PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hukum
diyakini sebagai alat untuk memberikan kesebandingan dan kepastian dalam
pergaulan hidup. Layaknya suatu alat, hukum akan dibutuhkan jika timbul
kebutuhan atau keadaan yang luar biasa di dalam masyarakat. Belum dianggap
sebagai tindak pidana jika suatu perbuatan tidak secara tegas tercantum di
dalam peraturan hukum pidana (Kitab undang-undang Hukum Pidana) atau ketentuan
pidana lainnya. Prinsip tersebut hingga sekarang dijadikan pijakan demi
terjaminnya kepastian hukum.
Salah
satu kejahatan yang cukup banyak terjadi di lingkungan masyarakat adalah
kejahatan pemalsuan. Pemalsuan merupakan salah satu bentuk perbuatan yang
disebut sebagai kejahatan, yaitu sebagai suatu perbuatan yang sifatnya
bertentangan dengan kepentingan hukum.sebab dan akibat perbuatan itu menjadi
perhatian dari berbagai pihak, dengan mengadakan penelitian-penelitian
berdasarkan metode ilmiah agar dapat diperoleh suatu kepastian untuk menetapkan
porsi dan klasifikasi dari kejahatan tersebut.
Tindak
pidana pemalsuan tanda tangan merupakan suatu bentuk kejahatan yang cukup
banyak dilakukan oleh masyarakat dengan atau tanpa suatu alat. Apalagi di era
modern sekarang ini, kemajuan teknologi yang semakin pesat yang dapat menunjang
pelaku kejahatan sehingga lebih mudah untuk melakukan pemalsuan tanda tangan,
salah satunya dengan menggunakan alat pemindai atau scanner.
Masalah pemalsuan tanda tangan merupakan suatu
bentuk kejahatan yang masih kurang
dipahami oleh masyarakat termasuk di dalamnya para aparat penegak hukum ,
terutama tentang akibat yang ditimbulkan dari pemalsuan tanda tangan tersebut.
Masyarakat yang kurang paham akan hal itu terkadang menganggap bahwa memalsukan
tanda tangan merupakan salah satu cara yang efektif disaat mereka terdesak oleh
waktu sedangkan mereka sangat membutuhkan tanda tangan seseorang. Mereka
mengganggap hal tersebut sebagai alasan pemaaf karena terdesak oleh waktu.
Namun hal itu justru seharusnya tidak boleh dilakukan dengan alasan apapun
karena tindakan pemalsuan tanda tangan merupakan suatu bentuk kejahatan yang
bertentangan dengan kepentingan hukum, sehingga sebab dan akibatnya dapat
merugikan individu, masyarakat dan Negara, dan dapat diancam dengan hukuman
pidana penjara.
Pemalsuan
merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur dalam Bab XII Buku II KUH.Pidana,
dimana pada buku tersebut dicantumkan bahwa yang termasuk pemalsuan hanyalah
berupa tulisan-tulisan saja, termasuk didalamnya pemalsuan tanda tangan yang
diatur dalam pasal 263 KUH.Pidana. s/d Pasal 276 KUHPidana.
Tindak
Pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUH.Pidana
(membuat surat palsu atau memalsukan surat); dan Pasal 264 (memalsukan
akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan
palsu ke dalam suatu akta otentik).
Adapun
Pasal 263 KUHPidana, berbunyi sebagai berikut:
1)
Barangsiapa
membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak,
perikatan atau pembebasan hu-tang atau yang diperuntukkan sebagai bukti
daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika
pemakaian tersebut dapat menim-bulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara paling lama enam tahun;
2)
Diancam
dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau
yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.
Sedangkan
Pasal 264 KUH-Pidana berbunyi sebagai berikut:
1)
Pemalsuan
surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan
terhadap:
1.
Akta-akta
otentik;
2.
Surat
hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya atau pun dari
suatu lembaga umum;
3.
Surat
sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari sesuatu perkumpulan,
yayasan, perseroan atau maskapai;
4.
Talon,
tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2
dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5.
Surat
kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
2)
Diancam
dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam
ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar
dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Sedangkan
Pasal 266, berbunyi sebagai berikut:
1)
Barang
siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai
sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya
sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan
kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
2)
Diancam
dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut
dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah
benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Namun,
pada kenyataannya meskipun ada banyak aturan yang mengatur mengenai kejahatan
pemalsuan tanda tangan, akan tetapi. kejahatan pemalsuan tanda tangan merupakan
salah satu kejahatan yang sulit diungkapkan atau dibuktikan, hal ini
dikarenakan tanda tangan identik dengan kepribadian seseorang. Untuk itu
diperlukan adanya suatu tempat atau sarana yang dapat membuktikan keaslian dari
tanda tangan yang diragukan tersebut.
Salah
satu upaya dalam membantu mengungkap berbagai kejahatan termasuk didalamnya
kejahatan pemalsuan tanda tangan adalah dibentuknya Laboratorium Forensik.
Laboratorium Forensik merupakan suatu lembaga yang bertugas dan berkewajiban
menyelenggarakan fungsi kriminalistik dan melaksanakan segala usaha pelayanan
serta membantu mengenai kegiatan pembuktian perkara pidana dengan memakai
teknologi dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan laboratorium forensik.
Pengetahuan
yang sejalan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan
tugas polisi sebagai penyidik adalah ilmu kedokteran kehakiman. Pelaksanaan
tugas Laboratorium Forensik meliputi bantuan pemeriksaan teknis laboratories
baik terhadap barang bukti maupun terhadap tempat kejadian perkara, serta
kegiatan-kegiatan bantuan yang lain terhadap unsur-unsur operasional
kepolisian.
Maka dari
itu peranan Laboratorium Forensik sangat penting untuk membuktikan dan
mengungkapkan bahwa telah terjadi pemalsuan tanda tangan atau tidak. Begitu
pentingnya peranan Laboratorium Forensik dalam pemeriksaan barang bukti
menunjukkan bahwa tidak semua tindak kejahatan itu dapat diungkap dari adanya
saksi hidup saja, melainkan juga dengan
adanya barang bukti.
Menurut
Adami Chazawi (2001:100), mengemukakan bahwa :
Peranan laboratorium forensik dalam
mengungkap tindak pidana pemalsuan tanda tangan memegang peranan yang sangat
penting yaitu melalui identifikasi yang meliputi identifikasi tanda tangan,
cap, termasuk pula tanda tangan dengan menggunakan cap atau stempel tanda
tangan.
Berdasarkan
uraian di atas, penulis tertarik melakukan penelitian dan membahas mengenai
hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh laboratorium forensik,dengan judul :
“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT
DENGAN MODUS PENIPUAN”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang timbul adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
penerapan
pidana materil pada tindak pidana pemalsuan surat dengan modus penipuan dalam
perkara Putusan Nomor 45/Pid.B/2009/PN.Maros ?
2. Bagaimanakah pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan
putusan perkara Nomor 45/Pid.B/2009/PN.Maros ?
C.
Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penerapan pidana
materil pidana pada tindak pidana pemalsuan surat dengan modus penipuan dalam
perkara Putusan Nomor 45/Pid.B/2009/PN.Maros ?
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim dalam perkara
Putusan Nomor 45/Pid.B/2009/PN.Maros ?
D.
Manfaat
Penelitian
1. Dari hasil penelitian ini hendaknya memberikan
pengetahuan yang lebih kepada penulis mengenai penerapan ketentuan pidana Jaksa Penuntut Umum dalam tindak pidana
pemalsuan tanda tangan dalam perkara Putusan Nomor 45/Pid.B/2009/PN.Maros.
2. Memberikan
gambaran yang jelas kepada penulis mengenai pertimbangan hukum Hakim dalam perkara Putusan
Nomor 45/Pid.B/2009/PN.Maros.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Dasar
1. Tindak pidana
Berbagai
literatur dapat diketahui, bahwa istilah tindak pidana hakikatnya merupakan
istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit
dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit
kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Beberapa yang digunakan untuk menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Istilah
tindak pidana digunakan dalam Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Rusli Efendy
(1983 : 1) mengemukakan bahwa peristiwa tindak pidana, yaitu “perbuatan yang
oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana” menjelaskan :
perkataan peristiwa pidana haruslah dijadikan serta
diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lainnya.
Sebab kalau dipakai kata peristiwa saja, hal ini dapat mempunyai arti yg lain
yg umpamanya peristiwa alamiah.
Secara
doktrinal, dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang perbuatan pidana
(Sudarto 1975 : 31-32),yaitu :
1. Pandangan
Monistis
“Pandangan
monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya
pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan”. Pandangan ini memberikan
prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan/tindak pidana
sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responbility).
Menurut D. Simons (Lamintang 1997 : 185) tindak pidana
adalah :
tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Dengan batasan
seperti ini menurut Simons (Tongat 2008 : 105), untuk adanya suatu tindak
pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun
perbuatan negatif (tidak berbuat).
2.
Diancam
dengan pidana
3.
Melawan
hukum
4.
Dilakukan
dengan kesalahan
5.
Oleh
orang yang mampu bertanggungjawab
Strafbaarfeit yang secara harfiah berarti suatu peristiwa
pidana, dirumuskan oleh Simons yang berpandangan monistis sebagai “kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana, dimana bersifat melawan hukum, yang
dapat berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab”.
Andi Zainal
Abidin (1987 : 250) menyatakan bahwa “kesalahan yang dimaksud oleh Simons
meliputi dolus (sengaja) dan culpalata (alpa, lalai) dan berkomentar sebagai
berikut :
simons mencampurkan unsur-unsur
perbuatan pidana (criminal act) yg
meliputi perbuatan serta sifat yang melawan hukum, perbuatan dan pertanggungjwaban
pidana (criminal liability) dan
mencakup kesengajaan,kealpaan dan kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab
Menurut J. Bauman (Sudarto 1975:31-32), “perbuatan/tindak
pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan
dilakukan dengan kesalahan”.
Menurut Wiryono
Prodjodikoro (Tongat 2008 :106), “tindak pidana adalah suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan pidana”.
Menurut
Prodjodikoro (1986:55) yang termasuk berpandangan monistis menerjemahkan
strafbaarfeit ke dalam tindak pidana dengan menyatakan bahwa, “suatu perbuatan
yang pada pelakunya dapat dikenakan hukuman dan pelaku tersebut termasuk subyek
tindak pidana”.
Van hammel (Andi
Zainal Abidin 1987 : 250) yang berpandangan monistis merumuskan strafbaarfeit bahwa, “perbuatan
manusia yang diuraikan oleh undang-undang melawan hukum, strafwaardig (patut
atau dapat bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en dan
schould to wijten)”
2. Pandangan
Dualistis
Berbeda
dengan pandangan monistis yang melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah
melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan monistis dalam
pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya baik criminal act maupun
criminal responbility, sedangkan menurut pandangan dualistis (Tongat 2008:
106), yaitu :
dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act, dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh
karena itu untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak
pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan/ pertanggungjawaban pidana.
Batasan
yang dikemukakan tentang tindak pidana oleh para sarjana yang menganut
pandangan dualistis yaitu sebagai berikut :
Menurut
Pompe (Sudarto 1975 : 31-32), dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain
adalah “feit (tindakan, pen), yang diancam pidana dalam ketentuan
undang-undang, sehingga sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat
mutlak untuk adanya tindak pidana”.
Menurut
Moeljatno (Sudarto 1975 : 31-32), “perbuatan pidana adalah perbuatan yang
diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut”. Dengan
penjelasan seperti tersebut.
Maka
untuk terjadinya perbuatan/tindak pidana harus dipenuhi unsur (Tongat 2008:
107) sebagai berikut:
a.
Adanya
perbuatan (manusia)
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil,
terkait dengan berlakunya pasal 1 (1) KUHPidana)
c. Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan
diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).
Moeljatno
(1983 : 54) yang berpandangan dualistis menerjemahkan strafbaarfeit dengan
perbuatan pidana dan menguraikannya sebagai, “perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum dan larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut”
Berdasarkan defenisi/pengertian perbuatan/tindak pidana
yang diberikan tersebut di atas, bahwa dalam pengertian tindak pidana tidak
tercakup pertanggungjawaban pidana (criminal
responbility).
Namun demikian, Moeljatno (Soedarto 1975 : 31-32) juga
menegaskan, bahwa “untuk adanya pidana tidak cukup hanya dengan telah
terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan apakah orang yang melakukan
perbuatan itu mampu bertanggungjawab atau tidak”.
2.
Tanda
tangan
Menurut
E. Sibarani (2000, 74) tanda tangan adalah
suatu tulisan nama atau tanda yang dibubuhkan
seseorang pada akhir sebuah dokumen sebagai suatu pengesahan dari isinya.
Keistimewaan dari suatu tanda tangan itu mempunyai kepribadian yang khas,
artinya hanya penulis saja yang tahu yang lain tidak jauh pula diartikan, bahea
tanda tangan itu menunjukkan sifat pribadi dari penulis.
Tanda
tangan mempunyai kepribadian yang khas, maksudnya bahwa selain yang mempunyai
tanda tangan itu sendiri tidak ada orang lain yang dapat meniru tanda tangannya
dengan persis dan sama. Karena tanda tangan itu berhubungan dengan kepribadian
atau kejiwaan seseorang maka bentuk tanda tangannya sampai sedemikian rupa.
Dengan kata lain terbentuknya tanda tangan seseorang tidak luput dari
pencurahan jiwa seseorang dan eksistensinya. Maka ada yang berpendapat bahwa
tanda tangan seseorang tidak luput dari si penanda tangan.
3.
Pemalsuan
Tanda Tangan
Untuk
menentukan asli atau palsu suatu tanda tangan maka diperlukan suatu pembuktian.
Pembuktian ini merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam orens
pengadilan.
Menurut
R.Subekti (1995 : 1) membuktikan adalah “ meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil atau dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan”.
Sedangkan
menurut M.Yahya Harahap (2000 : 252), bahwa pembuktian adalah:
Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarakan Undang-Undang yang boleh dipergunakan
Hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Kejahatan
pemalsuan tanda tangan ini termasuk kejahatan pemalsuan yang dimuat dalam Buku
II KUH.Pidana. menurut KUH.Pidana kejahatan pemalsuan itu dikelompokkan menjadi
4 golongan (HM. Kamaluddin Lubis, 1992 : 4) yakni:
1.
Kejahatan
sumpah palsu (Bab IX)
2.
Kejahatan
pemalsuan uang (Bab X)
3.
Kejahatan
pemalsuan materai dan merek (Bab XII)
4.
Kejahatan
pemalsuan surat (Bab XII).
Dalam
perkara pidana dikenal adanya beberapa orens pembuktian yaitu:
1.
Conviction
In time.
2.
Conviction
Raisonce
3. Pembuktian
menurut Undang-Undang secara positif.
4. Sistim
pembuktian secara orensic.
Pemalsuan
tanda tangan merupakan suatu bentuk kejahatan yang bertentangan dengan
kepentingan oren. Sehingga sebab dan akibat dari kejahatan tersebut dapat
merugikan individu, masyarakat, Negara
yang dapat diberi sanksi pidana. Dalam pelaksanaannya kejahatan tersebut
sangat sulit untuk mengungkapkannya atau membuktikannya karena kejahatan
pemalsuan tanda tangan identik dengan kepribadian seseorang.
Menurut Van
Bemmelen-Van Hatun yang dikutip oleh PAF. Lamintang (1991 : 3) merumuskan bahwa
:
Pemeriksaan dalam tulisan itu terjadi
jika sesuatu yang tidak nyata itu dianggap suatu yang nyata, walaupun rumusan
tentang palsu sebenarnya terlalu luas sehingga dapat dimasukkan juga dalam
pengertian yakni setiap perbuatan yang sifatnya menipu, akan tetapi tidak dapat
disangkal kebenarannya bahwa rumusan tentang palsu tersebut telah mempunyai
pengaruh yang cukup besar pada tulisan-tulisan dari para penulis hingga abad
XVIII. Dari beberapa kenyataan sejarah tersebut di atas, kiranya dapat
dimengerti bahwa para pembentuk Wetboek
Van Strafrecht pun telah mendapatkan kesulitan-kesulitan pada waktu
membentuk ketentuan-ketentuan pidana yang melarang pemeriksaan-pemeriksaan
tulisan ataupun yang di dalamnya Wetboek
Van Strafrecht juga disebut sebagai Valshied
in Geschriften atau pemalsuan tulisan.
Dalam
mengungkapkan kasus pidana pemalsuan tanda tangan tidak terlepas dari peranan
laboratorium orensic, karena jika dilihat sepintas tanda tangan itu sangat
identik dengan yang asli. Untuk itu bagi aparat penegak oren juga harus tahu
dan mengerti apa peranan Laboratorium orensic dalam pengungkapan kasus
pemalsuan.
Menurut
Adami Chazawi (2001 : 100), bahwa membuat surat palsu ini dapat berupa :
1.
Membuat
suatu surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan
dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut dengan pemalsuan
intelektual.
2.
Membuat
sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat
surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materiil.
Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat
surat.
Di samping isinya dan
asalnya surat yang tidak benar dari membuat surat palsu, dapat juga tanda
tangannya yang tidak benar. Hal ini dapat terjadi dalam hal misalnya :
a.
Membuat
dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada orangnya, seperti orang
yang telah meninggal dunia atau secara fiktif (dikarang-karang).
b.
Membuat
dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuannya atau tidak.
B.
Pidana dan Tujuan Pemidanaan
Sarjana
hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda
hanya dikenal dengan satu istilah untuk keduanya, yaitu straf. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam
sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah
pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.
Apakah pidana itu? Tujuan hukum pidana tidak terus
dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat
berupa tindakan-tindakan pengamanan. Pidana perlu dijatuhkan kepada terdakwa
karena telah melanggar hukum (pidana).
Pidana
dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan
suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan terdekat. Inilah
perbedaan antara pidana dan tindakan karena tindakan dapat berupa nestapa juga,
tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu
memperbaiki pembuat.
Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005 : 4) menyimpulkan
bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan
perderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2.
Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan
yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
3. Pidana
itu dikenekan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang.
Sementara itu yang dimaksud dengan pemidanaan adalah tindakan
yang diambil oleh hakim untuk memidana seorang terdakwa sebagaimana yang
dikemukakan oleh Sudarto (1997 : 36) :
Penghukuman
berasal dari kata dasar hukum , sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan
hukum atau memutuskan tentang hukumannya (berschen)
menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut hukum pidana
saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu maka tulisan ini berkisar
pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya yaitu
penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali bersinonim dengan pemidanaan
atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.
Menurut M. Sholehuddin tujuan pemidanaan harus sesuai
dengan politik hukum pidana dimana harus diarahkan kepada perlindungan
masyarakat dari kesejahtraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat/negara, korban, dan pelaku.
M. Sholehuddin (2004 : 59) mengemukakan sifat-sifat dari
unsur pidana berdasarkan atas tujuan pemidanaan tersebut, yaitu :
1.
Kemanusiaan,
dalam artian bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat
seseorang.
2. Edukatif,
dalam artian bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas
perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif
dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.
3.
Keadilan, dalam artian bahwa pemidanaan
tersebut dirasakan adil (baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun
masyarakat).
Tujuan
pemidanaan dalam hubungannya dengan usaha penaggulangan kejahatan korporasi
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penanggulangan kejahatan korporasi yang
dilakukan secara integratif melalui kebijakan penal dengan menggunakan sarana
hukum pidana dan penanggulangan kejahatan korporasi melalui kebijakan non penal
dengan menggunakan sarana selain hukum pidana (Andi Abu Ayyub Saleh, tanpa
tahun (10) : 18).
Sementara itu menurut Muladi (2004 : 11) tujuan
pemidanaan haruslah bersifat integratif, yaitu :
1.
Perlindungan
masyarakat;
2.
Memelihara
solidaritas mayarakat;
3.
Pencegahan
(umum dan khusus);
4. Pengimbalan/pengimbangan.
Dalam
masalah pemidanaan dikenal ada dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai
dari jaman Wetboek van Strafrecht (W.
v. S) Belanda sampai dengan sekarang yang diatur dalam KUHP, yaitu :
1.
Bahwa orang dipenjara harus menjalani pidananya dalam
tembok penjara. Ia harus di asingkan dari masyarakat ramai dan terpisah dari
kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka yang bebas. Pembinaan bagi
terpidana juga harus dilakukan di belakang tembok penjara.
2.
Bahwa selain
narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau
rehabilitasi/resosialisasi.
Berkaitan dengan pemidanaan, maka muncullah teori-teori
mengenai hal tersebut :
- Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien)
Teori
pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis,
seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung
unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena
dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan
pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibatkan dijatuhkan pidana kepada
pelanggar. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut. Pidana
merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi
menjadi keharusan. Hakikat
suatu pidana ialah pembalasan (Andi Hamzah, 2005 : 31).
- Teori Relatif atau Teori Tujuan (doeltheorien)
Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus
diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan,
tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat
atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi
juga pada masa depan.
Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada
hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan teori
tujuan. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepda upaya agar dikemudian
hari kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).
Teori relatif ini melihat bahwa penjatuhan pidana
bertujuan untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik dan tidak
akan melakukan kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen(Wirjono Projdodikoro, 2003 :
26) ”terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat, yaitu perbaikan yuridis,
perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.”
Perbaikan
yuridis mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan
intelektual mengenai cara berfikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya
kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar
ia menjadi orang yang bermoral tinggi.
- Teori Gabungan (verenigingstheorien)
Disamping teori absolut dan teori relatif tentang hukum
pidana, muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan
dalam hukum pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan
unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini
muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif,
kelemahan kedua teori tersebut adalah (Hermien Hadiati Koeswadji, 1995 :
11-12):
Kelemahan teori absolut :
1.
Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan
tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus
dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
2.
Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk
pembalasan, maka mengapa hanya Negara saja yang memberikan pidana?
Kelemahan teori tujuan :
1.
Dapat menimbulkan ketidak adilan pula. Misalnya untuk
mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku
kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti
saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal
mana bertentangan dengan keadilan.
2.
Kepuasan
masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki
sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan.
3. Sulit
untuk dilaksanakan dalam peraktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan
menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.
Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat
perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik
beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi
seimbang.
Yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan
dianut oleh Pompe (Andi Hamzah, 2005 : 36). Pompe menyatakan :
Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana
dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap
tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan
demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan
diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi
kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan (Andi Hamzah,
2005 : 36), ia menyatakan :
Pidana bertujuan
membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan
dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan
mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik
beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna
bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai
dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas
mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat
diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan
oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap
pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum.
Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan (Andi Hamzah, 2005
: 37).
Teori gabungan yang kedua yaitu menitik beratkan
pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada
yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang
seharusnya.
Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan
terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela,
pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah
melindungi kesejahtraan masyarakat.
Menurut Vos (Andi Hamzah, 2005 : 37) ”pidana berfungsi
sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia
sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah
berpengalaman.”
Teori
gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan pertahanan tata
tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para
sarjana (Andi Hamzah, 2005 : 37).
C.
Tindak Pidana Penipuan
1. Pengertian Tindak
Pidana Penipuan
Penipuan
berasal dari kata tipu yang berarti perbuatan atau perkataan yang tidak jujur
atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali
atau mencari keuntungan. Tindakan penipuan merupakan suatu tindakan yang
merugikan orang lain sehingga termasuk kedalam tindakan yang dapat dikenakan
hukuman pidana.
Pengertian
penipuan di atas memberikan gambaran bahwa tindakan penipuan memiliki beberapa
bentuk, baik berupa perkataan bohong atau berupa perbuatan yang dengan maksud
untuk mencari keuntungan sendiri dari orang lain. Keuntungan yang dimaksud baik
berupa keuntungan materil maupun keuntungan yang sifatnya abstrak, misalnya
menjatuhkan sesorang dari jabatannya.
Di
dalam KUHP tepatnya pada Pasal 378 KUHP ditetapkan kejahatan penipuan (oplichthing) dalam bentuk umum,
sedangkan yang tercantum dalam Bab XXV Buku II KUHP, memuat berbagai bentuk
penipuan terhadap harta benda yang dirumuskan dalam 20 pasal, yang
masing-masing pasal mempunyai nama-nama khusus (penipuan dalam bentuk khusus).
Keseluruhan pasal pada Bab XXV ini dikenal dengan nama bedrog atau perbuatan curang.
Dalam Pasal 378 KUHP yang mengatur
sebagai berikut :
Barang siapa dengan maksud hendak
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan
memakai nama palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat maupun dengan
karangan-karangan perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu
barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan,
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Berdasarkan
unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terkandung dalam rumusan Pasal 378 KUHP
di atas, maka R. Sugandhi (1980 : 396-397) mengemukakan pengertian penipuan
bahwa :
Penipuan adalah tindakan seseorang
dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan
maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak. Rangkaian kebohongan ialah
susunan kalimat-kalimat bohong yang tersusun demikian rupa yang merupakan
cerita sesuatu yang seakan-akan benar.
Pengertian
penipuan sesuai pendapat tersebut di atas tampak secara jelas bahwa yang
dimaksud dengan penipuan adalah tipu muslihat atau serangkaian perkataan bohong
sehingga seseorang merasa terperdaya karena omongan yang seakan-akan benar.
Biasanya
seseorang yang melakukan penipuan, adalah menerangkan sesuatu yang seolah-olah
betul atau terjadi, tetapi sesungguhnya perkataannya itu adalah tidak sesuai
dengan kenyataannya, karena tujuannya hanya untuk meyakinkan orang yang menjadi
sasaran agar diikuti keinginannya, sedangkan menggunakan nama palsu supaya yang
bersangkutan idak diketahui identitasnya, begitu pula dengan menggunakan
kedudukan palsu agar orang yakin akan perkataannya.
Penipuan
sendiri dikalangan masyarakat merupakan perbuatan yang sangat tercela namun
jarang dari pelaku tindak kejahatan tersebut tidak dilaporkan kepidak
kepolisan. Penipuan yang bersifat kecil-kecilan dimana korban tidak
melaporkannya membuat pelaku penipuan terus mengembangkan aksinya yang pada
akhirnya pelaku penipuan tersebut menjadi pelaku penipuan yang berskala besar.
2.
Unsur-unsur
Tindak Pidana Penipuan
Menurut
ahli hukum pidana Andi Zainal Abidin Farid (1961 : 135), bahwa unsur-unsur
tindak pidana penipiuan yang terkandung dalam Pasal 378 tesebut yaitu :
1.
Membujuk
(menggerakkan hati) orang lain untuk
2.
Menyerahkan
(afgifte) suatu barang atau supaya membuat suatu hutang atau menghapuskan suatu
hutang
3.
Dengan
menggunakan upaya-upaya atau cara-cara :
a.
Memakai
nama palsu
b.
Memakai
kedudukan palsu
c.
Memakai
tipu muslihat
d.
Memakai
rangkaian kata-kata bohong
4.
Dengan
maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum.
Sedangkan
unsur-unsur tindak pidana penipuan menurut Moeljatno (2002 : 70) adalah sebagai
berikut :
1.
Ada
seseorang yang dibujuk atau digerakkan untuk menyerahkan suatu barang atau
membuat hutang atau menghapus piutang. Barang itu diserahkan oleh yang punya
dengan jalan tipu muslihat. Barang yang diserahkan itu tidak selamanya harus
kepunyaan sendiri, tetapi juga kepunyaan orang lain.
2.
Penipu
itu bermaksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain tanpa hak.
Dari maksud itu ternyata bahwa tujuannya adalah untuk merugikan orang yang
menyerahkan barang itu.
3.
Yang
menjadi korban penipuan itu harus digerakkan untuk menyerahkan barang itu
dengan jalan :
a.
Penyerahan
barang itu harus akibat dari tindakan tipu daya.
b.
Sipenipu
harus memperdaya sikorban dengan satu akal yang tersebut dalam Pasal 378 KUHP.
Sebagai
akal penipuan dalam Pasal 378 KUHP mengatur bahwa :
1.
Menggunakan
akal palsu
Nama palsu adalah nama yang berlainan dengan
nama yang sebenarnya, meskipun perbedaaan itu tampak kecil, misalnya orang yang
sebenarnya bernama Ancis, padahal yang sebenarnya adalah orang lain, yang
hendak menipu itu mengetahui, bahwa hanya kepada orang yang bernama Ancis orang
akan percaya untuk memberikan suatu barang. Supaya ia mendapatkan barang itu,
maka ia memalsukan namanya dari Anci menjadi Ancis. Akan tetapi kalau sipenipu
itu menggunakan nama orang lain yang sama dengan namanya sendiri, maka ia tidak
dikatakan menggunakan nama palsu tetapi ia tetap dipersalahkan.
2.
Menggunkan
kedudukan palsu
Seseorang yang dapat dipersalahkan menipu
dengan menggunakan kedudukan palsu, misalnya : X menggunakan kedudukan sebagai
pengusaha dari perusahaan P, padahal ia sudah diberhentikan, kemudian
mendatangi sebuah toko untuk dipesan kepada toko tersebut, dengan mengatakan
bahwa ia X disuruh oleh majikannya untuk mengambil barang-barang itu. Jika toko
itu menyerahkan barang-barang itu kepada X yang dikenal sebagai kuasa dari
perusahaan P, sedangkan toko itu tidak mengetahuinya, bahwa X dapat
dipersalahkan setelah menipu toko itu dengan menggunakan kedudukan palsu.
3.
Menggunakan
tipu muslihat
Yang dimaksud dengan tipu muslihat adalah
perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan gambaran peristiwa yang sebenarnya
dibuat-buat sedemikian rupa sehingga kepalsuan itu dapat mengelabui orang yang
biasanya hati-hati.
4.
Menggunakan
susunan belit dusta
Kebohongan itu harus sedemikian rupa
berbelit-belitnya sehingga merupakan suatu atau seluruhnya yang nampaknya
seperti benar dan tidak mudah ditemukan di mana-mana.
Tipu
muslihat yang digunakan oleh seorang penipu itu harus sedemikian rupa, sehingga
orang yang mempunyai taraf pengetahuan yang umum (wajar) dapat dikelabui. Jadi
selain kelicikan penipu, harus pula diperhatikan keadaan orang yang kena tipu itu.
Tiap-tiap kejahatan harus dipertimbangkan dan harus dibuktikan, bahwa tipu
muslihat yang digunakan adalah begitu menyerupai kebenaran, sehingga dapat
dimengerti bahwa orang yang ditipu sempat percaya. Suatu kebohongan saja belum
cukup untuk menetapkan adanya penipuan. Bohong itu harus disertai tipu muslihat
atau susunan belit dusta, sehingga orang percaya kepada cerita bohong itu.
Unsur-unsur
tindak pidana penipuan juga dikemukakan oleh Togat (Moeljatno, 2002 : 72),
sebagai berikut :
1.
Unsur
menggerakkan orang lain ialah tindakan-tindakan, baik berupa
perbuatan-perbuatan mupun perkataan-perkataa yang bersifat menipu.
2.
Unsur
menyerahkan suatu benda. Menyerahkan suatu benda tidaklah harus dilakukan
sendiri secara langsung oleh orang yang tertipu kepada orang yang menipu. Dalam
hal ini penyerahan juga dapat dilakukan oleh orang yang tertipu itu kepada
orang suruhan dari orang yang menipu.
Hanya dalam hal ini, oleh karena unsur
kesengajaan maka ini berarti unsur penyerahan haruslah merupakan akibat
langsung dari adanya daya upaya yang dilakukan oleh si penipu.
3.
Unsur
memakai nama palsu. Pemakaian nama palsu ini akan terjadi apabila seseorang
menyebutkan sebagai nama suatu nama yang bukan namanya, dengan demikian
menerima barang yang harus diserahkan kepada orang yang namanya disebutkan
tadi.
4.
Unsur
memakai martabat palsu. Dengan martabat palsu dimaksudkan menyebutkan dirinya
dalam suatu keadaan yang tidak benar dan yang mengakibatkan si korban percaya
kepadanya, dn berdasarkan kepercayaan itu ia menyerahkan suatu barang atau
memberi hutang atau menghapus piutang.
5.
Unsur
memakai tipu muslihat dan unsur rangkaian kebohongan. Unsur tipu muslihat
adalah rangkaian kata-kata, melainkan dari suatu perbuatan yang sedemikian
rupa, sehingga perbuatan tersebut menimbulkan keprcayaan terhadap orang lain.
Sedangkan rangkaian kebohongan adalah
rangkaian kata-kata dusta atau kata-kata yang bertentangan dengan kebenaran
yang memberikan kesan seolah-olah apa yang dikatakan itu adalah benar adanya.
Berdasarkan
semua pendapat yang telah dikemukakan tersebut di atas, maka seseorang baru
dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana penipuan sebagai mana dimaksud
dalam Pasal 378 KUHP, apabila
unsur-unsur yang disebut di dalam pasal tersebut telah terpenuhi, maka
pelaku tindak pidana penipuan tersebut dapat dijatuhi pidana sesuai
perbutannya.
D.
Pemalsuan
Tanda Tangan Merupakan Kejahatan Yang Diancam Pidana
Secara
yuridis pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang
bertentangan dengan Undang-undang untuk dapat melihat apakah perbuatan itu
bertentangan dengan Undang-undang itu haruslah diciptakan terlebih dahulu
sebelum adanya perbuatan pidana. Sedangkan penjahat adalah seseorang yang
melanggar peraturan-peraturan atau undang-undang pidana dan dinyatakan bersalah
oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman (Ridwan dan Adimarwan, 1994 : 72).
Bukanlah
berarti semua perbuatan yang melawan hukum yang sifatnya merugikan masyarakat
dapat disebut perbuatan pidana. Jadi dalam hal ini suatu perbuatan kejahatan
atau pidana haruslah terlebih dahulu sudah ada aturan yang menetapkannya, dan
juga terdapat pelanggaran terhadap aturan tersebut dapat dikenakan sanksi hukum
pidana.
Suatu
perbuatan baru dapat dikatakan perbuatan jahat jika telah memenuhi unsur-unsur
yang telah dirumuskan di dalam ketentuan-ketentuan pengertian kejahatan
tersebut. Dalam hal ini Van Hamel (Ridwan dan Adimarwan, 1994 : 84) menyatakan
bahwa peristiwa pidana harus mengandung beberapa unsur, yakni :
a.
Suatu perbuatan manusia (menselijkehandeling), dengan handeling
dimaksudkan tidak “een doen”
(berbuat), akan tetapi juga “een natalen”
(mengabaikan).
b.
Perbuatan itu (doe en natalen) dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang.
c.
Perbuatan itu harus dilakukan oleh orang
yang dapat dipertanggung jawabkan; artinya dapat dipersalahkan karena melakukan
perbuatan tersebut.
Dalam
kehidupan bermasyarakat dikenal norma-norma kehidupan yang tidak boleh dan
tindakan yang harus dilaksanakan. Apabila seseorang melanggarnya maka kepada si
pelaku dikenakan sanksi atas perbuatannya.
Sesuai
dengan perkembangan yang dialami manusia maka norma-norma tadi terdiri dari
bentuk tidak tertulis yang dikenal dengan kebiasaan atau hukum adat di
indongesia, dan bentuk tertulis dengan Undang-undang yang didasarkan kepada
masalah yang diaturnya.
Dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) dijumpai jenis-jenis perbuatan
yang dilarang dan perbuatan yang dilarang ini yang disebut dengan tindak
pidana.
Menurut
KUHPidana, tindak pidana itu terdiri dari dua bagian yaitu tindak pidana yang
disebut sebagai kejahatan, diatur dalam Buku II KUHPidana, dan tindak pidana
yang disebut dengan pelanggaran diatur dalam Buku III KUHPidana.
Kejahatan pemalsuan
tanda tangan termasuk dalam kejahatan memalsukan surat-surat yang diatur dala
pasal 253 KUHPidana.
Pasal 253
KUHPidana :
1.
Barang
siapa meniru atau memalsukan materai-materai yang dikeluarkan oleh atau atas
nama pemerintah Indonesia, ataupun jika untuk sahnya materai tersebut
diisyaratkan adanya suatu tanda tangan, meniru atau memalsukan tanda tangan
tersebut, dengan maksud untuk mempergunakan atau menyuruh mempergunakan sebagai
materai-materai yang asli dan tidak dipalsukan atau sebagai materai-materai
yang sah.
2.
Barang
siapa dengan maksud yang sama membuat materai-materai seperti itu dengan
mempergunakan cap-cap yang asli secara melawan hukum.
Tindak
pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 253
angka 1 KUHPidana tersebut di atas itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
a. Unsur
Subjektif : dengan maksud untuk
mempergunakan atau menyuruh mempergunakannya sebagai materai-materai yang asli
dan tidak dipalsukan atau sebagai materai-materai yang sah.
b. Unsur
Obyektif :
1. Barang
siapa
2. Meniru
3. Materai-materai
yang dikeluarkan oleh atau atas nama pemerintah Indonesia
4. Jika
untuk sahnya materai tersebut diisyaratkan adanya suatu tanda tangan, meniru
memalsukan tanda tangan tersebut.
Pemalsuan
tanda tangan melanggar Pasal 263 KUHPidana. Adapun bunyi dari Pasal 263
KUHPidana berbunyi :
1.
Barang
siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu
hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang
boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan,dengan maksud akan
menggunakan atau menyuruh orang lan menggunakan surat-surat itu seolah-olah
surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat
mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman
penjara selama-lamanya enam tahun.
2.
Dengan
hukuman serupa itu juga dihukum, barang siapa dengan sengaja menggunakan surat
palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu palsu dan tidak
dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangakan suatu kerugian.
Unsur-unsur
Pasal 263 KUHPidana di atas :
1. Seorang
(atau lebih) melakukan perbuatan
2. Perbuatan
mana membuat surat palsu atau memalsukan surat
3. Akibat
perbuatan itu :
a. Menimbulkan
suatu hak
b. Sesuatu
perjanjian yang menimbulkan kewajiban atau pembebasan utang.
c. Dapat
dipergunakan menerangkan suatu perbuatan
4. Untuk
menimbulkan akibat perbuatan itu baik dilakukan sendiri dan/atau menyuruh orang
lain.
5. Surat
tersebut seolah-olah asli tidak dipalsukan
Akibat unsur-unsur di atas terpenuhi dalam
tindakan seseorang, maka tindakannya itu disebut pemalsuan surat yang pelakunya
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun.
Dalam KUHPidana tidak ada secara khusus
ketentuan yang disebutkan : “Barang siapa memalsukan tanda tangan…”, tetapi
dengan membubuhkan dan menginterprestasikannya bahwa dalam lingkup pemalsuan
surat ini, termasuk dengan pemalsuan tanda tangan.
E. Hal
Yang Di Pertimbangkan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
Aspek
“pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan”
merupakan konteks penting dalam putusan hakim.Hakekatnya pada pertimbangan
yurudis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestanddelen)
dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan
sesuai dnegan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dapat
dikatakan lebih jauh bahwasanya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara
langsung akan berpengaruh besar terhadap amar/dictum putusan hakim.
Lazimnya,
dalam praktik peradilan dalam putusan hakim sebelum “pertimbangan-pertimbangan
yuridis” ini dibuktikan dan dipertimbangkan maka hakim terlebih dahulu akan
menarik “fakta-fakta dalam persidangan” berorientasi pada dimensi tentang: locus dan tempus delicti, modus operandi bagaimanakah tindak pidana tersebut
dilakukan, penyebab atau latar belakang mengapa terdakwa sampai melakukan
tindak pidana, kemudian bagaimanakah akibat langsung dan tidak langsung dari
perbuatan terdakwa dalam melakukan tindak pidana, dan sebagainya.
Selanjutnya,
setelah “fakta-fakta dalam persidangan” tersebut diungkapkan, pada putusan
hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur (bestanddelen) dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh
jaksa/penuntut umum. Sebelum mempertimbangkan unsure-unsur (bestanddelen) tersebut, menurut praktik lazimnya
dipertimbangkan tentang hal-hal bersifat korelasi antara fakta-fakta, tindak
pidana yang didakwakan, dan unsur kesalahan terdakwa .
Pada
hakikatnya, dalam pembuktian terhadap pertimbangan-pertimbangan yuridis dari
tindak pidana yang didakwakan maka majelis hakim haruslah menguasai mengenai
aspek teoretik dan praktik, pandanga doktrina yurisprudensi, dan kasus poisisi
yang sedang ditangani, kemudian secara limitatif menetapkan “pendiriannya”.
Dalam
putusan hakim suatu tanggapan dan pertimbangan tersebut dibuat dalil,
terperinci dan substansial terhadap kasus pembuktian yang pelik, dimana
terdakwa/penasehat hukum tidak sependapat dengan tuntutan pidana dan
sebagainya. Jadi, singkat dan konkretnya harus diterapkan tanggapan dan
pertimbangan tersebut kasuistik sifatnya.
Perihal
“penegasan tentang tindak pidana yang terbukti/tidak terbukti dilakukan oleh
terdakwa “ esensial sifatnya. Dalam pertimbangan pada putusan hakim, apabila
unsure-unsur (bestanddelen) tindak
pidana yang didakwakan telah terbukti, lazimnya putusan hakim, redaksionalnya
dapat berupa kalimat: “Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan….melanggar Pasal….telah trebukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum maka terdakwa haruslah dujatuhkan hukuman yang sepadan
dengan perbuatannya.”
Sedangkan
apabila terhadap unsur-unsur (bestanddelen) dari tindak pidana yang didakwakan tidak
terbukti, haruslah ada pernyataan hakim dalam putusan agar terdawa dibebaskan
dari dakwaan. MIsalnya, terhadap aspek ini dapat kita ambil contoh dengan
redaksional kalimatnya sebagai berikut, yaitu: “Menimbang, bahwa berdsarkan
pertimbangan-pertimbangan angka … sampai dengan … di atas maka majelis
berkesimpulan bahwa unsure ad.b ini tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum dan unsur berikutnya tidak perlu dipertimbangkan lagi sehinga
terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair.”
Kemudian
setelah pencantuman unsur-unsur tersebut di atas, lazimnya dalam praktik pada
putusan hakim selanjutnya langsung dipertimbangkan “hal-hal yang memberatkan”
dan “hal-hal yang meringankan”. Kalau kita mencermati KUHP, maka adapun alasan-alasan
yang meringankan beratnya hukuman dalam KUHP adalah percobaan, membantu dan
belum dewasa. Alasan-alasan yang memberatkan hukuman dalam KUHP adalah
kedudukan sebagai jabatan, recidive dan samenloop (www.legalitas.org).
Alasan-alasan yang mengurangi beratnya hukuman di luar
KUHP adalah terdakwa tidak berbelit-belit dalam memberi keterangan, mengakui
dan menyesali kesalahan, dan baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Alasan-alasan yang menambah beratnya hukuman di luar KUHP adalah terdakwa tidak
jujur dan berbelit-belit, tidak mengakui kesalahannya, perbuatannya keji dan
tidak berperikemanusiaan serta pernah melakukan tindak pidana sebelumnya
(www.legalitas.org)
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Lokasi
Penelitian
Untuk dapat menjawab rumusan masalah, maka penulis
melakukan penelitian pada Pengadilan Negeri Maros.
B.
Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan data
dilakukan dengan cara :
- Observasi, yaitu suatu bentuk penelitian dengan mengadakan pengamatan langsung pada instansi yang terkait.
- Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab langsung, tipe pertanyaan teratur dan tersruktur. Wawancara ini ditujukan kepada informan dari pihak Laboratorium Forensik Cabang Makassar
C.
Jenis
dan Sumber Data
Adapun jenis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif yang
bersumber dari :
- Data Primer, yaitu data yang diperoleh dengan mengadakan pengamatan, wawancara langsung dengan para informan di dalam instansi yang bersangkutan terkait langsung dengan penelitian yang dilakukan.
- Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bentuk laporan dan bahan dokumen tertulis lainnya seperti Undang-undang, arsip data dari instansi yang bersangkutan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan pembahasan dalam penelitian ini.
D.
Analisis
Data
Data yang diperoleh
baik primer maupun sekunder diolah terlebih dahulu kemudian dianalisis secara
kualitatif dan disajikan secara deskripsi yaitu
menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang
erat kaitannya dengan penelitian ini, kemudian
menarik suatu kesimpulan berdasarkan analisis yang telah dilakukan.
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Penerapan Pidana
Materil Pada Tindak Pidana Pemalsuan Surat Dalam Perkara Putusan Nomor
45/Pid.B/2009/PN.Maros.
Berbicara mengenai penerapan
pidana, tentunya kita tidak akan lepas dari teori pertanggungjawaban pidana.
Terdapat dua pandangan mengenai hal tersebut, yaitu pandangan monistis dan
dualistis. Menurut pandangan monistis, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana
mencakup unsur perbuatan yaitu terdapat unsur melawan hukum dari perbuatan
tersebut yang biasa disebut unsur objektif dan unsur pembuat yaitu terdapat
kesalahan pada pembuat tersebut yang biasa disebut dengan unsur subjektif. Dari
pandangan monistis tersebut dapat disimpulkan bahwa jika telah terjadi delik,
maka pelakunya dapat dipidana, jadi pertanggungjawaban pidana menurut aliran
monistis sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana.
Sementara itu,
menurut pandangan dualistis mengenai pertanggungjawaban pidana, dimana
pandangan ini memisahkan antara unsur perbuatan (unsur objektif) dengan unsur
pembuat (unsur subjektif). Pandangan dualistis menyatakan bahwa unsur perbuatan
hanya menyangkut unsur delik, sementara dalam hal pertanggungjawaban pidana
terdapat pada unsur pembuat. Seseorang hanya dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana apabila terdapat kesalahan pada pembuatnya artinya
seseorang bukan dimintakan pertanggungjawaban pidana atas sifat melawan hukum
dari perbuatannya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana hanya melekat
pada unsur subjektif, yaitu unsur pembuat atau dengan kata lain, meskipun telah
terjadi delik akan tetapi pembnuatnya tidak mempunyai kesalahan maka tidak
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Sehubungan dengan
adanya dua pendapat mengenai pertanggungjawaban pidana tersebut, maka penulis
sependapat dengan penganut aliran dualistis yang memisahkan antara unsur
objektif (delik/tindak pidana) dengan unsur subjektif (pertanggungjawaban). Hal
ini juga sejalan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
memberi kemudahan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yang
tidak dapat dijatuhkan pidana jika salah satu unsur subjektif
(pertanggungjawaban pidana) tidak terpenuhi maka amar putusan tersebut adalah
bebas (Vrijspraak).sesuai dengan
Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang menentukan:
(1) Jika pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas
dari segala tuntutan hukum.
Untuk
memidanakan seseorang yang dinyatakan melakukan kejahatan haruslah memenuhi
syarat-syarat atau ketentuan pemidanaan sebagaimana diatur dalam undang-undang,
dalam hal ini hukum pidana. Penulis telah menjelaskan mengenai unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana sehingga apabila salah satu unsur tindak pidana tidak
terpenuhi, maka seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Berikut
penulis akan menguraikan posisi kasus
dan dakwaan Penuntut Umum dalam Putusan Nomor 45/Pid.B/2009/PN.Maros:
1.
Posisi Kasus :
Bahwa ia terdakwa
NAJAMUDDIN, SH BIN MUH. SALEH pada bulan Mei 2008, sampai dengan bulan agustus
2008 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2008 bertempat di
ruangan kantor Bagian Hukum Pemerintah Daerah Kab. Maros atau setidak-tidaknya
di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Maros,
melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing ada hubungannya sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut/diteruskan, dengan
sengaja membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat meimbulkan suatu
hak, perikatan atau pembebasan utang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari
pada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
surat tersebut seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, sehingga
menimbulkan kerugian bagi Bupati Maros.
2.
Dakwaan Penuntut Umum :
A.
Kesatu
Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
Barang siapa membuat surat palsu atau
memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan
hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut
dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama enam tahun.
-
Bahwa terdakwa pada awalnya menawarkan
Pembuatan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan Tenaga Kerja Kontrak pada Lingkup
Pemerintah Kab. Maros dengan cara selain memasukkan langsung nama dalam
lampiran SK yang dibuat terdakwa diantaranya memasukkan nama saksi RACHMAT
TAUFIQ, ST Bin MANSYUR AHMAD, terdakwa juga mendatangi saksi Hj. SULEHA
SEHUDDIN, MM, saksi AHMAD SIBE, saksi PAHYANA Binti HABIB, saksi Drs. AHMAD
TAJUDDIN Bin H. TAJUDDIN, saksi ABU BAKAR ZAELANI Bin MANSYUR ACHMAD, saksi
ABD. KADIR, S,pt. Bin H. MUSTAFA, saksi AHMAD S.Ag Bin H. ABDURRAHMAN, dan
beberapa nama yang tersebut dalam Surat Keputusan Bupati Maros yang dibuat
terdakwa dengan cara di Scan (sebagaimana terlampir dalam berkas perkara
Penyidik Polres Maros Nomor : BP/11/II/2009/Reskrim tanggal 16 Februari 2009);
-
Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana
tersebut diatas, terdakwa kemudian membuat Surat Keputusan Pengangkatan Tenaga
Kerja Kontrak pada lingkup Pemerintah
Kab. Maros yang diberlakukan surut, masing-masing : SK Bupati Maros Nomor :
373/KPTS/8141X/2005 tanggal 06 Oktober 2005, yang Lampiran Keputusan tersebut
tercantum nama Keponakan saksi Dra. Hj. SULEHA SEHUDDIN, MM, bernama A.
LAGALIGO dengan penempatan sebagai staf pada kantor Lurah Cempaniga Kec. Camba
Kab. Maros dan Keponakan Saksi Ora. INDRIATI Binti IDRUS yang bernama ARFINA
dengan penempatan sebagai staf pada Badan Kesban dan Linmas Kab. Maros dengan
beberapa nama dalam lampiran Surat Keputusan tersebut. Yang dalam Lampiran
Keputusan tersebut tercantum nama saksi AHMAD SIBE, dengan Penempatan sebagai
staf pada Kantor Camat Simbang Kab. Maros dan nama saksi PAHYANA Binti HABIB,
dengan penempatan sebagai staf pada sekretariat KPU Kab. Maros, DARMAWATI (Istri
dari saksi Drs. Ahmad Tajuddin Bin H. Tajuddin) dengan penempatan sebagai staf
pada Dinas Tata Ruang Dan Pemukiman Kab. Maros, Ika Pratiwi Sehuddin (anak
saksi Dra. Hj. Suleha Sehuddin, MM) dengan penempatan sebagai staf pada Badan
Kesbang dan Linmas Kab. Maros, Muh. Rusli
(keponakan saksi Drs. Ahmad Tajuddin Bin H. Tajuddin) dengan penempatan
sebagai staf Kantor Lurah Bontoa Kec. Mandai Kab. Maros, Abd. Kadir, S.Pt. Bin
H. Mustafa, dengan penempatan sebagai staf pada Badan Kesbang dan Linmas Kab.
Maros, Abu Bakar Zaelani Bin Mansyur Achmad, saksi Nurdaya Binti H. Gau Tompo
(Ipar saksi Abu bakar Zaelani Bin Mansyur Achmad) dan saksi Rachmat Taufiq, ST.
Bin Mansyur Ahmad dengan penempatan masing-masing sebagai staf pada Badan
Pengawasan Daerah Kab. Maros, Nurlina (Keponakan saksi Ahmad S.Ag Bin H.
Abdurrahman) dengan penempatan sebagai Guru SD Inpres No. 49 Sanggalea Kec.
Turikale Kab. Maros. Yang kesemua SK tersebut tentang pengangkatan Tenaga
Kontrak Kerja pada Lingkup Pemerintah Kab. Maros. Bahwa selain Surat Keputusan
tersebut diatas terdakwa juga membuat SK Bupati Maros yang juga diberlakukan
surut yaitu SK Bupati Maros Nomor : 414.A/KPTS/814/XI/2005 tanggal 22 November
2005 menyangkut mutasi saksi Irma Suryani Binti Drs. H. Syarifuddin, AS dari staf
Pemdes Maros ke bagian Ekonomi Pemkab. Maros,
SK Bupati Maros Nomor: 57/KPTS/814/2004 tanggal 28 januari 2004 tentang
Pengangkatan Tenaga Kontrak Kerja Pada Lingkup Pemerintah Kab. Maros untuk
saksi M. Aslam Sulaeman Bin Sulaeman selaku operator Komputer dan SK Bupati
Maros Nomor : 284.A/KPTS/814/2004 tanggal 28 Mei 2004 dengan menempatkan saksi
Lis Rahayu Fitri Binti H. Made pada Badan Pengelola Rumah Sakit Salewangang;
-
Bahwa terdakwa membuat Surat Keputusan Bupati
Maros sebagaimana telah disebutkan diatas, dengan cara terlebih dahulu
mengambil tanda tangan Bupati Maros yang asli kemudian melakukan scan dan
memasukkannya ked ala flash disck merk FC buatan cina dan Komputer yang
terdapat didalam ruangan Kantor Bagian Hukum Pemerintah Kab. Maros, setelah tanda
tangan Bupati Maros berada didalam Komputer maupun Flash Disck kemudian
terdakwa membuat Surat Keputusan Bupati Maros Dengan Mengetik/Memasukkan
nama-nama, tempat dan tanggal lahir dan penempatan kedalam daftar Lampiran
Surat Keputusan Bupati Maros, Selanjutnya pada kolom nama Bupati Maros terdakwa
langsung tempatkan tanda tangan Bupati yang telah discan kemudian diprint dan
diperbanyak dengan cara foto copy setelah terdakwa member cap Bupati Maros
dengan menggunakan stempel yang dibuat sendiri oleh terdakwa (bukan stempel
yang dipergunakan pada Bagian Umum Kantor Pemkab Maros), selanjutnya terdakwa
menyerahkan SK tersebut kepada orang yang namanya tercantum dalam Surat
Keputusan Bupati tersebut;
-
Bahwa sehubungan dengan terbitnya beberapa
naskah Keputusan Bupati Maros yang dibuat terdakwa dengan cara discan. Bupati
Maros mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 800/6421set tanggal 24 November 2008
yang pada pokoknya menyatakan Surat Pengangkatan Guru, Tenaga Kontrak, pegawai
harian LIngkup Pemerintah Kab. Maros yang telah dibuat oleh terdakwa serta
naskah-naskah lainnya yang serupa dengan itu jika masih ada yang belum
ditemukan dan yang tidak sesuai dengan prosedur, dianggap tidak pernah ada,
tidak sah dan tidak berlaku;
-
Bahwa berdasarkan hasil laporan pemeriksaan
Laboratoris Kriminalistik POLRI Laboratorium Forensik Cabang Makassar dengan
nomor sebagai berikut : No.Lab : 866/DTFIXII/2008 tanggal 18 Desember 2008 yang
ditanda tangani oleh Drs.Samir,SSt.Mk, Anno Soembolo,Amd, dan Ardani A.
Setyawan A,md memberikan kesimpulan: Tanda tangan bukti QT1 sId QT3 adalah
tanda tangan tidak asli dan merupakan hasil cetak foto copy. Cap stempel bukti
(QCS1 sId QCS3 non identik dengan cap stempel pembanding (KCS) atau dengan kata
lain cap stempel Bupati Maros pada dokumen bukti (QCS1 sId QCS3) dengan cap
stempel dokumen pembanding (KCS) adalah merupakan produk cap stempel yang
berbeda No lab. : 141/DTF/II/2009 tanggal 27 Februari 2009 yang ditandatangani
Oleh Drs.Samir,SSt.Mk. dan Ardani A Setyawan A,Md memberikan kesimpulan: tanda
tangan bukti QT1 sId QT14 adalah tanda tangan tidak asli dan merupakan hasil
cetak foto copy. Cap stempel bukti (QCS1 s/d QCS14 non identik dengan cap
stempel pembanding (KCS) atau dengan kata lain Tanda tangan Bupati Maros pada
dokumen bukti (QCS1 s/d QCS14) dengan cap stempel dokumen pembanding (KCS)
adalah merupakan produk yang berbeda;
-
Bahwa akibat perbuatan terdakwa Bupati Maros
merasa keberatan dan melalui Tim Verifikasi Pemkab. Maros melaporkan perbuatan
terdakwa tersebut kepada Kepolisian Resor Kota Maros;
B.
Kedua
Pasal 378 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan
tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun
menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
-
Bahwa ia terdakwa Najamuddin, SH Bin Muh.
Saleh pada bulan Agustus 2008 dan bulan September 2008 atau pada waktu-waktu
lain dalam tahun 2008 pada beberapa tempat yaitu di rumah terdakwa, di rumah
saksi Dra. Hj. Suleha Sehuddin,MM, di kantor Kantor Badan Kesbang dan Linmas
Kab. Maros, di rumah saksi Drs. Ahmad Tajuddin Bin H. Tajuddin, di rumah saksi
Abd. Kadir, S.Pt Bin H. Mustafa, di rumah saksi Ahmad S.Ag Bin H. Abdurrahman
atau setidak-tidaknya di suatu tempat
lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Maros, Melakukan
beberapa perbuatan yang masing-masing ada hubungannya sedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut/diteruskan, dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakkan orang lain yaitu saksi dan beberapa nama yang
tercantum dalam SK Bupati Maros Palsu yang dibuat oleh terdakwa untuk
menyerahkan sesuatu barang kepadanya berupa sejumlah uang, atau supaya member
utang maupun menghapus piutang, yang dilakukan terdakwa dengan cara-cara
sebagai berikut :
-
Bahwa terdakwa pada awalnya menawarkan
pembuatan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan Tenaga Kontrak Kerja pada Lingkup
Pemerintah Kab. Maros dengan cara mendatangi para saksi, dengan mengatakan
“siapa yang mau dibuatkan SK Pengangkatan Tenaga Kontrak Kerja, dimana dan
dengan SK tersebut akan dimasukkan dalam database Kepegawaian dan selanjutnya
diangkat menjadi CPNS”;
-
Bahwa pada bulan September 2008 bertempat di
rumah terdakwa, terdakwa memberikan Surat Keputusan Bupati Maros No:
374/KPTS/814/2005 tanggal 06 Oktober 2005 tentang pengangkatan tenaga kontrak
kerja pada Pemkab. Maros kepada saksi Ahmad Sibe dengan penempatan sebagai staf
pada Dinas Pendidikan Kab. Maros, yang sebelumnya dengan SK yang sama saksi
Ahmad Sibe ditempatkan sebagai staf pada kantor Camat Simbang Kab. Maros namun ditolak oleh
Ferdiansyah, AP Bin M. Yattas Rahmat yang pada saat itu menjabat sebagai Camat
Simbang, dan setelah SK diterima oleh saksi Ahmad Sib terdakwa meminta dana
kepengurusan SK tersebut Kepada saksi dan oleh saksi Ahmad Sibe memberikan dana
sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah);
-
Bahwa pada bulan September 2008 bertempat di
rumah terdakwa, terdakwa memberikan Surat Keputusan Bupati No:
374/KPTS/814/2005 tanggal 06 Oktober 2005 tentang pengangkatan tenaga kontrak
kerja pada pemerintah Kab. Maros kepada saksi Pahyana Binti Habib ditempatkan
sebagai staf pada secretariat KPU Kab. Maros namun ditolak untuk melaksanakan
tugas pada kantor KPU tersebut, dan setelah SK diterima oleh saksi, terdakwa
meminta dana kepengurusan SK tersebut kepada saksi Pahyana dan oleh saksi
memberikan dana sebesar Rp. 2.000.000,-(dua juta rupiah);
-
Bahwa pada bulan Agustus 2008 bertempat di rumah
saksi Ora. Hj. Suleha Sehuddin, MM, terdakwa memberikan SK Bupati No: 374/KPTS/814/X/2005 tanggal 06
Oktober 2005, yang dalam Lampiran Keputusan tersebut tercantum nama Ika Pratiwi
Sehuddin (anak saksi Ora. Hj. Suleha Sehuddin ,MM) dengan penempatan sebagai
staf pada Badan Kesbang dan Linmas Kab. Maros dan setelah Sk diterima oleh
saksi, terdakwa meminta dana kepengurusan SK tersebut Kepada saksi dan oleh
saksi Hj. Suleha Sehuddin , MM memberikan dana sebesar Rp. 1.000.000,-(satu
juta rupiah);
-
Bahwa pada bulan Agustus 2008 bertempat di
kantor Badan Kesbang dan Linmas Kab. Maros, terdakwa memberikan SK Bupati No: 374/KPTS/814/X/2005 tanggal 06
Oktober 2005, yang dalam Lampiran Keputusan tersebut tercantum nama Arfina
(keponakan saksi Ora. Indriati Binti Idrus) dengan penempatan sebagai staf pada
Badan Kesbang dan Linmas Kab. Maros dan setelah Sk diterima oleh saksi,
terdakwa meminta dana kepengurusan SK tersebut Kepada saksi dan oleh saksi Hj.
Suleha Sehuddin , MM memberikan dana sebesar Rp. 200.000,-(dua ratus ribu
rupiah);
-
Bahwa pada bulan Agustus 2008 bertempat di
rumah saksi Drs. Ahmad Tajuddin Bin H. Tajuddin, terdakwa memberikan SK Bupati No: 374/KPTS/814/X/2005 tanggal 06
Oktober 2005, yang dalam Lampiran Keputusan tersebut tercantum nama Darmawati
(istri saksi Drs. Ahmad Tajuddin Bin H. Tajuddin) dengan penempatan sebagai
staf pada Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Kab. Maros dan SK Bupati No:
374/KPTS/814/X/2005 tanggal 06 Oktober 2005, tercantum nama Muh. Rusli
(keponakan saksi Drs. Ahmad Tajuddin Bin H. Tajuddin) terdakwa meminta dana
kepengurusan SK tersebut Kepada saksi dan oleh saksi Drs. Ahmad Tajuddin Bin H.
Tajuddin memberikan dana sebesar Rp. 300.000,-(tiga ratus ribu rupiah);
-
Bahwa pada bulan Agustus 2008 bertempat di
rumah saksi Abd. Kadir, S.Pt Bin H. Mustafa, terdakwa memberikan SK Bupati No: 374/KPTS/814/X/2005 tanggal 06
Oktober 2005, yang dalam Lampiran Keputusan tersebut tercantum nama saksi Abd.
Kadir, S.Pt Bin H. Mustafa dengan penempatan sebagai staf pada Badan Kesbang
dan Linmas Kab. Maros dan setelah SK diterima Oleh saksi terdakwa meminta dana
kepengurusan SK tersebut Kepada saksi dan oleh saksi Abd. Kadir, S.Pt Bin H.
Mustafa memberikan dana sebesar Rp. 8.000.000,-(delapan juta rupiah) melalui
Pro Fatma dan telah dikembalikan oleh terdakwa bersama Pro Fatma sebesar Rp.
4.000.000,-(empat juta rupiah);
-
Bahwa pada bulan Agustus 2008 bertempat di
rumah saksi Ahmad S.Ag Bin H. Abdurrahman, terdakwa memberikan SK Bupati No: 374/KPTS/814/X/2005 tanggal 06
Oktober 2005, yang dalam Lampiran Keputusan tersebut tercantum nama Hapsah
(istri saksi Ahmad S.Ag Bin H. Abdurrahman) dengan penempatan pada SMP Negeri
Cenrana Kab. Maros dan setelah SK diterima Oleh saksi terdakwa meminta dana
kepengurusan SK tersebut Kepada saksi dan oleh saksi Ahmad S.Ag Bin H.
Abdurrahman memberikan dana sebesar Rp. 6.000.000,-(enam juta rupiah) melalui
Pro Fatma dan telah dikembalikan oleh terdakwa bersama Pro Fatma sebesar Rp.
3.050.000,-(tiga juta lima puluh ribu rupiah);
-
Bahwa akibat dari perbuatan terdakwa, saksi-saksi
maupun keluarganya yang masuk dalam daftar nama-nama SK yang dibuat oleh
terdakwa sebagaimana telah disebutkan diatas selain tidak menerima upah/gaji
dan tidak terdaftar dalam Data Base untuk diangkat menjadi CPNS di Lingkup
Pemkab. Maros, serta para saksi mengalami kerugian ratusan hingga jutaan
rupiah;
3.
Keterangan Saksi :
3. Saksi
Drs. Tawakkal Ahmad Bin Ahmad menerangkan :
-
Bahwa saksi mengerti sehingga diperiksa
sehubungan dengan adanya dugaan
terjadinya pemalsuan Surat Keputusan Bupati Maros tentang Pengangkatan Tenaga
Kontrak/Honor dilingkup Pemda Maros ;
-
Bahwa jabatan saksi adalah sebagai Kepala
Bidang Kinerja dan Kesejahteraan Pegawai sejak tahun 2004 s/d sekarang;
-
Bahwa tugas saksi pada pokoknya adalah
sebagai berikut:
i. Pembinaan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang meliputi:
-
Pembinaan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
-
Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran disiplin
Pegawai Negeri Sipil.
-
Pembinaan terhadap Pegawai yang melanggar PP
45 (tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil).
ii. Menyelenggarakan
Kesejahteraan Pegawai meliputi:
-
Menyelenggarakan/mengolah Pengurusan
Pensiunan PNS
-
Menyelenggarakan/mengolah Pengurusan Cuti PNS
-
Menyelenggarakan/mengolah Pengurusan
Penghargaan PNS
- Menyelenggarakan/mengolah
Pengurusan Kartu AsKes Cuti PNS
-
Menyelenggarakan/mengolah Pengurusan Kartu
Pegawai
-
Menyelenggarakan/mengolah Pengurusan Kartu
Taspen
-
Menyelenggarakan/mengolah Pengurusan
BAPERTARUM
-
Bahwa saksi pada saat sekarang sudah dimutasi
menjadi Kabid Mutasi pada BKD Kab.Maros;
-
Bahwa saksi mengetahui SK Bupati Maros
tentang pengangkatan Tenaga Kontrak/ Honor yang diduga palsu berdasarkan hasil
klarifikasi Tim yang dibentuk oleh Pemda Maros yaitu sebagai berikut:
-
Nomor SK 373 / Kpts / 814 / X / 2005 tanggal
06 Oktober 2005
-
Nomor SK 374 / Kpts / 814 / X / 2005 tanggal
06 Oktober 2005
-
Nomor SK 375 / Kpts / 814 / X / 2005 tanggal
06 Oktober 2005
-
Nomor SK 376 / Kpts / 814 / X / 2005 tanggal
06 Oktober 2005
-
Nomor SK 377 / Kpts / 814 / X / 2005 tanggal
06 Oktober 2005
-
Nomor SK 378 / Kpts / 814 / X / 2005 tanggal
06 Oktober 2005
-
Nomor SK 379 / Kpts / 814 / X / 2005 tanggal
06 Oktober 2005
-
Nomor SK 450 / Kpts / 814 / XII / 2005
tanggal 29 Desember 2005
-
Nomor SK 453 / Kpts / 814 / XII / 2005
tanggal 29 Desember 2005
-
Nomor SK 455 / Kpts / 814 / XII / 2005
tanggal 29 Desember 2005
-
Nomor SK 373 / Kpts / 814 / XII / 2005
tanggal 29 Desember 2005
-
Bahwa saksi tidak mengetahui kapan serta
bertempat dimana SK Bupati Maros sebagaimana point diatas tersebut dibuat namun
saksi mengetahui sesuai dengan informasi yang berkembang bahwa SK Pengangkatan
Tenaga Kontrak / Honor tersebut sebagai telah dipergunakan oleh pemegang SK
sebagaimana dalam lampiran masing-masing SK tersebut pada instansi dalam
lingkup Pemerintah Kab. Maros pada tahun 2008 ;
-
Bahwa saksi tidak mengetahui siapa yang telah
membuat atau memalsukan SK Bupati Maros tentang Pengangkatan Tenaga Kontrak /
Honor yang seolah-olah surat tersebut dibuat pada tahun 2005 ;
-
Bahwa saksi tidak mengetahui apakah nama-nama
yang terdaftar dalam SK tersebut diatas dapat dimasukkan ke dalam data base ;
-
Bahwa saksi tidak mengetahui proses
pengangkatan pegawai honor untuk Pemda Maros antara tahun 2005 sampai dengan
tahun 2008 dibuat sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam arti pihak BKD yang
mengeluarkan karena bukan tugas pokok saksi;
-
Bahwa adapun mekanisme penerbitan SK Bupati
Maros yang menyangkut pengankatan pegawai kontrak/ honor adalah dikonsep oleh
satu bidang yang terkait pada BKD kemudian di paraf secara berjenjang oleh
pejabat yang berkompeten dan apabila disetujui maka ditanda tangani Bupati
selanjutnya d stempel dengan stempel Bupati Maros yang ada di bagian umum
(SetDa) dan selanjutnya di distribusiskan kepada yang terkait;
-
Bahwa Bupati Maros telah memberikan tanggung
jawab kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) kabupaten Maros sejak tanggal 29
juli 2008 sesuai surat edaran nomor: 800/396/Set untuk melakukan / pemindahan
PNS, CPNS, Tenaga Honor dalam wadah satu pintu yaitu BKD Kab. Maros;
-
Bahwa seorang pegawai atau tenaga kontrak /
honor tidak dibenarkan mendapatkan SK rangkap;
-
Bahwa bagi para pemegang SK tahun 2005 dan
baru masuk atau menerima SK tersebut pada tahun 2008 adalah tidak dapat
dimasukkan kedalam data base dan tidak dapat diangkat menjadi CPNS;
-
Bahwa saksi telah ditunjuk dan diberikan
tugas tambahan sebagai anggota Tim Klarifikasi sehubungan dengan adanya dugaan
pemalsuan SK Bupati Maros tersebut;
-
Bahwa pihak BKD Kab. Maros tidak pernah
memberikan kewenangan dan pendelegasian terhadap Najamuddin, SH untuk mengurus
pengankatan pegawai kontrak Kab. Maros;
atas keterangan saksi tersebut diatas
terdakwa menyatakan benar.
4. Saksi Drs. Rahmat Burhanuddin, M.Si,
Menerangkan :
-
Bahwa saksi mengerti sehingga diperiksa
sehubungan dengan adanya dugaan terjadinya pemalsuan Surat Keputusan Bupati
Maros tentang Pengangkatan Tenaga Kontrak/Honor dilingkup Pemda Maros.
-
Bahwa yang menjadi korban dalam perkara ini
adalah Bupati Maros atau setidaknya pemerintah Kab. Maros selaku yang membuat
SK.
-
Bahwa saksi menjabat sebagai Kabag Umum pada
saat permasalahan mengenai dugaan pemalsuan Surat Keputusan Bupati Maros
tentang pengangkatan Tenaga Kontrak/Honor dilingkup Pemda Maros
-
Bahwa saksi mengetahui adanya pemalsuan SK
Bupati tentang pengangkatan tenaga Kontrak/Honor tersebut dan atau ada yang
telah menggunakan SK palsu dalam lingkup Pemerintah Kab. Maros dari informasi
yang berkembang dan meluas di Kab. Maros.
-
Bahwa saksi tidak mengetahui secara pasti
siapa yang telah membuat SK Bupati tersebut, hanya berita yang berkembang di
lingkup Pemda Maros adalah Najamuddin, SH (staf bagian hukum Pemda Maros).
-
Bahwa untuk stempel Bupati Maros hanya ada
satu stempel saja dan disimpan diruangan saksi (bagian umum) dan dapat saksi
jelaskan bahwa untuk instansi-instansi atau bagian-bagian dalam lingkup Pemda
Maros yang akan menggunakan stempel Bupati dating ke bagian umum untuk
menggunakan stempel tersebut.
-
Bahwa saksi tidak pernah berhubungan dengan
terdakwa perihal pemakaian stempel Bupati Maros yang terdapat di ruangan saksi.
-
Bahwa apabila terdapat stempel Bupati Maros
dan atau dipergunakan diluar dari stempel ruangan bagian umum pemda Maros,
dinyatakan illegal dan atau tidak diakui kebenarannya.
-
Bahwa saksi membenarkan stempel yang
diperlihatkan didepan persidangan oleh majelis hakim berbeda dengan stempel
yang terdapat diruangan saksi.
atas keterangan saksi
tersebut diatas terdakwa menyatakan benar.
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah