REFORMASI KEKUASAAN KEHAKIMAN

PERKEMBANGAN REFORMASI KEKUASAAN KEHAKIMAN

oleh
Sudikno Mertokusumo

Dengan Seminar dengan topik "Perkembangan reformasi kekuasaan kehakiman" ini Komisi Hukum Nasional ingin melihat kembali peran dan sumbangannya di dalam upaya reformasi hukum nasional.
Bagaimanakah perkembangan reformasi kekuasaan kehakiman dewasa
ini?
Reformasi merupakan usaha untuk meningkatkan atau memperbaiki keadaan yang kita kehendaki atau harapkan, dalam hal ini kearah perbaikan kekuasaan kehakiman.
Kata perkembangan berarti peru bahan, sedangkan perubahan dapat berarti kemajuan atau perbaikan yang kita kehendaki/harapkan atau justru sebaliknya dapat berarti kemunduran, bahkan penyimpangan atau penyelewengan yang tidak kita kehendaki. Jadi yang dimaksudkan dengan perkembangan atau perkembangan reformasi tidak menutup kemungkinan bahwa dalam perkembangannya, yang semula dimaksudkan sebagai reformasi, peningkatan atau perbaikan, dalam kenyataannya justru (sadar atau tidak sadar) menyimpang dari yang kita kehendaki atau harapkan.
Yang dipertanyakan apakah perkembangan reformasi hukum selama ini selalu membawa pembaharuan, perbaikan atau peningkatan di bidang hukum dalam arti yang sesuai dengan cita-cita Negara Hukum dan rasa keadilan dalam upaya mempercepat penanggulangan krisis kepercayaan kepada hukum dan penegakan hukum serta menghadapi tantangan dinamika globalisasi terhadap sistem hukum di Indonesia, atau yang merupakan peningkatan supremasi hukum seperti yang menjadi tujuan dari Komisi Hukum Nasional ini.
Bicara tentang reformasi kekuasaan kehakiman, kita tidak lepas dari reformasi pembentukan undang-undang (Iegislatif). Reformasi kekuasaan kehakiman tidak dapat dipisahkan dari reformasi dalam pembentukan undang­undang. Hakim selaku pelaku kekuasaan kehakiman harus tunduk pad a undang-undang. Da/am memeriksa dan menjatuhkan putusannya hakim harus mengadili menurut undang-undang, tidak boleh menlanggar undang-undang. Hakim harus tunduk pada undang-undang. Pembentukan undang-undang atau undang­undang itu sendiri besar pengaruhnya terhadap perilaku hakim, karena hakim harus mengadili menurut undang-undang dan tidak boleh melanggar undang­undang. Hakim terikat pad a undang-undang.
Kalau kita memperhatikan perkembangan pembentukan undang-undang dewasa ini saya mendapat kesan bahwa pembentukan undang-undang dewasa ini didorong oleh kepentingan sesaat, karena keinginan besar untuk mengubah berkat euphoria, karena merasa tertekan selama ini dan kepentingan kelompok.
Betapa tidak. Suatu undang-undang seyogyanya bersifat futuristik, yang berarti berlaku dalam kurun waktu yang (seberapa dapat) lama. Dewasa ini tidak sedikit undang-undang yang be/um berumur satu tahun sudah direvisi atau diganti.
Banyak undang-undang dibentuk tanpa mengingat bahwa hukum itu merupakan satu sistem. Da/am mengadakan amandemen atau revisi undang­undang seringkali sistematik dilupakan. Duplikasi istilah atau terminologi menunjukkan bahwa undang-undang tidak dilihat sebagai satu sistem.
Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU no.4 tahun 2004 yang menggantikan UU nO.14 tahun 1970. Pasal 1 UU no.4 tahun 2006 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terse/enggaranya Negara Hukum RI. Ini berarti bahwa hakim itu bebas, memang hakim 11arus bebas dari pihak ekstra yudisiil dan bebas untuk menemukan hukum dan keadilannya. Akan tetapi kebebasannya itu tidak mutlak, tidak tanpa batas, melainkan dibatasi dari segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya, sedangkan dari segi mikro kebebasan hakim dibatasi atau diawasi o/eh Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kebebasan hakim tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang tidak luput dari kekhilafan. Untuk mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan putusannya perlu dikoreksi. Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good judicature) antara lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.
Pasal 2 UU no.4 tahun 2006 berbunyi bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Pasal 11 UU no.4 tahun 2006 mengatakan bahwa MA merupakan pengadilan tertinggi dari keempat lingkungan peradilan, sedangkan Pasal 12 berbunyi bahwa MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan demikian sesudah tahun 2006 kita tidak lagi mempunyai pengadilan yang tertinggi. Bagaimanakah kedudukan MA dan MK? Sebelum tahun 2006 kita mengenal apa yang dinamakan kesatuan (unifikasi) peradilan (eenheid van rechtspraak). Dengan tidak adanya pengadilan yang tertingi di NKRI ini maka tidak lagi ada kesatuan peradilan.
Kecuali itu oleh karena MK mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir maka tidak ada upaya hukum sama sekali. Semua lingkungan peradilan di bawah MA tersedia upaya hukum, sehingga putusan pengadilan di tingkat pertama dan kedua dilingkungan di bawah MA dimungkinkan untuk dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dengan tidak adanya kemungkinan menggunakan upaya hukum dan tidak adanya pengawasan maka kekuasaan MK adalah mutlak. Sistem ini tidak memenuhi principle of good judicature.
Peraturan hukum pidana di Indonesia itu, sepengetahuan saya, berlaku umum, yang berarti berlaku bagi setiap orang, tanpa pandang bulu, yang ada di wilayah NKRI.. Di Aceh Nanggroe Darussalam seorang pencuri dihukum dengan hukuman cambuk, yang tayangannya kita lihat di tv berulangkali. Saya hanya bertanya apakah hal ini tidak bertentangan dengan sistem yang berlaku di Indonesia? Kedua sistem itu menjatuhkan hukuman badan yang tidak sarna? Pertanyaan yang menggelitik saya ialah: apakah kalau ada seorang Aceh yang mencuri, tetapi belum sempat dihukum cambuk kemudian /ari ke Jakarta, Gubernur Aceh dapat minta kepada Gubernur Jakarta untuk menyerahkan pencuri tersebut? Da/am satu Negara terdapat dua sistem hukum yang berbeda bahkan bertentangan satu sarna lain.
Sepengetahuan saya suatu putusan (akhir) hakim (putusan yudikatif) harus bersifat definitif, tuntas dan tidak menimbulkan keraguan, putusan hakim harus dianggap benar (res judicata pro veretate habetur), yang berarti tidak mudah diubah atau diperbaiki, kecuali dengan upaya hukum. Putusan hakim adalah sabda pendita ratu, pantang untuk dijilat kemba/i. Berbeda dengan putusan eksekutif yang dapat dicabut atau diperbaiki oleh yang membuatnya.
Pasa/ 19 UU no.4 tahun 2004 ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim bersifat rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui o/eh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang ayat 5 mengatakan bahwa dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat da/am putusan (dissenting opinion).
Pendapat majelis hakim di dalam sidang musyawarah tidak mungkin selalu sarna, perbedaan se/alu mung kin terjadi. Diwaktu yang /ampau maka perbedaan pendapat itu dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Putusannya merupakan mufakat bulat, jadi keluar putusan itu tidak meragukan atau membingungkan.
Kalau musyawarah itu bersifat rahasia dan putusan pada waktu diucapkan/dijatuhkan dilampiri pendapat yang berbeda, yang dibicarakan dalam musyawarah yang rahasia itu, dimana sifat rahasianya mufakat tersebut. Disamping itu dilampirkannya putusan dari hakim yang berbeda dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum (sah?) apakah tidak membingungkan? Satu putusan (yudikatif) mengandung dua pendapat yang berbeda. Putusan yang mengandung dua "dictum" akan mengundang reaksi pihak yang dikalahkan atau pihak terhukum untuk menggunakan upaya hukum, walaupun dewasa ini tanpa adanya dissenting opinion itu boleh dikatakan yang dikalahkan atau yang dihukum selalu menggunakan upaya hukum, hanya alasannya disini adalah untuk mengulur waktu.saja.
Apakah kriterium "berbeda" dan "tidak berbeda" dapat dianalogkan dengan yang "salah" dan "benar", sebab yang "berbeda" yang harus dilampirkan pada yang "tidak berbeda" jadi dapat disimpulkan yang berlaku atau putusan yang dianggap benar atau sah adalah yang "tidak berbeda".
Perubahan UUD NKRI merupakan pelaksanaan amanat reformasi yang dilakukan oleh MPR. Menurut pengetahuan saya UUD itu harus memuat hal-hal yang pokok atau mendasar. Apakah Komii Yustisial.itu merupakan sesuatu yang mendasar yang perlu dimuat dalam UUD? Komisi Yustisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Apakah hanya karena fungsinya "berkaitan" dengan kekuasaan kehakiman maka itu merupakan alasan untuk dimuat dalam UUD. Apakah yang namanya "komisi" itu layak dimuat dalam UUD.
Meskipun pembuktiannya sukar, tetapi dapat dipastikan bahwa perilaku hakim yang berkaitan dengan moral masih mengecawakan.
Untuk meningkatkan reformasi hukum pada umumnya dan kekuasaan kehakiman pada khususnya guna meningkatkan supremsi hukum tidaklah cukup dengan memperbaiki hukumnya dengan mengubah atau merevisinya, tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan SDMnya dari unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif.dari segi intelektual dan moral.
Yogyakarta, 7 September 2006

Makalah dalam Seminar "Perkembangan Reformasi Kekuasaan Kehakiman", diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional R.I.

Ditulis Oleh : irwansyah Hari: Rabu, Mei 23, 2012 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

jangan lupa komentar yah