BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemanfaatan merek-merek terkenal pada
saat sekarang sudah mulai marak, hal tersebut tidak lain karena
menjanjikan keuntungan besar yang akan didapat apabila mempergunakan
merek terkenal dari pada menggunakan mereknya sendiri. Apalagi pada saat
krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti saat sekarang ini, banyak
produsen yang mensiasati dengan cara mengkombinasikan barang-barang
bermerek yang asli dengan yang bajakan, karena bajakan tersebut secara
fisik benar-benar mirip dengan yang asli.
Banyak alasan mengapa banyak industri
memanfaatkan merek merek terkenal untuk produk-produknya, salah satunya
adalah agar mudah dijual, selain itu merek tak perlu repot-repot
mengurus nomor pendaftaran ke Dirjen HaKI atau mengeluarkan uang jutaan
rupiah untuk membangun citra produknya (brand image). Mereka tidak perlu repot repot membuat divisi riset dan pengembangan untuk dapat menghasilkan produk yang selalu up to date,
karena mereka tinggal menjiplak produk orang lain dan untuk
pemasarannya biasanya “bandar” yang siap untuk menerima produk jiplak
tersebut. Secara ekonomi memang memanfaatkan merek terkenal mendatangkan
keuntungan yang cukup besar dan fakta dilapangan membuktikan hal
tersebut, selain itu juga didukung oleh daya beli konsumen yang
pas-pasan tetapi ingin tampil trendi.
Produk-produk bermerek (luxrury good)
asli tapi palsu (aspal) seperti baju, celana, jaket dan berbagai
asesoris lainnya sangat mudah didapat dan ditemukan di kota-kota besar,
peredarannyapun meluas mulai dari kaki lima sampai pusat pertokoan
bergengsi. Salah satu daya tarik dari produk bermerek palsu memang
terletak pada harganya yang sangat murah
B. Identifikasi Masalah
Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam
latar belakang tersebut diatas dapat dilihat bahwa banyak sekali
permasalahan disekitar hak atas kekayaan intelektual khususnya mengenai
merek, walaupun telah ada undang-undang yang mengatur tetapi dalam
kenyataannya masih juga terjadi penyimpangan-penyimpangan, padahal
dengan adanya hukum diharapkan terciptanya suatu kepastian dan keadilan
bagi semuanya.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis melakuan identifikasi masalah sebagai berikut :
- Bagaimana perlindungan terhadap merek terkenal ?.
- Bagaimanakah perlindungan bagi konsumen terhadap pemanfaatan merek terkenal oleh industri ?.
- Apakah Hukum Positif yang ada memberikan perlindungan bagi merek terkenal sesuai dengan konvensi-konvensi Internasional yang telah diratifikasi ?
C. Maksud dan Tujuan
Pembuatan makalah ini diharapkan dapat
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta dapat dan bisa memeberikan
manfaat bagi dunia ilmu pengetahuan hukum.
Disamping itu secara khusus sesuai dengan rumusan permasalahan, tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
- Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan terhadap merek terkenal yang dilakukan oleh kalangan industri.
- Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan terhadap konsumen terhadap tindakan industri yang memanfaatkan merek-merek terkenal.
- Untuk mengetahui sejauh mana konvensi-konvensi Internasional yang telah diratifikasi dan menjadi hukum positif di Indonesia memberikan perlindungan dan keadilan terhadap konsumen.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Suatu merek bagi produsen barang atau
jasa sangat penting, karena berfungsi untuk membedakan antara barang
atau jasa satu dengan yang lainnya serta berfungsi sebagai tanda untuk
membedakan asal-usul, citra reputasi maupun bonafiditas diantara
perusahaan yang satu dengan yang lainnya yang sejenis. Bagi konsumen
dengan makin beragamnya barang dan jasa yang berada dipasaran melalui
merek dapat diketahui kualitas dan asal-usul dari barang tersebut.
Secara yuridis pengertian merek tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 15 tahun 2001 yang berbunyi :
“Merek adalah tanda yang berupa
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa”.
Merek memberikan fungsi untuk membedakan
suatu produk dengan produk lain dengan memberikan tanda, seperti yang
didefinisikan pada Pasal 1 Undang Undang Merek (Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001). Tanda tersebut harus memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam perdagangan barang atau jasa. Dalam prakteknya merek digunakan
untuk membangun loyalitas konsumen.
Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang
diberikan Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum
Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut
atau memberi ijin kepada seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Perlindungan Terhadap Merek Terkenal
Banyak alasan mengapa banyak industri
memanfaatkan merek merek terkenal untuk produk-produknya, salah satunya
adalah agar mudah dijual, selain itu merek tak perlu repot-repot
mengurus nomor pendaftaran ke Dirjen HaKI atau mengeluarkan uang jutaan
rupiah untuk membangun citra produknya (brand image). Mereka tidak perlu repot repot membuat divisi riset dan pengembangan untuk dapat menghasilkan produk yang selalu up to date,
karena mereka tinggal menjiplak produk orang lain dan untuk
pemasarannya biasanya “Bandar” yang siap untuk menerima produk jiplak
tersebut.
Secara ekonomi memang memanfaatkan merek
terkenal mendatangkan keuntungan yang cukup besar dan fakta dilapangan
membuktikan hal tersebut, selain itu juga didukung oleh daya beli
konsumen yang pas-pasan tetapi ingin tampil trendi. Jika dilihat dari
sisi hukum hal itu sebenarnya tidak dapat ditolelir lagi karena Negara
Indonesia sudah meratifikasi Kovensi Internasional tentang TRIPs dan WTO
yang telah diundangkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1994 sesuai dengan
kesepakatan internasional bahwa pada tanggal 1 Januari 2000 Indonesia
sudah harus menerapakan semua perjanjian-perjanjian yang ada dalam
kerangka TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Inculding Trade in Counterfeit Good),
penerapan semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam TRIPs tersebut
adalah merupakan konsekuensi Negara Indonesia sebagai anggota dari WTO (Word Trade Organization).
Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam
dunia perdagangan dewasa ini merek adalah merupakan salah satu wujud
karya intelektual manusia yang mempunyai peranan yang sangat menentukan
karena penggunaan atau pemakaian merek pada perusahaan, tetapi juga
mngandung aspek hukum yang luas baik bagi pemilik atau pemegang hak atas
merek maupun bagi masyarakat sebagai konsumen yang memakai atau
memanfaatkan barang atau jasa dari merek tertentu.
Merek mempunyai peranan penting bagi
kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan
perdagangan dan penanaman modal. Merek dengan bran imagenya dapat
memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda atau daya pembeda yang teramat
penting dan merupakan jaminan kualitas dari suatu produk, sebab merek (branding)
menjadi semacam “penjual awal” bagi suatu produk kepada konsumen. Dalam
era persaingan sekarang ini memang tidak dapat lagi dibatas masuknya
produk-produk dari luar negeri ke Indonesia karena fenomena tersebut
sebetulnya sudah jauh diprediksi oleh Kanichi Ohmae yang menyatakan “bahwa pada masa mendatang dunia tidak lagi bisa dibatasi oleh apapun juga”
dan prediksi tersebut saat ini sudah nampak kebenarannya. Merek sebagai
aset perusahaan akan dapat menghasilkan keuntungan besar bila
didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan pengelolaan
manajemen yang baik. Dengan semakin pentingnya peranan merek maka
terhadap merek perlu diletakan perlindungan hukum yakni sebagai obyek
yang terhadapnya terkait hak hak perseorangan ataupun badan hukum.
Dengan berkembangnya dunia perdagangan
yang pesat dan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing
negara, tentunya akan memberikan dampak dibidang perdagangan terutama
karena adanya kemajuan di bidang teknologi, informasi, komunikasi dan
transportasi yang mana sebagai bidang tersebut merupakan faktor yang
memicu globalisasi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).
Dalam kenyataan merek terkenal biasanya
didahului oleh reputasi dan good will yang melekat pada keterkenalan
tersebut. Merek yang mempunyai “good will” yang tinggi akan mampu
memberikan keuntungan yang luar biasa bagi perusahaan, meskipun
sebetulnya merek adalah sesuatu yang tidak dapat diraba (intangible). Sebuah merek akan menjelma menjadi aset capital semata-mata hanya berdasarkan pada good will, oleh karena itu menurut Lendsford menyebutkan bahwa perusahaan yang telah memiliki reputasi merek yang tinggi (higher reputation) akan memilik aset kekayaan yang luar biasa hanya berdasarkan pada good will dari merek tersebut.
Produk atau jasa yang bermerek saling
lebih dahulu diiklankan dan dijual, walaupun produk atau jasa tersebut
secara fisik belum tersedia di pasaran Negara tertentu. Media penyebaran
dan periklanan modern menjadi semakin tidak di batasi oleh batas-batas
nasional mengingat canggihnya komunikasi teknologi dan frekuensi orang
bepergian atau mengadakan perjalanan melintas dunia. pemilik produk atau
jasa yang bermerek banyak memanfatkan berbagai event-event yang banyak
di tonton orang untuk memasarkan merek mereka sehingga orang yang
melihat merasa tertarik untuk membeli produk atau meggunakan jasa dari
suatu merek yang diiklankan tersebut.
Ditinjau dari aspek hukum masalah merek
menjadi sangat penting, sehubungan dengan persoalan perlu adanya
perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pemilik atau pemegang merek
dan perlindungan hukum terhadap masyarakat sebagai konsumen atas suatu
barang atau jasa yang memakai suatu merek agar tidak terkecoh oleh
merek-merek lain, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa masalah penggunaan
merek terkenal oleh pihak yang tidak berhak, masih banyak terjadi di
Indonesia dan kenyataan tersebut benar-benar disadari oleh pemerintah,
tetapi dalam praktek banyak sekali kendala-kendala sebagaimana dikatakan
oleh A Zen Umar Purba (mantan Dirjen HaKI) bahwa Law
Enforcement yang lemah. Memang tidak dapat selamanya dijadikan alasan
tetapi yang perlu diperhatikan adalah mengapa hal itu bisa terjadi ?.
Hal itu tidak dapat dilepaskan dari sisi historis masyarakat Indonesia
yang sejak dahulu adalah masyarakat agraris, sehingga terbiasa segala
sesuatunya dikerjakan dan dianggap sebagai milik bersama, bahkan ada
anggapan dari para pengusaha home industri bahwa merek adalah mempunyai
fungsi sosial. Pada satu sisi keadaan tersebut berdampak positif tetapi
pada sisi lain justru yang anggapan demikian itu menyebabakan masyarakat
kita sering berpikir kurang ekonomis dan kurang inofatif.
2. Perlindungan Bagi Konsumen Terhadap Pemanfaatan Merek Terkenal Oleh Industri
Sebagaimana diketahui bahwa dalam dunia
usaha tujuan utama adalah untuk mencari keuntungan, maka banyak sekali
industri yang kurang memahami arti penting hubungan antara pengusaha,
konsumen dan masyarakat akan berperilaku “profit oriented” semata tanpa
memperhatikan aspek-aspek yang lain tetapi lebih mementingkan
kepentingan sendiri tanpa menghiraukan kepentingan pihak-pihak yang lain
dan yang lebih mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut adalah
tersedianya konsumen yang menggunakan produk mereka.
Pengusaha yang melihat hal itu sebagai
salah satu peluang bisnis maka akan berusaha memperoleh keuntungan
melalui jalan pintas yang tidak layak dengan cara membuat atau
memasarkan barang atau produk dengan memalsukan atau meniru merek-merek
terkenal dan bagi konsumen adalah suatu gengsi tersendiri bila
menggunakan merek terkenal tersebut.
Faktor gengsi semu dari konsumen yang
merasa bangga menggunakan merek terkenal terutama produk dari luar
negeri (label minded) juga sangat mempengaruhi dan sekaligus
menguntungkan pemalsuan merek, karena mendapatkan kesempatan untuk
memuaskan hasrat mesyarakat melalui merek-merek asli tapi palsu (aspal)
atau merek yang mirip dengan merek terkenal, dengan menghasilkan produk
yang kerapkali sengaja disesuaikan dengan kemampuan kantong kosong
konsumen yang ingin mengenakan merek terkenal tetapi tidak mempunyai
kemampuan untuk membelinya sehingga mereka membeli merek-merek asli tapi
palsu asalkan tetap bisa gengsi.
Pemakaian merek terkenal atau pemakaian
merek yang mirip dengan merek terkenal milik orang lain secara tidak
berhak dapat menyesatkan konsumen terhadap asal-usul, dan atau kualitas
barang. Pemakaian merek terkenal secara tidak sah dikualifikasi sebagai
pemakaian merek yang beritikad tidak baik.
Penggunaan produk dengan merek-merek
tertentu disamping good will yang dimiliki oleh mereknya sendiri selain
itu juga sifat fanatik dari konsumen terhadap merek tersebut yang
dianggap mempunyai kelebihan atau keunggulan dari merek yang lain. Sifat
fanatik yang dimiliki oleh konsumen tidak semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan saja, tetapi ada juga mengutamakan prestise dan memberikan
kesan tersendiri dari pemakainya sehingga dengan memakai persepsi mereka
adalah suatu “simbol” yang akan menimbulkan gaya hidup baru (life style).
Adanya perbedaan persepsi didalam
masyarakat mengenai merek menimbulkan berbagai penafsiran, tetapi
meskipun begitu berarti bahwa tindakan orang-orang yang memproduksi
suatu barang dengan mendompleng ketenaran milik orang lain tidak bisa
dibenarkan begitu saja, karena dengan membiarkan tindakan yang tidak
bertanggung jawab maka secara tidak langsung menghasilkan dan
membenarkan seseorang untuk menipu dan memperkaya diri secara tidak
jujur.
Tindakan mempergunakan merek terkenal
milik orang lain, secara keseluruhan tidak hanya merugikan pemilik atau
pemegang merek itu sendiri dan juga para konsumen tetapi dampak yang
lebih luas adalah merugikan perekonomian nasional dan yang lebih luas
lagi juga merugikan hubungan perekonomian internasional.
Untuk menghindari praktek-praktek yang
tidak jujur dan memberikan perlindungan hukum kepada pemilik atau
pemegang merek serta konsumen maka Negara mengatur perlindungan merek
dalam suatu hukum merek dan selalu disesuaikan dengan perkembangan
perkembangan yang terjadi di dunia perdagangan internasional yang
tujuannya adalah mengakomodasikan semua kepentingan-kepentingan yang ada
guna menciptakan suatu perlindungan hukum.
3. Hukum Positif Dalam Perlindungan Bagi Merek Terkenal Sesuai Dengan Konvensi-Konvensi Internasional Yang Telah Diratifikasi
Pada tahun 1961 Indonesia mempunyai
Undang-undang baru mengenai merek perusahaan dan perniagaan LN. No. 290
Tahun 1961. Undang-Undang tersebut disusun secara sederhana hanya
berjumlah 24 pasal dan tidak mencantumkan sanksi pidana terhadap
pelanggaran merek. Selain itu, asal undang-undang merek tersebut sama
dengan undang-undang merek sebelumnya yang ditetapkan oleh Belanda, hal
tersebut tidak terlepas dari kondisi perekonomian dan politik pada saat
itu yang masih memprihatinkan. Seiring dengan perkembangan perdagangan
dan industri serta sejalan dengan terbukanya sistem ekonomi yang dianut
Indonesia pada saat itu maka sangketa-sangketa merek mulai muncul.
Dengan pesatnya perkembangan dunia
perdagangan banyak sengketa-sengketa merek pada saat itu terutama antara
pemilik merek terkenal dengan pengusaha lokal, hal tersebut disebabkan
karena :
- Terbukanya sistem ekonomi nasional, sehingga pengusaha nasional dapat mengetahui dan memanfaatkan merek-merek terkenal untuk digunakan dan didaftar lebih dulu di Indonesia demi kepentingan usahanya.
- Pemilik merek terkenal belum atau tidak mendaftarkan dan menggunakan mereknya di Indonesia.
Banyaknya sengketa merek sampai pada
dekade 80-an, maka pada tahun 1987 pemerintah menetapkan Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.01-HC.01.01 Tahun 1987
tentang “Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek yang mempunyai Persamaan dengan Merek Terkenal Orang lain”.
Dengan adanya ketentuan tersebut maka banyak sekali pemilik merek
terkenal yang mengajukan gugatan pembatalan mereknya dan banyak pula
perpanjangan merek yang ditolak oleh kantor merek dikarenakan
mempergunakan merek orang lain. Keputusan tersebut kemudian direvisi
dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. M.03-HC.02.01 untuk lebih
memberikan perlindungan terhadap pemilik merek-merek terkenal.
Selama masa berlakunya UU No. 21 Tahun
1961, banyak sekali perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam dunia
perdagangan, dimana norma dan tatanan dagang telah berkembang dan
berubah dengan cepat, hal tersebut menyebabkan konsepsi yang tertuang
dalam Undang-undang merek Tahun 1961 sudah sangat tertinggal jauh
sekali. Untuk mengantisipasi perkembangan tersebut maka pemerintah pada
waktu itu mengeluarkan UU No. 19 Tahun1992 tentang merek (LN. No.81
Tahun 1992) sebagai pengganti UU No.21 tahun 1961.
Sebagai Negara penandatangan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (General Agrement On Tarif and Trade) dalam putaran Uruguay (Uruguay Round),
Indonesia telah meratifikasi paket persetujuan tersebut dengan UU No. 7
Tahun 1994 tentang Ratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (Agrement Establishing The World Trade Orgnization).
Sejalan dengan itu maka pemerintah membuat kebijakan baru dengan
melakukan perubahan dan penyempurnaan UU No. 19 Tahun 1992 dengan UU No.
14 Tahun 1997 dan diubah dan disempurnakan lagi dengan undang undang
No. 15 Tahun 2001. Tujuan dari penyempurnaan tersebut tidak lain adalah
mengakomodasikan ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi komitmen
internasional mengenal Hak atas Kekayaan Intelektual.
Perubahan atau penyempuarnaan itu pada dasarnya diarahkan untuk menyesuaikan dengan Konvensi Paris (Paris Convention For The Protection Of Industriale Property) pada tahun 1883, selain itu juga disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam persetujuan TRIPs (Trade Releated Aspects Of Intelectual Property Right Including Trade In Counterfeit Goods) atau aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak atas kekayaan Intelektual.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari semua penjelasan diatas tersebut maka penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu diantaranya sebagai berikut :
- Perlindungan bagi merek yang terkenal ini meliputi semua jenis barang dan jasa, sehingga peniruan merek terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi oleh “itikad tidak baik” dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dengan membonceng keterkenalan suatu merek orang lain sehingga tidak selayaknya mendapatkan perlindungan hukum
- Untuk menghindari praktek-praktek yang tidak jujur dan memberikan perlindungan hukum kepada pemilik atau pemegang merek serta konsumen maka negara mengatur perlindungan merek dalam suatu hukum merek dan selalu disesuaikan dengan perkembangan perkembangan yang terjadi di dunia perdagangan Internasional yang tujuannya adalah mengakomodasikan semua kepentingan-kepentingan yang ada guna menciptakan suatu perlindungan hukum.
- Persoalan perlindungan hukum terhadap pemilik merek terkenal tidak hanya dapat dipandang dari aspek hukum saja, akan tetapi perlu pula dipandang dari aspek lain seperti aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek budaya yang terdapat pada masyarakat itu. Pemakaian merek terkenal secara tidak sah dikualifikasi sebagai pemakaian merek yang beritikad tidak baik.
B. Saran
Sebagai saran guna penanganan serta
penanggulangan atas pokok permasalahan yang telah dibahas dalam
penulisan tugas ini, maka penulis mengemukakan hal-hal sebagai berikut,
yaitu :
- Mempertegas lagi pengaturan mengenai penggunaan merek yang yang sudah terdapat dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
- Memberikan sanksi yang tegas dan berat bagi pelanggar ketentuan penggunaan Merek.
- Lebih meningkatkan lagi pengawasan terhadap perizinan penggunaan Merek.
DAFTAR PUSTAKA
A. Insan Budi Maulana, Merek
Terkenal Menurut TRIPs Agreement, Temu Wicara Merek Terkenal, Direktorat
Jenderal HaKI Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta, Maret 2000.
Didi Irwandi Syamsudin, Pemalsuan Merek Terkenal dan Dilema Penegakan Hukum, Majalah Eksekutif No. 250, Juli 2000.
Djubaedillah. R, Sejarah, Teori dan Praktek Hak Milik Intelektual di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Getas, Gede. LGst, Peranan Merek Dalam Dana Usaha, UPADA SASTRA, Denpasar, Bali, 1994.
Harapan, M. Yahya, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia berdasarkan Undang Undang No. 19 Tahun 1992, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Maulana. Insan Budai, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
Rizawanto Wanita, Undang Undang Merek Baru 2001, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Sjahputra, Imam, Herjandono, Heri Parjio, Hukum Merek Baru Indonesia Tanya Jawab Teori dan Praktek, Harvarindo, Jakarta, 1997.
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah