MAKALAH DIMENSI SOSIAL BUDAYA DALAM PEMBINAAN OLAHRAGA

MAKALAH DIMENSI SOSIAL BUDAYA DALAM PEMBINAAN OLAHRAGA BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dahulu kala, inisiatif dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik untuk berperan serta dalam upaya peningkatan prestasi olahraga telah dirasakan oleh masyarakat. Penekanan dari sejumlah media pun cukup beragam, mulai dari persoalan infrastruktur dan sarana olahraga, para stakeholder dalam hal ini termasuk di dalamnya atlet, pelatih, pembina, pengurus, pemerintah, dan seterusnya.
Inisiatif tersebut tentu saja senantiasa diawali sekaligus diikuti dengan fokus utama efektifitas secara internal. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kinerja para stakeholder dalam olahraga, dalam hal ini, media senantiasa menyuguhkan informasi yang sifatnya konstruktif-motivasion khususnya pada aspek metode dan proses dalam menggapai prestasi yang diharapkan.
Tuntutan akuntabilitas dan ekspektasi pihak yang berkepentingan terhadap upaya peningkatan prestasi olahraga juga senantiasa memerlukan inisiatif reformasi baru. Seiring dengan bergulirnya gelombang reformasi serta era globalisasi yang tentunya menekankan pada efektifitas penyelenggaraan pembinaan olahraga tak terkecuali disetiap jenjang pendidikan, dari dasar hingga perguruan tinggi. Ringkasnya, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan prestasi mampu terlaksana dengan baik.
Media pun sesungguhnya berupaya untuk melakukan pengembangan kebijakan yang ditujukan kepada penjaminan kualitas dan akuntabilitas terhadap stakeholder internal dan eksternal. Ciri utama dari gelombang informasi media tersebut antara lain penjaminan kualitas, pemantauan dan evaluasi, pilihan public, pelibatan dan partisipasi orang tua atlet dan masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, dituntut agar senantiasa diadakan perbaikan struktur, organisasi kelembagaan, dan praktik penyelenggaraan pembinaan yang ada pada berbagai jenjang pendidikan termasuk pada jenjang perguruan tinggi itu sendiri.
Memasuki abad baru, terpaan transformasi-informasi serta isu global yang beragam demikian cepat melahirkan sekaligus menimbulkan berbagai persepsi, antara rasa optimis dan pesimis akan ketercapaian tujuan pencapaian prestasi. Selain itu, tantangan dan juga kebutuhan pada era globalisasi teknologi informasi menuntut paradigma baru dalam untuk melahirkan ide dan gagasan perubahan pada tujuan, isi, praktik penyelenggaraan dan manajemen olahraga itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pembinaan olahraga di indonesia  ?
2. Bagaimana Prespektif Olahraga Dalam Berbagai Dimensi Sosial  ?
3. Bagaimana peran media dan olimpiade ?


C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pembinaan olahraga di indonesia.
2. Untuk mengetahui perspektif olahraga dalam berbagai di mensi sosial.
D. Manfaat
1. Memberikan pemahaman kepada pembacanya tentang pembinaan olagraga di indonesia
2. Memberikan pengetahuan tentang perspektif olahraga dalam berbagi dimensi sosial










BAB II
PEMBAHASAN
A. DIMENSI SOSIAL BUDAYA DALAM PEMBINAAN OLAHRAGA
Perilaku pembinaan olahraga dipengaruhi oleh system kepercayaan dan nilai panutan
a. interaksi  nilai budaya  dan olahraga
kajian sosiologis :perkembangan olahraga (nasional),kemajuan atau kemundurannya berpangkal dari kegiatan yang berlangsung dalam kontek social budaya,perubahan sosial ,namun juga tidak terlepas dari perubahan cara historis
b. perubahan orientasi
trend baru adalah melahirkan kelas –kelas social dari performance melahirkan cita rasa aestetika atau symbol eksklusif atau keperkasaan
Ada pun faktor sosial yang membentuk struktur dasar dari dunia kaum muda dalam  olahraga
1. konflik pendidikan jasmani antara konsef dan konteks
2. organisasi induk olahraga mengalami kelemahan kapabilitas manajemen
3. kelangkaan sumberdaya
c. strategi pembinaan
Proses pembinaan olahraga pada hakikatnya berlansung dalam lingkungan social,beserta  nilai –nilai yang tumbuh dan bekembang didalamnya
d. proses sosialisasi
1. agen sosial
a. proses untuk memperlakukan anak pria  dan wanita dalam cara yang berbeda
b. pengaruh langsung dari sikap perlakuaan orang tua termaksuk masyarakat luas
2. situasi social
Faktor lain  yang berpengaruh terhadap partisipasi falam olahraga dan keterampilan berolahraga
3.  karakterristik personal
Bagaimana persepsi anak tentang kemampuan ya dalam olahraga
B. INTERAKSI NILAI BUDAYA DAN OLAHRAGA
Masyarakat memiliki potensi untuk mengubah, membentuk, dan mengarahkan perkembangan kelembagaan olahraga beserta kegiatanya, dan sebaliknya juga olahraga juga berpotensi untuk mempengaruhi lingkungan masyarakat sekitarnya. Pada tingkat individu keadaan demikian juga terjadi yaitu transaksi (hubungan timbal balik) antara individu dan lingkunganya yang berlangsung sepanjang hidupnya. Setiap hari seseorang dibombardir oleh reformasi atau rangsang yang tidak terkira jumlahnya. Kesemuanya itu menimbulkan kesan dan wawasan tentang peta dunia lingkungan sekitarnya karena itu jika kita amati perkembanganya olahraga di tingkat nasional atau di tingkat jawa barat, khususnya dari kacamata sosiologis, maka kita dapat menyimpulkan bahawa kemajuan/kemunduran itu berpangkal dari kegiatan yang berlangsung dalamkontes sosial budaya.perubahan sosial, namun juga tidak lepas dari perubahan secara historis.
C. OLAHRAGA DAN KELOMPOK
Organisasi dalam olahraga terdiri dari empat tingkatan
1. Tingkat Primer: diselenggarakan secara informal dan mempunyai hubungan interaksi yang akrab (or. Rekreasi dan hobi).
2. Tingkat Teknikel: struktur lebih nyata, terdapat posisi kepemimpinan administratif (or. Kampus, kontingen porda).
3. Tingkat Managerial: lebih besar dari organisasi tingkat teknikel, anggota tidak saling mengenal (klub or. mapan).
4. Tingkat Badan Hukum: bercirikan birokrasi : sentralisasi kuasa dan otoritas, hierarki personalia, hubungan bersifat perkara, operasional yang rasional.
Suatu kelompok dapat dianggap suatu sistem sosial apabila mengandung unsur-unsur : Pembagian kerja; Kode etik, Peraturan; Peringkat prestise; mitos dan tujuan bersama yang akan dicapai.
Kelompok olahraga juga dipandang sebagai subkultur karena kelompok olahraga mengandung unsur-unsur budaya seperti kesukuan, status kelas sosial, pemukiman perkotaan dan pedesaan, lapangan kerja yang mampu memadukan unsur-unsur tersebut dan berfungsi mengatur partisipasi anggotanya secara terorganisir.

D. KELOMPOK OLAHRAGA
Kelompok suatu organisasi olahraga: pelatih dan olahragawan (= kelompok inti), korp wasit, para pengurus dan donatur.
Aktivitas pelatih dan olahragawan sebagai kriteria formal dari kelompok olahraga. Kelompok informal muncul secara spontan dan dinamis hingga bisa mengubah kelompok formal menjadi lebih hidup.
a. Karakteristik Kelompok
1. Efek sinergistik
Prestasi total anggota kelompok secara bersama-sama lebih besar daripada jumlah prestasi anggota kelompok secara terpisah-pisah.
2. Persaingan dan Kerja sama
Persaingan dapat meningkatkan pemahaman dan pengertian terhadap lawan maupun kawan. Adalah normal dan juga penting bahwa keberhasilan atau prestasi itu memerlukan situasi persainagn atau kompetitif.
3. Keterpautan (Cohesiveness) Kelompok
Adalah tenaga atau kekuatan yang mendorong anggota bergabung dalam kelompok yang menahan anggota keluar dari kelompok. Pengaruh keterpautan terhadap peningkatan prestasi tidak sama, tergantung pada katagori ketergatungan terhadap tugas. Jenis katagorinya adalah :
1) Bebas tidak bergantung (bowling, panahan).
2) Ketergantungan koaktif (dayung).
3)  Ketregantungan reaktif-proaktif (baseball/sofball – pitcher & catcher).
4) Ketergantungan interaktif (basket, sepakbola, hoki).

Untuk pembinaan keterpautan adalah melalui peningkatan koordinasi, seperti dikemukakan Carron :
1.Koordinasi melalui standarisasi
2. Koordinasi melalui perencanaan
3. Koordinasi melalui penyesuaian
Yang menjadi indikator keterpautan dalah : persahabatan, kegembiraan, kerjasama, nilai keanggotaan yang dijunjung tinggi, rasa kebersamaan, perasaan dekat diantara anggota suatu kelompok.
E. INTERAKSI ANTARA PEMERINTAH, SWATA DAN MASYARAKAT DALAM PEMBINAAN OLAGRAGA NASIONAL
Perkembangan kemandirian organisasi olahraga tidak sepenuhnya tercapai. Swasta dan sponsor sudah terlibat dalam proses pembinaan, namun kenyataannya peranan pemerintah tetap besar dan dibutuhkan.
1. Efektivitas Pembinaan
Aspek manajemen keolahragan nasional dinilai masih lemah.
Model pembinaan adalah sebuah sistem penyelenggaran yang dipengaruhi faktor eksternal (geografis,demografis, ekonomi, politik, sosbud), dan juga ikut terbentuk oleh kekuatan dari luar (IOC).
 Arah Pembangunan Keolahragaan Nasional
1. Dampak Penjas dan olahraga
 Meningkatkan stabilitas sosial-psikologis.
 Fungsi sosialisasi
 Mempersatukan warga masyarakat yang berkelompok-kelompok sehingga melumat dan menyatu dalam tujuan bersama
 OR kompetitif berpotensi mendorong mobilitas sosial seseorang
2. Arah pembinaan olahraga pada abad 21
 Peningkatan dalam olahraga kemasyarakatan, olahraga bagi semua orang (sport for all): layanan jasa orkes, lansia, or pengisis waktu luang.
 Pengembangan OR sebagai sebuah investasi dengan keuntungan ekonomi sebagai tuntutan yang kian meningkat.
 Masalah Dan Tantangan Dalam Pembinaan
1. Tantangan Terhadap Penjas
Praktik penjas masih pembinaan skill; Status penjas masih lemah; Profesionalisme guru kurang perhatian; Visi penjas belum bersinggungan dengan upaya pemecahan masalah sosial; Alokasi biaya, waktu belum sesuai.
2. Tantangan Terhadap OR Kompetitif
Investasi iptek OR amat terbatas; Penolakan inovasi karena prasangkan dan sikap tertutup dari pembina dan atlet; Pola pembinaan masih sentralisasi; Penggalian dana pembinaan terbatas (APBN atau APBD); Sponsorship hanya untuk pertandingan; Koordinasi lemah pada sub-sistem pembinaan; Munculnya agresifitas berlebihan; Doping.
 Peran Pemerintah Swasta Dan Masyarakat
KONI merupakan jawaban terhadap perubahan kebijakan (politik dan kekuasaan) pembangunan nasional keolahragaan. Perlu dikembangkan konsep keterpaduan (integrasi) usaha pemerintah, swasta, dan masyarakat.
1. Pemerintah Berperan
 Menjamin perlindungan hukum
 Mengawasi doping dan penyimpangan proses pembinaan
 Menetapkan kebijakan nasional
 Menyelenggarakana diklat, memfasilitasi penjas dan or
 Mengkoordinir jaringan kegiatan or untuk sekolah, usaha eksperimen dan produksi alat or dan menetapkan standarnya.
2. Swasta Berperan sebagai sponsorship yang:
 Membuat produk yang berkaitan langsung dengan kebutuhan or (sepatu,dll)
 Membuat produk makanan dan alat higienis
 Membuat produk yang tidak bertalian langsung dengan or (asuransi,dll)
 Tidak ada kaitan langsung dengan or (kilang minyak, dll).
Sumbangan dari masyarakat adalah partisipasi berupa sumbangan dana, tenaga, waktu, dan fikiran. Pendayagunaan dan mobilisasi sumber daya lokal dan pembangunan daerah untuk mendukung kekuatan nasional.
F. MEDIA DAN GERAKAN OLIMPIADE
Gerakan olympiade dalam ancaman dan idealismenya yang luhur kian merosot sebagai dampak perkembangan media dan teknologi komunikasi (kasus penyuapan pejabat IOC).
1. Proses Sosialisasi
Dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang berpotensi besar membentuk kegiatan olahraga dan sekaligus mengarahkan pemberian kesempatan dan pemanfaatan peluang karena olahraga berawal dan berakhir pada dimensi kemanusiaan.
2. Mega Trend
Gerakan sosialisasi budaya gerak.
 Kecabangan olahraga
 Olahraga, fitness, dan well being
 Olahraga dan lingkungan hidup
 Punahnya olahraga tradisional dan bangkitnya kultur gerak baru
 Pendidikan gerak


ISU GLOBAL







3. Peranan Media Olahraga
Daya tarik olahraga terletak pada unsur kejutan, hasil yang sukar direka dan unsur ketegangan (=fokus perhatian media).
 Media olahraga sebagai perantara antara kegiatan olahraga dan penggemarnya.
 Kredibilitas sumber informasi dan daya tariknya merupakan faktor dominan bagi keberhasilan komunikasi (kasus surat kabar).
 Media olahraga merupakan agen sosial yang efektif untuk menggugah partisipasi dan memperkuat respons emosional dan kesiapan berbuat dalam olahraga.
 Media sangat besar peranannya untuk melaksanakan peran penyuluhan.
 Media mendorong proses sosialisasi: internalisasi nilai-nilai hakiki dalam OR.
 Media berperan dalam merangsang dan mendorong anak muda agar menyukai budaya gerak atau olahraga
Ekses negatif OR kompetitif yang berlebihan perlu diantisipasi sehingga media olahraga tidak mempersubur dekadensi moral dan kekerasan dalam olahraga. Mutu informasi tidak mengalami distorsi jika ditangkal dengan gaya “jurnalistik conscience” yang berorientasi pada
 Penyadaran
 mengutamakan kejujuran
 kebanggaan profesi
 kebebasan mengutarakan apa yang sebenarnya secara bertanggung jawab.
G. PRESPEKTIF OLAHRAGA DALAM BERBAGAI DIMENSI SOSIAL
1. Olahraga sebagai media
Sejak dahulu kala, inisiatif dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik untuk berperan serta dalam upaya peningkatan prestasi olahraga telah dirasakan oleh masyarakat.
Penekanan dari sejumlah media pun cukup beragam, mulai dari persoalan infrastruktur dan sarana olahraga, para stakeholder dalam hal ini termasuk di dalamnya atlet, pelatih, pembina, pengurus, pemerintah, dan seterusnya.
Inisiatif tersebut tentu saja senantiasa diawali sekaligus diikuti dengan fokus utama efektifitas secara internal. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kinerja para stakeholder dalam olahraga, dalam hal ini, media senantiasa menyuguhkan informasi yang sifatnya konstruktif-motivasion khususnya pada aspek metode dan proses dalam menggapai prestasi yang diharapkan.
Tuntutan akuntabilitas dan ekspektasi pihak yang berkepentingan terhadap upaya peningkatan prestasi olahraga juga senantiasa memerlukan inisiatif reformasi baru. Seiring dengan bergulirnya gelombang reformasi serta era globalisasi yang tentunya menekankan pada efektifitas penyelenggaraan pembinaan olahraga tak terkecuali disetiap jenjang pendidikan, dari dasar hingga perguruan tinggi. Ringkasnya, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan prestasi mampu terlaksana dengan baik.
Media pun sesungguhnya berupaya untuk melakukan pengembangan kebijakan yang ditujukan kepada penjaminan kualitas dan akuntabilitas terhadap stakeholder internal dan eksternal. Ciri utama dari gelombang informasi media tersebut antara lain penjaminan kualitas, pemantauan dan evaluasi, pilihan public, pelibatan dan partisipasi orang tua atlet dan masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, dituntut agar senantiasa diadakan perbaikan struktur, organisasi kelembagaan, dan praktik penyelenggaraan pembinaan yang ada pada berbagai jenjang pendidikan termasuk pada jenjang perguruan tinggi itu sendiri.
Memasuki abad baru, terpaan transformasi-informasi serta isu global yang beragam demikian cepat melahirkan sekaligus menimbulkan berbagai persepsi, antara rasa optimis dan pesimis akan ketercapaian tujuan pencapaian prestasi. Selain itu, tantangan dan juga kebutuhan pada era globalisasi teknologi informasi menuntut paradigma baru dalam untuk melahirkan ide dan gagasan perubahan pada tujuan, isi, praktik penyelenggaraan dan manajemen olahraga itu sendiri.
Cheng (2001) mengungkapkan perlunya penekanan pada keefektifan pemenuhan dan relevansi fungsi pendidikan, yaitu fungsi ekonomi/teknis, fungsi social/manusia, fungsi politik, fungsi budaya,dan fungsi pembelajaran pada tingkat individu, lembaga, masyarakat, Negara, dan internasional. Seiring dengan itu pula, era globalisasi dengan sejumlah isu yang ada, kini mulai terasa dengan dimulainya pencarian visi baru dan tujuan dari pendidikan, jaringan pendidikan global, wawasan internasional, dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
Melalui globalisasi dengan sejumlah isu global, prakarsa reformasi bertujuan untuk memaksimalkan relevansi global dan mendatangkan sumber dukungan dari berbagai penjuru dunia. Yang pasti, peranan media dalam berbagai isu sentral bertujuan mencapai peluang tak terbatas dalam pencapaian prestasi.

Terlebih dahulu kita harus melahirkan satu pertanyaan bahwa apakah ada kekuatan yang mempengaruhi perubahan dari gerakan Olympiade serta bagaimana para Pembina olahraga mampu mengelola kegiatan itu untuk menghadapi pengaruh kekuatan-kekuatan dari luar?
Dalam hal politisasi sungguh tidaklah mengherankan jika Helmut Kohl pernah mengatakan ; Even though sport is not practiced in an environtment free of politics, it may not tire in its endeavours to secure the necessary free range and open limits it required (dsb-information Nr.34 of 26.8.1986, dalam Prof.Wischmann,1992). Kendati olahraga tidak dilakukan dalam sebuah lingkungan yang bebas politik, namun olahraga itu tak henti-hentinya berupaya untuk menjamin urgennya keleluasaan ruang dan terbukanya batas-batas.
2. Olahraga dalam politik
Dalam beberapa wacana atua pertemuan kadang muncul pertanyaan, dalam hingar bingar demokrasi yang ribut dan gaduh, apakah mungkin sebuah peristiwa olahraga bebas dari politisasi?
Mungkin ada yang menjawab tidak mungkin dipolitisasi. Tetapi, dalam dosis tertentu, olahraga agaknya memang harus dipolitisasi, apalagi sejarah membuktikan banyak peristiwa olahraga atau sepak terjang tokohnya menjadi gerakan politik atau berpengaruh secara politik.
Sebut saja apa yang dilakukan oleh petinju legendaris Mohammad Ali. Penentangannya untuk masuk wajib militer dan penolakannya dikirim ke Vietnam telah mendorong gerakan antiperang mencapai momentumnya
Keterlibatan tentara Amerika Serikat dalam Perang Vietnam dipersoalkan, terutama yang dikirimkan ke garis depan dan mati dalam kantong-kantong mayat umumnya adalah prajurit berkulit hitam.
Akhirnya, dengan sangat memalukan, Presiden AS Lyndon B Johnson menarik pasukan AS dari Vietnam setelah sekitar 58.000 tentara AS mati di rawa-rawa atau lubang-lubang tikus jebakan tentara Vietcong.
Akibat desakan gerakan antiperang yang antara lain dari tokoh seperti Mohammad Ali dan John Lennon dengan slogannya yang terkenal "Make Love, Not War", Menteri Pertahanan Robert S McNamara akhirnya mengakui apa yang dilakukan tentara AS di Vietnam adalah "It is wrong, terribly wrong".
Mohamad Ali pun kemudian dikenal bukan saja sebagai petinju tersohor, tetapi juga tokoh anti perang dan kampiun gerakan antidiskriminasi warna kulit.
Di Indonesia, tokoh olahraga nasional yang gerakannya berdampak politik signifikan adalah pebulutangkis tangguh Tan Joe Hok. Ia bisa disamakan dengan Mohammad Ali dalam upayanya memperjuangkan persamaan hak warga negara tanpa memperhitungkan asal-usul dan warna kulitnya.
Dalam buku "99 Tokoh Olahraga Indonesia" yang diterbitkan Perum LKBN Antara bekerjasama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga itu bisa dibaca cerita prestasi, perjuangan, harapan dan cita-cita Tan Joe Hok.
Lelaki yang ditakdirkan sebagai keturunan Cina itu lahir di Bandung, 11 Agustus 1937, jauh sebelum Republik Indonesia lahir. Ia telah mengharumkan nama Indonesia lewat prestasi tingginya dalam bulutangkis.
Pada 1958, Joe Hok memperkuat tim Piala Thomas yang berhasil membawa pulang trofi kejuaraan dunia beregu putra.
Setahun berikutnya, ia mencetak sejarah dengan menjadi pebulutangkis Indonesia pertama yang menjuarai All England. Tidak cukup dengan itu, ia menyusul gelar itu dengan menjadi juara di Kanada dan Amerika Serikat yang membuat namanya menghiasi majalah olahraga terkenal "Sport Illustrated" edisi 13 April 1959.
Orang-orang di generasinya selalu memuja-muji Tan Joe Hok dan mengakuinya sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang membuat etnis Cina dan pribumi menyatu.Jika Anda hidup di masa atau generasinya, Anda akan menyaksikan masyarakat amat antusias menyaksikannya bertanding.
Nyaris semua orang berkumpul di rumah-rumah yang memiliki pesawat televisi. Mereka berdoa, harap-harap cemas, menonton pertandingan All England atau Piala Thomas, dan sesekali tepuk tangan berteriak mengelu-elukan jagoannya.
"Hidup Tan Joe Hok! Hidup Indonesia!" begitu masyarakat mendukung dan berada di belakang Tan Joe Hok. Tan Joe Hok membuat hubungan antaretnis Tionghoa dan pribumi di banyak tempat di Indonesia berjalan harmonis, sehingga dia dianggap pahlawan oleh banyak kalangan.
Sportivitas dunia politik
Satu hal lain yang harus didorong dari dunia olah raga ke dunia lain, terutama dunia politik adalah aspek sportivitas. Setiap atlet telah ditempa bahwa kalah menang dalam pertandingan adalah hal biasa. Yang penting adalah persiapan, latihan, dan memberikan yang terbaik.
Dalam dunia olahraga berlaku siapa cepat, siapa kuat, dia yang menang, yang juga merupakan motto Olimpiade, citius (lebih cepat), altius (lebih tinggi), fortius (lebih kuat). Siapa yang menang, dia yang terbaik.
Dalam dunia politik, kalah-menang menjadi tidak biasa. Politikus siap menang, tetapi belum tentu siap kalah. Itulah yang menyebabkan bangsa Indonesia, seperti disebut beberapa kalangan, sebagai bangsa yang ribut dan gaduh.
Oleh karena itu, sportivitas dalam dunia olahraga itu patut diadopsi pula oleh dunia politik, termasuk di Pansus DPR soal Bank Century. Itulah yang dimaksud politisasi olahraga.
3. Olahraga dalam ekonomi
Olahraga memang bermanfaat bagi kesehatan tubuh dan jasmani kita. Namun dibalik manfaat tersebut, olahraga juga mempunyai peluang bisnis yang menguntungkan.Apalagi jika melihat minat dan antusiasme masyarakat Indonesia terhadap kompetisi olahraga tingkat nasional maupun internasional sudah sangat tinggi. Hanya dengan sedikit polesan manajemen olahraga yang andal, sebuah pagelaran olahraga yang sehat akan menjadi lebih menarik dan memberikan keuntungan bisnis yang besar.Sayangnya, pagelaran olahraga selama ini tidak dikelola sebagai peluang bisnis yang dapat diraih dengan manajemen olahraga yang andal. Sehingga timbul kesan, pagelaran olahraga di Tanah Air masih sebatas ajang rekreasi tontonan dan ajang perjuangan untuk meraih pengakuan dunia internasional.
Padahal, peluang menghasilkan keuntungan bagi penyelenggara, federasi, atlet, dan sponsor masih sangat terbuka lebar. saat ini olahraga sudah menjadi makrokosmos ekonomi. Olahraga berperan fungsi sebagai media promosi dan kampanye pemasaran, baik itu menjadi ajang sasaran, pasar maupun sebagai komoditi. Fenomena ini seharusnya telah menyadarkan kita untuk menjadikan olahraga sebagai prime mover atau penggerak laju pertumbuhan ekonomi yang membuka kesempatan kerja, membuka peluang usaha dan ikut mensejahterakan masyrakat.
4. Pariwisata Olahraga (Sport Tourism)
Pariwisata untuk olahraga (Sport tourism) menurut Spillane (1987:30) dapat dibagi dalam dua kategori yaitu :
a. Big sport events yaitu peristiwa-peristiwa olahraga besar seperti Olympic games, kejuaraan ski dunia, kejuaran tinju dunia dan olahraga lainnya yang menarik perhatian tidak hanya pada olahragawannya sendiri tetapi juga ribuan penonton atau penggemarnya.
b. Sporting tourism of the practicioners yaitu pariwisata olahraga bagi mereka yang ingin berlatih dan mempraktekkan sendiri seperti pendakian gunung, olahgarag naik kuda, berburu, memancing dan lain sebagainya.
Olahraga dan pariwisata merupakan dua disiplin ilmu yang dapat dipadukan sehingga memiliki kekuatan dan efek ganda bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada umumnya dan Sulawesi Utara pada khususnya. Oleh sebab itu olahraga pariwisata saat ini mendapat perhatian besar baik dari pihak pemerintah, swasta, industri olahraga, industri pariwisata, akademisi maupun masyarakat luas. Pertanyaannya adalah bagaimanakan olahraga dapat dikaitkan dengan pariwisata atau dengan kata lain bagaimanakah olahraga dapat dipresentasikan sebagai atraksi wisata sehingga menjadi industri olahraga pariwisata yang mendatangkan keuntungan? Sport Tourism atau Pariwisata untuk Olahraga merupakan paradigma baru dalam pengembangan pariwisata dan olahraga di Indonesia. Paradigma ini telah muncul sebelumnya yang dibuktikan dengan adanya terbitan jurnal internasional ”Sport Tourism” dan pengajaran.







BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Arah Pembangunan Keolahragaan Nasional
Dampak Penjas dan olahraga
a. Meningkatkan stabilitas sosial-psikologis.
b. Fungsi sosialisasi
c. Mempersatukan warga masyarakat yang berkelompok-kelompok sehingga melumat dan menyatu dalam tujuan bersama
d. OR kompetitif berpotensi mendorong mobilitas sosial seseorang
Masalah Dan Tantangan Dalam Pembinaan
 Tantangan Terhadap Penjas
Praktik penjas masih pembinaan skill; Status penjas masih lemah; Profesionalisme guru kurang perhatian; Visi penjas belum bersinggungan dengan upaya pemecahan masalah sosial; Alokasi biaya, waktu belum sesuai.
 Tantangan Terhadap OR Kompetitif
Investasi iptek OR amat terbatas; Penolakan inovasi karena prasangkan dan sikap tertutup dari pembina dan atlet; Pola pembinaan masih sentralisasi; Penggalian dana pembinaan terbatas (APBN atau APBD); Sponsorship hanya untuk pertandingan; Koordinasi lemah pada sub-sistem pembinaan; Munculnya agresifitas berlebihan; Doping.

Ditulis Oleh : irwansyah Hari: Senin, Juni 04, 2012 Kategori:

1 komentar:

jangan lupa komentar yah