Budaya hukum dan system hukum
Budaya hukum
dan system hukum
Hukum dicaci maki juga dicintai. Hukum
menjadi pilar dari tegaknya hak hak masyarakat yang harus dilindungi. Hukum dan
juga Penegakan Hukum, adalah dua hal yang tampaknya perlu dibicarakan secara
khusus. Sebuah masyarakat yang terdiri atas individu-individu, berupaya untuk
melakukan interaksi di antara sesama individu suka atau tidak akan membutuhkan
hukum. Disadari atau tidak hukum menjadi penting dalam mengatur bagaimana
perilaku dan sikap tindak seseorang terhadap orang yang lain. Hukum dalam
mengatur pergaulan orang-orang tersebut tidak bisa dilepaskan dari bagaimana
sikap tindak dan pandangan orang-orang tersebut terhadap hukum yang
mengaturnya.
Hukum hanyalah setumpuk aturan kosong, ia hanyalah tumpukan kertas tanpa makna. Hukum dapat menjadi hidup dan bekerja secara benar ketika digerakkan oleh sebuah sistem hukum yang baik. Ibarat sebuah mesin yang siap menderu, maka hukum diharapkan mampu menderu di tengah terjalnya jalanan yang akan dilalui olehnya. Hukum menjadi tak berdaya ketika sistem yang bekerja tidak mampu mendorong dan bekerja secara optimum. Hukum bagaikan mobil tua yang berjalan tersendat. Sistem yang bekerja dalam hukum tak mampu lagi seperti apa yang diharapkan.
Beberapa komponen dari sistem hukum tersebut yaitu: Struktur Hukum, Substansi Norma Hukum, dan Budaya Hukum. Struktur Hukum dapat kita ibaratkan sebagai sebuah bangunan yang kukuh karena didukung oleh struktur bangunan berupa beton dan besi yang sangat kuat. Dalam hukum maka komponen struktur hukum meliputi aparat hukum yang bekerja seperti: badan-badan peradilan, aparat kepolisian, kejaksaan. Aparatur penegak hukum tersebut diharapkan menjadi beton dan baja yang tidak akan mampu dirubuhkan. Mereka tidak akan mudah digoyahkan oleh suap, tidak mudah terintimidasi oleh pihak-pihak tertentu yang hendak mengendalikan jalannya sebuah persidangan. Jika diibaratkan sederhana, maka struktur hukum ini adalah manusia yang bekerja di balik hukum. Manusia yang memiliki dedikasi kuat dalam menegakkan hukum. Ini menjadi hal yang sangat sulit dilakukan mengingat faktor manusia adalah komponen utama dari berjalannya hukum. Banyaknya aparat penegak hukum yang mudah disuap menjadi penghalang utama dari upaya penegakan hukum.
Komponen hukum kedua selain itu adalah substansi hukum. Substansi hukum diartikan sebagi peraturan-peraturan hukum yang menjadi acuan dalam memutuskan atau menjatuhkan putusan hukum. Peraturan-peraturan hukum dalam sistem civil law menjadi acuan utama bagi para hakim dalam menjatuhkan outusannya. Peraturan perundangan menempati kedudukan tertinggi dalam hirarki bentuk-bentuk hukum. Hakim diikat oleh sebuah aturan, dengan kata lain aturan hukum harus menjadi landasan pijak hakim dalam memutus perkara. Dalam model civil law semacam ini tampaknya hakim hanya menjadi corong dari perundangan. Hakim hanya mengikuti dan memutuskan apa yang diminta oleh peraturan perundangan. Hakim tidak lagi mampu keluar dari Undang-undang, hakim tidak lagi menggunakan logika hukum dalam menjatuhkan putusan. Putusan hukum hakim tampaknya menjadi kering dari argumentasi-argumentasi filosofis serta logika dibalik penjatuhan putusan. Ia menjadi sangat positivis terhadap setiap perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam sistem common law seorang hakim dituntut untuk menggunakan rasio dan logika dalam memutus perkara. Putusan hukum hakim menjadi acuan utama dalam hukum, dan bukannya undang-undang. Hukum adalah putusan hakim dan bukan undang-undang. Putusan hakim dalam sistem ini lebih menekankan pada legal reasoning si hakim. Legal reasoning diartikan sebagai proses dan kegiatan berfikir dari seseorang terhadap hukum dalam lingkungan sosial dan kulturalnya. Ketika seorang hakim menjatuhkan putusan, maka kita harus mengetahui apa landasan hakim menjatuhkan putusan tersebut. Bagaimanakah cara hakim berfikir dan memandang peristiwa hukum yang ia hadapi. Terkadang juga latar belakang seseorang seperti apakah seorang hakim berfikir secara liberal, ataukah konservatif ikut mempengaruhi putusan yang akan ia jatuhkan. Dalam sistem civil law dimana hakim hanya mengandalkan aturan undang-undang semata tentunya harus mulai dihindarkan. Hakim harus berani keluar dari mainstream berfikir secara umum dengan mengikuti ketatnya undang-undang, hakim harus mengeluarkan putusan yang lebih bernalar. Dalam hal ini maka dibutuhkan keberanian untuk keluar dari tradisi positiivis yang melingkupi hakim selama ini. Tidak selalu hakim-hakim civil law berfikir seperti itu, dalam kasus waduk kedungombo, hakim berani memutus perkara di luar ketentuan undang-undang. Hakim memutuskan membayar lebih dari apa yang diminta oleh pihak penggugat karena hakim berfikir adanya nilai kenaikan atau inflasi atas nilai benda. Atau kasus hakim Bismar Siregar yang berani keluar dari jalur ketika memutus kasus perzinahan dengan menerapkan pasal pencurian dan penipuan. Hakim-hakim seperti itu tidak banyak kita miliki sayangnya.
Budaya hukum sebagai salah satu komponen hukum juga sangat mempengaruhi optimalisasi kerja sistem hukum. Budaya hukum diartika sebagai sikap atau cara pandang mmanusia atau subjek hukum terhadap hukum itu sendiri. termasuk di dalamnya adalah kedudukan, posisi seseorang menentukan bagaimana ia mengambil sikap dalam hukum. Seorang demonstran yang menentang ketidakadilan terhadap sebuah rezim yang berkuasa menjadi berubah sikap dan mendukung rezim tersebut ketika ia diangkat menjadi salah satu menteri kabinet dalam jajaran rezim tersebut. Contoh lainnya adalah bagaimana sikap masyarakat timur yang lebih mengedepankan nilai-nilai harmonisasi dibandingkan penerapan hukum dalam menyelesaikan masalahnya. Masyarakat timur cenderung menolak penerapan hukum untuk menyelesaikan setiap masalahnya, pengadilan dianggap sebagai peretak hubungan sosial masyarakat. Nilai harmoni dan cenderung menutup masalah adalah kultur masyarakat timur, dan ini tentunya sangat berbeda dengan cara pandang dan sikap masyarakat barat dalam memandang hukum. Masyarakat barat lebih menyukai perdebatan sidang pengadilan dalam menyelesaikan masalahnya dibanding proses-proses penyelesaian di luar pengadilan.
Ketika kita melihat bahwa hukum tidak bisa tegak, atau banyak yang menganggap sistem hukum kita bobrok dan sebagainya, maka kita perlu melihat dimanakah dari komponen sistem hukum yang tidak bisa bekerja optimum. Mungkin kita juga yang mengakibatkan hukum tidak bisa bekerja secara optimal atau bobrok serta rusak, ini akibatkan dari kita sendiri yang menolak menyelesaikan masalah melalui jalur hukum karena adanya nilai tabu dalam budaya kita. Terlepas dari kebobrokan ataupun lemahnya penegakan hukum yang terjadi, tetap jauh lebih baik sebuah masyarakat yang memiliki hukum, dibandingkan dengan masyarakat tak berhukum. Hukum yang buruk masih jauh lebih baik dibanding tak ada hukum sama sekali.
Hukum hanyalah setumpuk aturan kosong, ia hanyalah tumpukan kertas tanpa makna. Hukum dapat menjadi hidup dan bekerja secara benar ketika digerakkan oleh sebuah sistem hukum yang baik. Ibarat sebuah mesin yang siap menderu, maka hukum diharapkan mampu menderu di tengah terjalnya jalanan yang akan dilalui olehnya. Hukum menjadi tak berdaya ketika sistem yang bekerja tidak mampu mendorong dan bekerja secara optimum. Hukum bagaikan mobil tua yang berjalan tersendat. Sistem yang bekerja dalam hukum tak mampu lagi seperti apa yang diharapkan.
Beberapa komponen dari sistem hukum tersebut yaitu: Struktur Hukum, Substansi Norma Hukum, dan Budaya Hukum. Struktur Hukum dapat kita ibaratkan sebagai sebuah bangunan yang kukuh karena didukung oleh struktur bangunan berupa beton dan besi yang sangat kuat. Dalam hukum maka komponen struktur hukum meliputi aparat hukum yang bekerja seperti: badan-badan peradilan, aparat kepolisian, kejaksaan. Aparatur penegak hukum tersebut diharapkan menjadi beton dan baja yang tidak akan mampu dirubuhkan. Mereka tidak akan mudah digoyahkan oleh suap, tidak mudah terintimidasi oleh pihak-pihak tertentu yang hendak mengendalikan jalannya sebuah persidangan. Jika diibaratkan sederhana, maka struktur hukum ini adalah manusia yang bekerja di balik hukum. Manusia yang memiliki dedikasi kuat dalam menegakkan hukum. Ini menjadi hal yang sangat sulit dilakukan mengingat faktor manusia adalah komponen utama dari berjalannya hukum. Banyaknya aparat penegak hukum yang mudah disuap menjadi penghalang utama dari upaya penegakan hukum.
Komponen hukum kedua selain itu adalah substansi hukum. Substansi hukum diartikan sebagi peraturan-peraturan hukum yang menjadi acuan dalam memutuskan atau menjatuhkan putusan hukum. Peraturan-peraturan hukum dalam sistem civil law menjadi acuan utama bagi para hakim dalam menjatuhkan outusannya. Peraturan perundangan menempati kedudukan tertinggi dalam hirarki bentuk-bentuk hukum. Hakim diikat oleh sebuah aturan, dengan kata lain aturan hukum harus menjadi landasan pijak hakim dalam memutus perkara. Dalam model civil law semacam ini tampaknya hakim hanya menjadi corong dari perundangan. Hakim hanya mengikuti dan memutuskan apa yang diminta oleh peraturan perundangan. Hakim tidak lagi mampu keluar dari Undang-undang, hakim tidak lagi menggunakan logika hukum dalam menjatuhkan putusan. Putusan hukum hakim tampaknya menjadi kering dari argumentasi-argumentasi filosofis serta logika dibalik penjatuhan putusan. Ia menjadi sangat positivis terhadap setiap perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam sistem common law seorang hakim dituntut untuk menggunakan rasio dan logika dalam memutus perkara. Putusan hukum hakim menjadi acuan utama dalam hukum, dan bukannya undang-undang. Hukum adalah putusan hakim dan bukan undang-undang. Putusan hakim dalam sistem ini lebih menekankan pada legal reasoning si hakim. Legal reasoning diartikan sebagai proses dan kegiatan berfikir dari seseorang terhadap hukum dalam lingkungan sosial dan kulturalnya. Ketika seorang hakim menjatuhkan putusan, maka kita harus mengetahui apa landasan hakim menjatuhkan putusan tersebut. Bagaimanakah cara hakim berfikir dan memandang peristiwa hukum yang ia hadapi. Terkadang juga latar belakang seseorang seperti apakah seorang hakim berfikir secara liberal, ataukah konservatif ikut mempengaruhi putusan yang akan ia jatuhkan. Dalam sistem civil law dimana hakim hanya mengandalkan aturan undang-undang semata tentunya harus mulai dihindarkan. Hakim harus berani keluar dari mainstream berfikir secara umum dengan mengikuti ketatnya undang-undang, hakim harus mengeluarkan putusan yang lebih bernalar. Dalam hal ini maka dibutuhkan keberanian untuk keluar dari tradisi positiivis yang melingkupi hakim selama ini. Tidak selalu hakim-hakim civil law berfikir seperti itu, dalam kasus waduk kedungombo, hakim berani memutus perkara di luar ketentuan undang-undang. Hakim memutuskan membayar lebih dari apa yang diminta oleh pihak penggugat karena hakim berfikir adanya nilai kenaikan atau inflasi atas nilai benda. Atau kasus hakim Bismar Siregar yang berani keluar dari jalur ketika memutus kasus perzinahan dengan menerapkan pasal pencurian dan penipuan. Hakim-hakim seperti itu tidak banyak kita miliki sayangnya.
Budaya hukum sebagai salah satu komponen hukum juga sangat mempengaruhi optimalisasi kerja sistem hukum. Budaya hukum diartika sebagai sikap atau cara pandang mmanusia atau subjek hukum terhadap hukum itu sendiri. termasuk di dalamnya adalah kedudukan, posisi seseorang menentukan bagaimana ia mengambil sikap dalam hukum. Seorang demonstran yang menentang ketidakadilan terhadap sebuah rezim yang berkuasa menjadi berubah sikap dan mendukung rezim tersebut ketika ia diangkat menjadi salah satu menteri kabinet dalam jajaran rezim tersebut. Contoh lainnya adalah bagaimana sikap masyarakat timur yang lebih mengedepankan nilai-nilai harmonisasi dibandingkan penerapan hukum dalam menyelesaikan masalahnya. Masyarakat timur cenderung menolak penerapan hukum untuk menyelesaikan setiap masalahnya, pengadilan dianggap sebagai peretak hubungan sosial masyarakat. Nilai harmoni dan cenderung menutup masalah adalah kultur masyarakat timur, dan ini tentunya sangat berbeda dengan cara pandang dan sikap masyarakat barat dalam memandang hukum. Masyarakat barat lebih menyukai perdebatan sidang pengadilan dalam menyelesaikan masalahnya dibanding proses-proses penyelesaian di luar pengadilan.
Ketika kita melihat bahwa hukum tidak bisa tegak, atau banyak yang menganggap sistem hukum kita bobrok dan sebagainya, maka kita perlu melihat dimanakah dari komponen sistem hukum yang tidak bisa bekerja optimum. Mungkin kita juga yang mengakibatkan hukum tidak bisa bekerja secara optimal atau bobrok serta rusak, ini akibatkan dari kita sendiri yang menolak menyelesaikan masalah melalui jalur hukum karena adanya nilai tabu dalam budaya kita. Terlepas dari kebobrokan ataupun lemahnya penegakan hukum yang terjadi, tetap jauh lebih baik sebuah masyarakat yang memiliki hukum, dibandingkan dengan masyarakat tak berhukum. Hukum yang buruk masih jauh lebih baik dibanding tak ada hukum sama sekali.
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah