Antara Cinta dan Kekuasaan
Banyak orang berkata dan meyakini
bahwa dirinya mencintai orang lain. Pecinta mengatakan bahwa dirinya
mencintai kekasihnya. Suami mengatakan bahwa ia mencintai istrinya.
Guru-guru mengatakan bahwa mereka mencintai murid-muridnya. Para ibu
bapa mengatakan bahwa mereka mencintai anak-anaknya. Dan negara juga
mengatakan bahwa ia sangat mencintai rakyatnya. Namun tragisnya, tidak
semua dari mereka tahu apa arti sesungguhnya dari kata cinta dan
mencintai. Para ahli falsafah menafsirkan dan menjelaskannya dengan
berbelit-belit, yang justru membuat kita kebingungan. Maka tidak heran
jika kemudian setiap orang memilih untuk menafsirkan sendiri kata
tersebut. Dengan cara itu, setiap orang punya penafsiran sendiri tentang
cinta, tanpa harus terkongkong oleh logosentrisme definisi cinta yang
dibuat oleh mereka kaum intelektual.
Dari common-sense masyarakat, cinta dapat
dipahami sebagai sebuah rasa perhatian dan kasih sayang terhadap yang
lain. Cinta adalah pancaran perdamaian, persahabatan, keakraban,
kepedulian terhadap sesama.
Dari pemahaman yang sederhana dan simplistis ini, cinta dapat dimasukan dalam kerangka pembentukan peradaban yang manusiawi, peradaban yang menjamin hak untuk mencintai dan dicintai, memperhatikan dan diperhatikan, mempedulikan dan dipedulikan.
Dari pemahaman yang sederhana dan simplistis ini, cinta dapat dimasukan dalam kerangka pembentukan peradaban yang manusiawi, peradaban yang menjamin hak untuk mencintai dan dicintai, memperhatikan dan diperhatikan, mempedulikan dan dipedulikan.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah
apakah cinta yang begitu agung dan tulus itu sudah terjelma dalam
kehidupan sehari-hari? Jawabnya adalah belum. Mengapa? Karena cinta yang
selama ini ada masih diwarnai dengan naluri kepemilikan, pengaturan dan
penguasaan. Dan itu nampaknya sudah dianggap wajar dan diterima begitu
saja (taken for granted). Para pecinta masih banyak yang membatasi ruang
gerak kekasihnya dengan berbagai alasan, dimana ini boleh membunuh
kreativiti serta produktiviti si kekasih. Dari hal tersebut, di sini
dapat dilihat bahwa apa yang mereka lakukan, sebenarnya mereka ketakutan
jika kuasa dan autoritinya yang tertanam dalam diri orang-orang yang
mereka cintai itu pudar.
Dalam sebuah sistem kekuasaan, naluri
pengaturan dan penguasaan itu kelihatan semakin jelas. Bahkan jika kita
melihat berbagai fakta yang ada, terlihat bahwa unsur kuasa lebih
dominan dari unsur cinta. Kita boleh bercermin dengan negara kita
sendiri. Negara, yang dalam perkembangannya di identikkan dengan
pemerintah, penguasa, state, memang boleh diakui telah memperhatikan
nasib rakyatnya. Namun sayang, projeksi dari rasa cinta negara itu
seringkali tidak sebanding dan seimbang dengan rasa kuasa yang timbul.
Rakyat diberi makan melalui peluang-peluang pekerjaan, tetapi tidak
boleh menuntut lebih banyak. Tidak boleh bercakap terlalu banyak tentang
ini dan itu, tidak boleh berbuat ini dan itu, karena boleh mengganggu
stabiliti. Dengan alasan demi kepentingan dan kebaikan rakyat, negara
mengatur, mengawal, menguasai, bahkan menindas, yang semua itu tidak
lain adalah projeksi rasa cinta negara terhadap dirinya sendiri,
terhadap kekuasaannya, terhadap status-quo.
Dari realiti di atas dapat ditarik satu
kesimpulan bahwa cinta yang ada selama ini selalu berbalut erat dengan
kuasa. Rasa cinta selalu diiringi dengan penguasaan, pengaturan, yang
justru boleh mengaburkan tentang adanya cinta. Cinta bukan lagi
pengorbanan, tetapi tuntutan. Dan jika tuntutan tidak dipenuhi,
seringkali terjadi kekerasan yang sangat bertentangan dengan prinsip
dasar cinta yang ramai, penuh kasih dan penuh kedamaian.
Cinta yang terbalut erat dengan kuasa dan
dominasi itu oleh Erich Fromm didefinisikan sebagai akibat dari
pemahaman keliru tentang cinta. Selama ini, cinta dianggap sebagai
sesuatu yang dapat dimiliki, dimana dari itu muncul naluri untuk
mengatur dan menguasai. Cinta dalam masyarakat sekarang adalah cinta
yang didasarkan pada modus memiliki (to have) dan bukan didasarkan pada
modus menjadi (to be).
Menurut Erich Fromm cinta harus
mengandung unsur pembebasan dan pemerdekaan, bukan penguasaan apalagi
penindasan. Untuk mewujudkan cinta yang membebaskan, Erich Fromm
menyebutkan bahwa cinta tersebut harus memiliki elemen-elemen dasar
seperti halnya “perlindungan dan tanggungjawab”, dimana hal tersebut
menunjukkan bahwa cinta adalah sebuah aktiviti dan bukan sebuah nafsu
dimana olehnya orang terkuasai, dan bukan sebuah pengaruh (affect) yang
mana orang terpengaruh olehnya. Dalam perlindungan dan tanggung jawab
yang ada hanya kerelaan untuk berbuat dan berkorban, tanpa diwarnai
tuntutan untuk diakui, diikuti, ditaati, apalagi ditakuti.
Perlindungan dan tanggung jawab adalah
unsur asas dari cinta. Dari situlah cinta dapat dinilai, apakah yang ada
memang cinta atau hanya keinginan untuk memiliki dan menguasai. Namun
cinta akan membusuk dan layu jika hanya didasari pada semangat
perlindungan dan pertanggungjawapan saja, tanpa diiringi dengan dua
unsur lainnya, yaitu penghormatan dan pengetahuan, dimana dengan
penghormatan, diharapkan cinta akan terbebas dari penguasaan, karena
penghormatan menunjukkan pengakuan atas autonomi yang dicintai.
Penghormatan diorientasikan untuk mengikis rasa kepemilikan dan
penguasaan yang dapat muncul dari aktiviti perlindungan dan
tanggungjawab.
Dari apa yang terungkap di atas, kita
melihat bahwa elemen-elemen dasar dari cinta boleh menjadi dasar bagi
terciptanya sebuah kekuasaan yang ramah, adil dan bertanggungjawab. Jika
kita disuruh memilih antara kekuasaan yang berdasarkan cinta dan
kekuasaan yang berdasarkan logik kuasa, maka tentu kita akan memilih
yang pertama. Hanya orang-orang ‘gila’ saja yang akan memilih yang
kedua.
Kekuasaan yang berasaskan nilai-nilai
cinta akan mampu mengambil hati rakyat, memenuhi keperluan dan
kepentingan rakyat. Sedang kekuasaan yang berasaskan atas semangat
naluri kuasa hanya akan menimbulkan kesenjangan, ketidak-adilan,
sentralisasi kekuasaan untuk kepentingan golongan, partai, keluarga,
bahkan seseorang individu.
Kekuasaan yang dibangun di atas semangat kuasa hanya akan menciptakan kekuasaan ala Fir’aun, yang tega membunuh anak-anak bangsanya demi kepentingan dan kelanjutan kekuasaannya.
Kekuasaan yang dibangun di atas semangat kuasa hanya akan menciptakan kekuasaan ala Fir’aun, yang tega membunuh anak-anak bangsanya demi kepentingan dan kelanjutan kekuasaannya.
Jika rakyat masih banyak yang menangis,
berteriak dan menjerit, tidak puashati dan jengkel, maka kita patut
meragukan bahwa kekuasaan itu dibangun di atas prinsip cinta.
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah