan / cita-cita maupun melindungi hak-hak asasi setiap anggota masyarakat Tolaki. Namun hanya benda Kalo yang “sakti” itu mamppu menyatukan warga Tolaki dimanapun mereka berada hingga hari ini (Arsamid Al Ashari, 2011). Pertanyaan berikutnya, dalam kedudukan Kalosara dalam perkawinan Adat Tolaki, mengapa harus “Wajib” disunguhkan Adat Kalosara dalam prosesi Adat perkawinan? Karena dengan menggelar prosesi Adat Kalosara ialah sebagai hukum Adat-Istiadat atau Norma Adat dimana kedudukannya sebagai alat “legitimasi” atau pengesahan perkawinan Adat Istiadat itu sendiri. Intinya adalah “Membangun dan membina Rumpun Keluarga”, yang mungkin pernah hilang misalnya, serta mempererat tali silaturahmi. Maka wajib melewati suatu prosesi Adat Kalosara sebagai simbol penghormatan tertinggi sebagaimana disebutkan diatas. Kemudian dalam perjalanan sejarah Kalosara sebelum ajaran “agama Samawi “ masuk di wilayah Andolaki, menjadikan norma Akidah, kemudian diwujudkan Sara atau O’Sara sebagai nilai dan norma Adat yang harus ditaati. Itulah sebabnya ketika prosesi Adat perkawinan Tolaki yang digelar disaat acara upacara Mowindahako harus didahulukan pelaksanaannya. Kemudian dilanjutkan acara upacara pernikahan menurut syariat Islam yaitu pembacaan akad nikah dan ijab Kabul. Berbicara perkawinan Islam, sah perkawinan tersebut apabila ada dua orang saksi dari pihak keluarga laki-laki dan saksi dari pihak keluarga wanita, maka resmilah Pasutri membina rumah tangga tersebut. Akan halnya pandangan orang Tolaki, selain dihadirkan saksi kedua belah pihak keluarga tersebut diatas, belum “sah” atau belum diakui sebelum digelar perkawinan adat Tolaki. Tujuan digelar adat Kalosara adalah sebagai norma adat. Setelah itu wajib pula penyerahan “Popolo” membayar mas kawin, dilanjutkan acara “Tekonggo” yang artinya menggelar pesta besar atau kecil sebagai pengakuan masyarakat luas bahwa perkawinan tersebut resmi atau sah menurut perkawinan Adat Tolaki. Kemudian jika ada anggota masyarakat Tolaki melakukan perkawinan diluar adat tersebut diatas alias melanggar adat, maka patut dipertanyakan keberadaannya. Prosedur dan Tata Cara Menggelar Acara Upacara Adat Perkawinan Tolaki. Yang dimaksud prosedur dan tata cara disini adalah penggunaan benda Adat Kalo dalam acara upacara Adat perkawinan Tolaki. Dimana berperannya kedua perangkat Adat “Tolea” dan “Pabitara”. Posisi mereka sebagai “Sutradara” mengatur jalannya “Mombesara”, menegakkan hukum Adat “Selewatano” atau “Tetenggona Osara” artinya sesuai urutan-urutan adat yang harus ditempuh. Seperti apa dan bagaimana tata cara acara upacara “Mohindahako” yang diperankan kedua perangkat adat diatas ? Mereka harus tampil sukses membawa missi, tanggung jawab terletak dipundak mereka. Seperti kemampuan “Negosiasi”, cara duduk, pakaian yang digunakan, teknik berkomunikasi. Semua ini harus dikuasai secara baik, sebelum maupun sesudah acara upacara “Mewindahako”, sebabnya aturan adat itu sudah baku, tidak boleh dibolak-balik atau dilangkahi apalagi keluar dari koridor aslinya. Selain disebutkan diatas, wajib dipahami adalah “isi adat” disebut “Polopo” untuk ditunaikan disaat “Mowindahako”. Isi adat tersebut harus lengkap tidak boleh kurang menurut “Sara”, pasti kena denda adat, malah bisa ditolak sidang pemangku adat. Adapun wajib isi adat dipenuhi adalah 4 pokok adat (1) “Pu’uno Kasu” yang artinya isi pokok adat terdiri (1) seekor kerbau, (2) sebuah gong, (3) emas perhiasan wanita dan (4) satu pis kain kaci. Yang tiga diatas dapat disubtitusi @ dua puluh lima ribu rupiah, kecuali kain kaci tetap ditampilkan (2) “Tawano Kasu” artinya daunnya 40 buah sarung adat (3) “Ihino Popolo” artinya seperangkat alat sholat sebagai mas kawin, serta biaya pesta dan (4) “Sara Peana” artinya benda-benda adat pakaian wanita sebagai bentuk penghargaan orang tua atas pengasuhnya. Jika seandainya dijumpai tidak terpenuhi benda-benda adat misalnya, bukan empat isi pokok Adat diatas, maka berlaku semangat kekeluargaan yaitu prinsip “Mesambepe Meambo” artinya musyawarah mufakat dimana Kalosara sebagaimana jati diri dan karakter suku Bangsa Tolaki Kalosara yaitu “Nggo Mokonggadui O’Sara” artinya semua “perlakuan” diatas yang “menggenapkan” adalah adat atau Osara. Satu lagi upacara Adat perkawinan yang sering dijumpai dalam masyarakat Tolaki. Apakah Anda pernah melihat atau menyaksikan “bentuk lain” ketika digelar upacara Adat perkawinan Tolaki ? Disana ada system adat disebut perkawinan “Morumbadoleesi” yang artinya melaksanakan dua macam acara dalam waktu bersamaan yakni acara “Mendutudu” dan acara “Mondongo Niwule”. Perkawinan “Morumbadoleaha” yakni melksanaklan tiga macam acara dalam waktu yang bersamaan yaitu acara “Mondutudu, Mondongoniwule dan Mowindahako”. Disinilah adat perkawinan Tolaki dapat mengikuti perkembangan zaman. Jika tadinya 5 tahapan dapat dilakukan diasaat “Mowindahako” waktu bersamaan 4 tahapan tersebut. Dari pelaksanaan perkawinan adat Tolaki diatas ketika mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi informasi komunikasi bahwa “Mowindahako” orang Tolaki itu, semua bisa diatur asal isi pokoknya adat wajib dipenuhi. Disinilah peranan Tolea sebagai “negosiator”. Boleh jadi popolo bisa ringan, berlaku asas musyawarah mufakat kedua belah pihak. Apalagi pihak keluarga wanita memahami “siapa” calon mantu tersebut?. Menurut pandangan orang Tolaki, ketika “Mowada Popolo” tidak mengenal “Meoli O’ana” yang artinya membebani pihak keluarga pria membayar biaya popolo misalnya. Wanita Yang Pantang Dijadikan Istri Barangkali hampir semua suku-suku bangsa yang ada di belahan dunia memiliki “perkawinan terlarang” ? Apalagi berbicara keberadaan suku-suku bangsa di Indonesia, sangat memahami masalah “inces tabu”, maksudnya jika terjadi perkawinan “terlarang” akan mendapat kualat, kutukan atau dosa berjamaah dari orang tua, membawa aib keluarga, bahkan rusak nama baik sekampung tersebut. Seperti apa saja perkawinan terlarang itu ? Yaitu (1) Kawin dengan ibu kandung atau ibu tiri, (2) Kawin dengan anak kandung atau anak tiri, (3) Kawin dengan bibi kandung, (4) Kawin dengan saudara kandung. Kecuali yang sering dilanggar seperti “Mosoro Rongo” atau levirate dan sekorat. Adat perkawinan “tumutada” artinya kawin dengan saudara kandung ipar perempuan. Kawin silang, kawin dengan janda mertua atau janda menantu atau janda anak kandung. Ketika terjadi pelanggaran kawin “Tumutada” misalnya yaitu kawin dengan saudara kandung istri dan semacamnya. Pada jaman tempo doeloe sebelum masuk ajaran agama masih dapat ditoleril, namun resikonya harus dicerai istri pertama. Kemudian jika terdapat atas pelanggaran perkawinan “Inces Tabu” diatas, maka wajib diadakan suatu upacara Adat “Mosehe” yang artinya penyucian diri dan juga menolak bala atas pelanggaran perkawinan “Musibah” tersebut (A. Rauf, 1985). Khusus pelanggaran perkawinan terlarang yang sangat memalukan itu seperti pada poin Pertama hingga keempat diatas maka, tidak ada ampun alias kompromi. Mereka harus “dibunuh” secara diam-diam atau dibuang dari kampung atau masyarakat. Namun jaman sekarang diserahkan kepada hukum positif atau aparat penegak hukum. Kini diuraikan wanita paling ideal untuk dijadikan calon istri adalah sepupu sekali, sepupu dua kali, tiga kali, ini disebut kawin “Mekaputi” artinya ikat-mengikat dan lawannya kawin dengan orang lain. Apa yang melatar belakangi perkawinan “Mekaputi” semacam diatas? Kata mereka agar harta kekayaan tidak jatuh pada pihak lain dilingkungan luas, agar potensi dan integritas keluarga asal dari satu nenek moyang mereka tetap terbina dan dipertahankan. Ketika Anggota Masyarakat Melangkahi Upacara Adat Perkawinan Tolaki Ada lima “Model” perkawinan tidak normal bagi mereka cewek maupun cowok anak muda Tolaki, baik dahulu kala maupun dewasa ini yang dikategorikan “Melanggar” hukum adat perkawinan. (1) Kawin lari alias silariang (2) Kawin sudah hamil diluar nikah (3) Kawin rampas disebut “Mombolasuako Luale (4) Kawin dilaporkan kepada orang tuanya karena sesuatu hal (5) Kawin tertangkap basah ketika sedang Indehoi atau berhubungan seks. Nah dari semua perilaku kawin tidak normal diatas, tidak bisa ditolerir harus diselesaikan secara adat. Catatan ada yang kawin resmi lewat KUA namun tidak melalui kawin Adat Tolaki disini perlakuan tersendiri. Adapun cara penyelesaian adat tersebut, melalui upacara “Mesokei” artinya datang “Membentengi” untuk suatu upaya membujuk pihak keluarga wanita yang dipermalukan itu dengan membayar sejumlah ganti rugi. Disini pula wajib menggelar Kalosara, tujuannya mencegah perselisihan paham alias bombe yang mungkin bisa berujung pertikaian diantara mereka. Kini ditampilkan salah satu contoh kasus perkawinan resmi alias normal, namun belum dilaksanakan upacara perkawinan Adat Tolaki. Seperti misalnya kasus pasutri ketika “melangkahi” upacara Adat perkawinan Tolaki. Mungkin Pasutri tersebut tidak tahan lagi ingin cepat berumah tangga ? Hal ini diketahui ketika menikah lewat KUA. Bahkan telah memiliki “buah hati” kini duduk dibangku SD. Namun belum “dihadapkan” tokoh adat “Puutobu” dan “Toono Motuo” untuk ditangani Tolea-Pabitara alias digelar adat “Kalosara” Pasturi diatas tetap melaksanakan tahapan-tahapan perkawinan Adat Tolkai dengan menggelar acara “Mowindahan”. Selanjutnya tujuan pelaksanaan Adat perkawinan tersebut adalah dalam mengukuhka kedudukan “Masyarakat Hukum Adat” sebagaimana disebutkan diawal tulisan. Kemudian dikaitkan dalam penerapan hukum Adat Tolaki yang selalau ditaati anggota masyarakat yaitu sebagaimana terurai dalam falsafah puitis Tolaki, “Inae Kona Sara Iyeto Pinesara Inae Lia Sara Iyeto Pinekasara”. Artinya siapa yang menghargai adat, dia akan dihormati, siapa yang tidak menghargai adat, dia tidak akan dihormati. Sebagai penutup, ketika berbicara prosedur dan tata cata menggelar acara upacara Adat perkawinan Tolaki dikaitkan sebagaimana judul diatas, muncul pertanyaan dikalangan masyarakat awam. Apakah masih relevan keberadaan “upacara Adat perkawinan Tolaki” dewasa ini ? Kenyataan memang disana-sini mengalami “pergeseran nilai” atas tuntutan perkembangan zaman serta dinamikan masyarakat, namun tidak keluar dari koridor aslinya. Jika kita amati seksama atas tinjauan perspektif upacara Adat perkawinan Tolaki secara kontekstual nampaknya mampu “menyesuaikan” kondisi dan perkembangan serta tuntutan masyarakat dewasa ini. Dimana kedudukan dan fungsi Kalosara mampu “menyemangati” prinsip “Mesambepe Meambo” yang artinya berlaku asas musyawarah mufakat dalam hal menaati koridor adat istiadat Tolaki. Penulis Kepala Bagian Penelitian dan Penulisan Hukum Adat Tolaki DPP Lembaga Adat Tolaki (LAT) Provinsi Sulawesi Tenggara Lahaanggu Moia di Andoolo Konawe Selatan Nilai-nilai Kebudayaan masyarakat TOLAKI ota Kendari terdiri dari beberapa suku bangsa, salah satunya adalah suku bangsa Tolaki. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan Suku Buton yang berasal dari pulau Buton. Sekitar abad ke-10 daratan Sulawesi Tenggara memiliki dua kerajaan besar yaitu kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan ini serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki. Dalam artikel ini saya akan membahas secara singkat tentang Kebudayaan masyarakat Tolaki. Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha pernah menerapkan perangkat pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE MBATOHU sekitar tahun 1602/1666 yaitu : 1) Tambo I ´Losoano Oleo 2) Tambo I´ Tepuliano Oleo 3) Bharata I´Hana; 4) Bharata I´ Moeri Ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan mereka terdapat satu simbol peradaban yang mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau persoalan yang mampu mengangkat martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA” serta kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan kebersamaan dan kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat. Didalam berinteraksi sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya yang merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain sebagai berikut : - Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat), masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih menyelesaikan secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat tolaki, misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat tolaki akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya masyarakat tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih jalan damai dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. - Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki yang setiap saat, dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan. - Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini merupakan budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan santun, saling hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara lain sebagai berikut:  “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno” Artinya : Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya.  “Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara” Artinya : Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan dikenakan sanksi / hukuman  “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo” Artinya : Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan - Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara adat,pesta pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling tolong menolong dan bantu-membantu . - Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki . Mudah-mudahan dari sekian banyak nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki yang ada, apa yang saya berikan pada artikel ini bisa lebih membuka mata dan memberi sedikit gambaran tentang kebudayaan Masyarakat Tolaki. Khasanah kehidupan masyarakat di Kota Kendari Khususnya dan Sulawesi Tenggara Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur suku bangsa Tolaki tetapi juga oleh masyarakat suku lainnya yang berada di “bumi anoa”, kesemuanya menjadi daya perekat dalam kehidupan bemasyarakat di daerah ini .kerukunan antar ummat beragama juga memberi warna tersendiri ditengah- tengah kepercayaan dan keyakinan untuk menyerahkan diri kepada Tuhannya masing-masing.

Ditulis Oleh : irwansyah Hari: Jumat, Mei 25, 2012 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

jangan lupa komentar yah