Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat
diajukan didepan sidang peradilan. Pembuktian alat-alat bukti diluar
KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan tidak mempunyai kekuatan yang
mengikat.
Adapun alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Berikut penulis akan memberikan penjelasan mengenai alat bukti antara lain sebagai berikut:
a. Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam pasal 184
KUHAP. Pada umunya tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian
alat bukti keterangan saksi :
Menurut M. Yahya Harahap (2002:286) bahwa:
Hampir semua
pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemerikasaan
keterangan saksi. Sekurang-kurangnya, disamping pembuktian dengan alat
bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti
keterangan saksi.
Pengertian saksi dapat kita lihat pada KUHAP yaitu saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan
dan peradilan tenyang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Dalam Pasal 185 KUHAP, berbunyi:
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan saksi pengadilan
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila tidak
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan
beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila
keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian
rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan
tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
a. Penesuaiaan antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. Persesuaiaan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. Alasan yang mengkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. Cara hidup
dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu tang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
(7) Keterangan
dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain, tidak
merupakan alat bukti, namun apabila keterangan dari saksi yang disumpah
dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Pada
umumnya semua orang dapat menjadi seorang saksi, namun demikian ada
pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi. Hal ini
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi:
Kecuali
ditentukan lain dalam undang-undangini, maka tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. Keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah samapi
derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara
dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunya hubungan karena perkawinan dan
anak-anak saudara terdakwa samapi derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Selanjutnya dalam pasal 171 KUHAP juga menambahkan pengecualian untuk
memberikan kesaksiaan dibawah sumpah, yakni berbunyi :
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Dalam sudut penjelasan pasal tersebut diatas, Andi Hamzah (2002:258-259), mengatakan bahwa:
“Anak yang belum
berumur lima belas tahun, demikian orang yang sakit ingatan, sakit
jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, dalam ilmu jiwa disebut
psycophaat, mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna
dalam hukum pidana maka mereka itu tidak perlu diambil sumpah atau janji
dalam memberikan keterangan, karena itu, keterangan mereka hanya
dipakai sebagai petunjuk saja”.
Orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya dapat
dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian, pada pasal 170
KUHAP berbunyi sebagai berikut:
(1) Mereka yang
pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan
sebagai saksi.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa keterangan saksi yang
dinyatakan dimuka sidang mengenai apa yang ia lihat, ia rasakan, ia
alami adalah keterangan sebagai alat bukti (pasal 185 ayat (1)),
bagaimana terhadap keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga?
Misalnya, pihak ketiga menceritakan suatu hal kepada saksi bahwa telah
terjadi pembunuhan. Kesaksian demikian adalah disebut testimonium de auditu.
Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu
tidak diperkenankan sebagai alat bukti. Selaras pula dengan tujuan
hukum acara pidana yang mencari kebenaran material, dan pula untuk
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dimana keterangan seorang
saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya,
maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak dipakai di Indonesia pula. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu
pula didengar oleh hakim. Walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti
kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim bersumber pada dua
alat bukti yang lain. Andi Hamzah (1983:242).
Dalam hal lain juga dalam KUHAP tentang prinsip minimum pembuktian. Hal ini terdapat dalam pasal 183 yang berbunyi:
“Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dalam pasal 185 ayat (2) juga menyebutkan sebagai berikut: “Keterangan
seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya”.
Menurut D. Sions (dalam Andi Hamzah, 1983:247) : “Suatu keterangan saksi
yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi
satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan suatu
kejadian tersendiri”.
M.
Yahya Harahap (1985 : 810) megungkapkan bahwa bertitik tolak dari
ketentuan pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum
dianggap sebagai suatu alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa (unus testis nullus testis). Ini berarti jika alat
bukti yang dikemukakan penuntut umum yang terdiri dari seorang saksi
saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti
yang lain, kesaksian tunggal seperti ini tidak dapat dinilai sebagai
alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan
dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Namun
apabila disuatu pesidangan seorang terdakwa mangaku kesalahan yang
didakwakan kepadanya, dalam hal ini seorang saksi saja sudah dapat
membuktikan kesalahan terdakwa. Karena selain keterangan seorang saksi
tadi, juga telah dicukupi dengan alat bukti keterangan terdakwa.
Akhirnya telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian yakni keterangan
saksi dan keterangan terdakwa.
b. Keterangan Ahli
Keterangan ahli
juga merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1)
KUHAP. Mengenai pengertian dari keterangan saksi dilihat dalam pasal
184 KUHAP yang menerangkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang
ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal tersebut tidak mnjelaskan siapa
yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli.
Andi Hamzah, (2002 : 268) menerangkan bahwa:
Yang dimaksud
dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki)
seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan diperluas pengertianya oleh HIR
yang meliputi Kriminalistik, sehingga van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu
tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang sidik jari dan
sebagainya termasuk dalam pengertian ilmu pengetahuan.
Pengertian
keterangan ahli sebagai alat bukti menurut M. Yahya Harahap (2002 :
297-302) hanya bisa didapat dengan melakukan pencarian dan menghubungkan
dari beberapa ketentuan yang terpencar dalam pasal KUHAP, mulai dari
Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 179 dengan jalan
merangkai pasal-pasal tersebut maka akan memperjelas pengertian ahli
sebagai alat bukti :
1. Pasal 1 angka 28
Pasal ini
memberi pengertian apa yang dimaksud dengan keterangan ahli, yaitu
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperluakan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan. Dari pengertian yang dijelaskan pada Pasal
1 angka 28, M. Yahya Harahap (2002 : 298) membuat pengertian:
a. Keterangan
ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki
“keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam
suatu perkara pidana yang diperiksa.
b. Maksud
keterangan Khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa
“menjadi terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang
bersangkutan.
2. Pasal 120 ayat (1) KUHAP
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Dalam pasal ini
kembali ditegaskan yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang
memiliki keahlian khusus yang akan memberi keterangan menurut
pengetahuannya dengan sebaik-baiknya.
3. Pasal 133 (1) KUHAP
Dalam hal
penyidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
4. Pasal 179 KUHAP menyatakan:
(1) Setiap
orang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya wajib memberi keterangan ahli demi keadilan.
(2) Semua
ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan
sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan
yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Pasal 179
memberi penegasan tentang adanya dua kelompok ahli yang terdapat pada
pasal-pasal sebelumnya (Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133 ayat (1).
Seperti yang dituliskan M. Yahya Harahap (2002:300), ada dua kelompok
ahli:
1. Ahli
kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran
kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan, keracunan,
atau pembunuhan.
2. Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu.
Sebenarnya
apabila kita hubungkan Pasal 133 dan Pasal 186 KUHAP, maka dapat dilihat
bahwa ternyata keterangan saksi tidak hanya diberikan di depan
persidangan tetapi juga diberikan dalam rangka pemeriksaan penyidikan.
Menurut M. Yahya Harahap (1985:819) bahwa
dari ketentuan Pasal 133 dihubungkan dengan Pasal 186 KUHAP, jenis dan
tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat
melalui prosedur sebagai berikut:
- Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidik.
Pada saat
penyidik demi untuk kepentingan peradilan, penyidik minta keterangan
ahli. Permintaan itu dilakukan penyidik secara tertulis dengan
menyebutkan secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan.
Atas permintan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat “laporan”.
Laporan itu bisa berupa surat keterangan yang lazim juga disebut juga
dengan nama visum et repertum. Laporan atau visum et repertum tadi
dibuat oleh ahli yang bersangkutan “mengingat sumpah” diwaktu ahli
menerima jabatan atau pekerjaan. Dengan tata cara dan bentuk laporan
ahli yang seperti itu, keterangan dalam laporan atau visum et repertum sudah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
- Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang
Permintaan
keterangan seorang ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan
diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada diminta
keterangan ahli. Akan tetapi bisa juga terjadi, sekalipun penyidik atau
penuntut umum waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan
ahli, jika hakim ketua sidang atau terdakwa maupun penasehat hukum
menghendaki dan menganggap perlu didengar keterangan ahli di sidang
pengadilan, meminta kepada ahli yang mereka tunjuk memberi keterangan di
sidang pengadilan. Dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang
pengadilan, tidak dapat melaksanakan hanya berdasarkan pada sumpah atau
janji di sidang pengadilan sebelum ia memberi keterangan. Dengan
dipenuhi tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan
di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat
bukti yang sah menurut undang-undang. Dan sekaligus keterangan ahli yang
seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ternyata keterangan ahli dalam
bentuk laporan menyentuh sekaligus dua sisi alat bukti yang sah. Di satu
sisi, keterangan ahli yang terbentuk laporan atau visum et repertum
tetap dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli, akan tetapi pada sisi
lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh
alat bukti saksi. Apakah hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat
hukum memberikan nama pada alat bukti tersebut tidak menimbulkan akibat
dalam penilaian kekuatan pembukti?
M. Yahya Harahap (1985:828), menegaskan bahwa keleluasaan hakim,
penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum dalam memberikan nama pada
alat bukti seperti yang telah disebutkan diatas, sama sekali tidak
menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembuktian. Kedua jenis alat
bukti itu, baik alat bukti keterangan ahli maupun alat bukti surat,
sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang serupa. Kedua alat
bukti tersebut sama-samamempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, dan
tidak mengikat. Hakim bebas untuk membenarkan atau menolaknya.
c. Surat
Pengertian surat menurut Asser-Anema (Andi Hamzah, 2002:71)surat-surat
adalah sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti,
dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.
Menurut I. Rubini dan Chaidir Ali (Taufiqul Hulam, 2002:63) bukti
surat adalah suatu benda (bisa berupa kertas, kaya, daun lontar dan
sejenisnya) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan
menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu surat).
Dalam KUHAP seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli,
alat bukti surat hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 187, yang
berbunyi surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c,
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
1. Berita
acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabatat umum
yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan
itu;
2. Surat yang
dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksanan yang menjadi
tanggungjawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;
3. Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi dari padanya;
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
d. Petunjuk
Dalam KUHAP, alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiaan, baik
antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi sesuatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. Ketrangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
3. Penilaian
atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim denga arif lagi bijaksana, setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan
hati nuraninya.
Dari
bunyi pasal diatas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah
merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena hakim dalam mengambil
kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti
dengan alat bukti yang lainnya dan memilih yang ada persesuaiaannya satu
sama lain.
e. Keterangan Terdakwa
Mengenai keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdkwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keteranga
terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu
alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan
alat bukti yang lain.
Menurut Andi Hamzah, (2002:273) bahwa
KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat
bukti dalam Pasal 184 butir c. KUHAP juga tidak menjelaskan apa
perbedaan antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan pengakuan
terdakwa sebagai alat bukti.
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau terbentur
pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu
berupa penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagaian dari
perbuatan atau keadaan.
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah