PEMANTAPAN SISTEM PERADILAN
Sudikno Mertokusumo
Makalah pembanding ini berjudul "Pemantapan sistem peradilan".
Sudah tentu yang dimaksudkan dengan peradilan di sini adalah peradilan kita. Judul tersebut akan menimbulkan pertanyaan: Apakah sistem peradilan kita ini belum mantap, sehingga perlu dimantapkan?
Kalau kita bicara tentang "pemantapan sistem peradilan" maka itu berarti bahwa sistem peradilannya sudah mapan, tetapi perlu dimantapkan atau ditingkatkan. Di sinipun dapat timbul pertanyaan: Apakah benar bahwa sistem peradilan kita sudah mapan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu diketahui problematik yang terdapat dalam sistem peradilan kita.
Sistem peradilan
Sebagaimana diketahui maka yang dinamakan sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang berkaitan erat satu sarna lain, yang tidak menghendaki adanya konflik di dalam sistem itu, dan kalau teIjadi konflik maka konflik itu tidak akan dibiarkan berlarut-larut, namun akan dipecahkan oleh dan di dalarn sistem itu sendiri. Demikian pula dengan sistem peradilan yang, erat hubungannya dengan sistem-sistem lain dalarn sistem hukum nasional, sehingga dalarn menilai atau memantapkan sistem peradilan, kita tidak boleh lepas dari sistem-sistem lain dalarn sistem hukum nasional. Mengingat bahwa sistem peradilan itu tidak berdiri sendiri dan mengingat pula keadaan umum dewasa ini, maka tidak dapat terlalu diharapkan sepenuhnya hasil yang maksimal dari usaha pemantapan sistem peradilan ini. Dalam pembentukan undang-undang misalnya, karena tidak terkoordinasi, karena tidak memperhatikan sistem lain dalam sistem hukum nasional, maka hasilnya tidak memuaskan, karena isinya ada yang bertentangan dengan undang-undang lain. Meskipun demikian keadaan peradilan kita sudah cukup mengkhawatirkan untuk hanya bertopang dagu bersikap pesimistis dan tidak berbuat apa-apa. Maka kita harus sangat arif dalam usaha kita memantapkan sistem peradilan kita dengan selalu memperhatikan sistem-sistem lain dalam sistem hukum nasional kita. Kita harus berfIkir dalam sistem dan tidak partial.
Peradilan bebas
Kebebasan hakim merupakan asas utama peradilan. Hal ini diatur dalam pasal. Undang-undang no.14 tahun 1970, yang berbunyi: "Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia". Selanjutnya pasal 2 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 mengatakan, bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan, yang tugas pokoknya adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, sedangkan pasal 4 ayat 3 mengatakan, bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang. Jadi hakim bebas untuk dan dalam memeriksa serta mengadili (bebas untuk menilai pembuktian, bebas dalam menemukan hukumnya, bebas dalam mengambil keputusan) serta bebas dari campur tangan pihak ekstra yudisiil.
Kebebasan hakim merupakan asas universal yang terdapat di seluruh dunia, merupakan dambaan semua bangsa. Kebebasan hakim ini tidaklah mutlak. Secara makro kebebasan hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya. Secara mikro di Indonesia kebebasan hakim dibatasi oleh Pancasila, Undang-undang Dasar, undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, kepentingan atau kehendak para pihak (dalam perkara perdata).
Dalam kenyataannya dewasa ini hakim tidaklah bebas dengan pembatasan seperti yang diketengahkan dimuka. Tidak sedikit terjadi campur tangan dari pihak luar kekuasaan kehakiman. Campur tangan dari pihak ekstra yudisiil yang berupa tekanan-tekanan, provokasi, surat sakti dan sebagainya dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, membuat hakim tidak tenang dalam menjalankan tugasnya. Jaminan ketenangan atau keamanan bagi hakim kiranya sangat diperlukan agar hakim sungguh-sungguh dapat menjalankan tugasnya dengan bebas tanpa dipengaruhi pihak ekstra yudisiil berdasarkan hati nuraninya dan keyakinannya. Ia harus dijamin perlindungannya terhadap tekanan, ancaman atau teror. Di sini diperlukan pengaturan mengenai sanksi lebih lanjut terhadap campur tangan dari pihak ekstra yudisiil. Larangan campur tangan tidak hanya berlaku bagi pihak di luar kekuasaan kehakiman saja, tetapi ketentuan larangan campur tangan itu kiranya juga berlaku bagi hakim, yang berarti bahwa hakim wajib menolak campur tangan dari luar kekuasaan kehakiman. Jaminan berupa rumah, kendaraan atau gaji tinggi tidaklah cukup untuk menjamin ketenangan menghadapi campur tangan pihak ekstra yudisiil. Larangan campur tangan saja kiranya belumlah cukup kalau tidak disertai dengan sanksi, terutama bagi hakim. Sanksi, terutama bagi hakim, dalam hal ini secara tidak langsung akan melindungi hakim terhadap campur tangan pihak luar kekuasaan kehakiman, karena ia dapat berlindung di belakang sanksi, untuk menolak campur tangan.
Dapat juga terjadi, bahwa pribadi hakim yang bersangkutan memang sengaja mau "dicampuri" atau dipengaruhi (suap). Hal ini tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan kepada hakim, karena peradilan merupakan sistem yang melibatkan banyak pihak: hakim, panitera, pengacara, para pihak, jaksa. Kalau tidak ada yang menawarkan (para pencari keadilan, pengacara dan sebagainya) tidak akan terjadi suap, kecuali apabila hakim yang minta, itupun masih tergantung kepada yang dimintai mau atau tidak. Baik atas permintaan hakim maupun atas tawaran pihak lain, kalau hakim akhirnya mau menerimanya (disuap), kedua perbuatan itu merupakan perbuatan tercela. Teringat saya ungkapan dari Sidney Smith yang sangat memprihatinkan mengingat keadaan sekarang, yang berbunyi: Nations fall when judges are injust, because there is nothing which the multitude think worth defending. Betapa besar dosa kita kalau hal ini nanti benar-benar terjadi. lni menyangkut integritas hakim yang memerlukan peningkatan integritas sumber daya manusia, yang dapat berupa pendidikan, penataran, eksaminasi putusan, lebih selektif dalam pengangkatan, promosi, evaluasi dan mutasi hakim serta sanksi yang lebih berat dalam hal terjadi pelanggaran oleh hakim. Untuk meningkatkan integritas, kecuali apa yang telah dikemukakan di atas, perlu kiranya meningkatkan juga kewaspadaan, aktivitas pengawasan dan pengetahuan para hawas (hakim pengawas) serta secara konsisten menindak setiap pelanggaran. Jangan terlalu gegabah menganggap suatu pelanggaran sebagai "hanya penyimpangan prosedur" saja.
Peradilan cepat
Speedy administration of justice atau peradilan cepat selalu didambakan oleh setiap pencari keadilan. Pada umumnya setiap pencari keadilan menginginkan penyelesaian perkara yang cepat dan tuntas: mereka pada umumnya menginginkan penyelesaian perkara yang cepat dan tuntas walaupun akhirnya dikalahkan dari pada pemeriksaan yang bertele-tele, tertunda-tunda, sekalipun akhirnya dimenangkan juga perkaranya. Sudahlab wajar kalau para pencari keadilan menghendaki penyelesaian perkara yang cepat, kecuali ingin lekas tahu mengenai kepastian (hukum) hak-haknya dalam suatu perkara, pemeriksaan yang bertele-tele atau tertunda-tunda berarti mengeluarkan banyak beaya dan waktu. Tidak mengherankan ada ungkapan yang berbunyi: justice delayed is justice denied. Asas peradilan cepat ini diatur dalam pasa14 ayat 2 Undang-oodang no.14 taboo 1970.
Banyak penyebab lambannya jalannya peradilan mengingat babwa sistem peradilan melibatkan banyak pihak: hakim, panitera, para pihak, pengacara, jaksa dan sebagainya. Hakim dapat menunda sidang karena pelbagai alasan, karena sakit gigi, atas permintaan para pihak, para pihak atau pengacaranya tidak datang tanpa pemberitahuan atau pengacaranya minta ditunda sidang dengan alasan ada sidang di tempat lain dan pada umumnya itu semuanya hanyalab bertujuan untuk mengulur -ulur waktu saja, untuk "menunda eksekusi".
Permohonan banding dan kasasi seringkali hanyalah untuk mengulur-ulur waktu saja. Barangkali tidak jauh dari kenyataan kalau dikatakan bahwa (di Indonesia) perkara perdata bukanlah perkara perdata kalau tidak banding. Banding dan kasasi memang merupakan upaya hukum memperoleh putusan yang lebih tinggi. Akan tetapi kalau setiap perkara (perdata) dimintakan banding berarti bahwa kesadaran menurun karena permohoman banding hanya digunakan untuk mengulur-ulur waktu saja, atau putusannya tidak memuaskan karena tidak bermutu. Dalam masalah banding di dalam praktek seringkali tidak ditepati peraturannya, terutama mengenai tenggang waktunya: ini sudah menyangkut penyimpangan prosedur.
Dalam kedua hal tersebut di atas hakim hauss berani menegur pihak yang bersangkutan, pengacara atau jaksa dan peraturan tentang hukum acara
harus lebih ketat dijalankan. Berlarut-Iarutnya jalannya peradilan karena sering ditunda-tunda dan juga proses permohonan banding yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengurangi kepercayaan para pencari keadilan kepada pengadilan.
Kecuali apa yang telah dikemukakan di atas, untuk lebih memperlancar jalannya peradilan perlu kiranya diadakan memodernisasi administrasi peradilan seperti komputerisasi putusan dan arsip, alat fotokopi dan sebagainya.
Penyelesaian perkara (terutama yang kondemnatoir) tidak jarang yang tidak tuntas. Tidak tuntasnya penyelesaian perkara disebabkan karena putusannya terlalu formal: yuridis formal tepat, tetapi tidak dapat dilaksanakan, sehingga tidak bermanfaat terutama bagi yang berkepentingan. Putusan semacam ini jelas tidak akan memuaskan pihak yang dimenangkan karena kecuali tidak dapat melaksanakan putusannya ia misalnya harus mengajukan gugatan lagi. Di samping itu tidak jarang pula suatu putusan tidak menyelesaikan perkara dengan tuntas, akan tetapi justru menimbulkan perkara baru. Yang dapat merupakan penyebab di sini ialah kurangnya alat bukti dan atau kurangnya penguasaan hukum materiil dan hukum formil. Dalam hal ini hakim harus berani melakukan penemuan hukum bebas, penemuan hukum yang tidak hanya bersifat system oriented saja tetapi juga problem oriented.
Hukum materiil dan hukum formil
Pada umumnya di dalam praktek orang mudah terjebak dalam "sleur" atau rutinitas pekerjaan. Tidak terkecuali dengan hakim, sehingga akhimya yang dikuasai mengenai hukum materiil dan formil hanyalah itu-itu saja atau bahkan tidak menguasai, sehingga putusan-putusannya sering tidak bermutu. Dalam menemukan hukumnya ajaran mengenai penemuan hukum sering diabaikan atau tidak tahu, bahkan sering menyimpang dari sistem hukum. Sebagai contoh misalnya ada hakim yang minta agar akta notaris itu dilegalisasi. Pertimbangan dalam putusan sering terlalu langsung atau sumir. Selama ini untuk kepentingan itu telah diadakan lokakarya-Iokakarya oleh Mahkamah Agung. Akan tetapi barangkali untuk kepentingan itu di samping lokakarya-Iokakarya perlu adanya refreshing atau penyegaran dalam bentuk pendidikan.
Kesimpulan.
Sistem peradilan tidak sepenuhnya berfungsi berhubung ada peraturan-peraturan yang tidak dijalankan sebagaimana semestinya dan ada yang memerlukan sanksi untuk lebih menjamin kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Kepercayaan masyarakat kepada peradilan harus dipulihkan.
Untuk memantapkan sistem peradilan hakim perlu lebih dijamin kebebasannya.
Sumber daya manusianya perlu ditingkatkan baik integritasnya maupun penguasaan pengetahuannya (hukum materiil maupun formil).
Modernisasi administrasi peradilan akan lebih memperlancar jalannya peradilan yang akan menumbuhkan kembali kepercayaan kepada peradilan.
Yogyakarta, 12 Agustus 1996
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah