BAB I
PENDAHULUAN
A. Kasus Posisi
Pada tanggal 16 Januari 2002 kemarin
sebuah maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300
dengan nomor penerbangan GA-421 jatuh melintang di anak sungai Bengawan,
kabupaten Klaten. Dalam kecelakaan tersebut seorang wanita muda yaitu
prmaugari bernama Santi Anggraeni yang telah bekerja selama tujuh tahun
tewas setelah terhempas keluar dari pesawat dan hanyut oleh arus sungai
yang sedang meluap, sementara pilot Kapten Abdul Rozak bersama enam kru
lainnya serta ke 51 penumpangnya tiga diantaranya balita selamat dan
hanya mengalami luka memar dan patah tulang.
Berbagai informasi menyebutkan bahwa
kecelakaan tersebut terjadi setelah peawat kena amuk badai udara
sehingga menyebabkan matinya mesin pesawat, hal ini diperkuat dengan
ditemukannya kotak hitam pesawat dimana mesin mati saat berada
diketinggian 23 ribu kaki ketika masuk kea wan yang bercuaca buruk dan
hujan badai. Beberapa saksi mata yang ditemui disekitar tempat kejadian,
mereka dibuat heran dengan adanya pesawat berbadan lebar yang
berputar-putar 2 sampai 3 kali. Warga bertambah heran karena pesawat
bermesin jet tersebut terbang cukup rendah dan keheranan itu berubah
menjadi rasa kaget yang luar biasa saat terdengar bunyi keras sperti
benda tertabrak dari arah sungai dimana ada dahan pohon patah di timur
sungai, diduga badan pesawat menabrak pohon tersebut sebelum akhirnya
terjun ke dalam sungai yang cukup deras dan akhirnya berhenti 10 meter
sebelum batas sungai sebelah barat, pesawat Garuda Boeing 727-300
tersebut akhirnya karam dipnggir sungai sebelah barat dikedalaman sungai
sekitar 40 cm.
Setelah diteliti oleh Komite Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) ditemukan bahwa penyebab kecelakaan
pesawat tersebut memang pengaruh cuaca yang buruk. Hal ini sejalan
dengan hasil penyelidikan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
Departemen Perhubngan yang menyatakan bahwa pesawat garuda telah
mentaati semua prosedur yang berlaku dalam transportasi udara.
B. Permasalahan Hukum
Berdasarkan kasus posisi yang telah
diuraikan tersebut diatas, maka penulis dengan menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dimulai dengan analisa
terhadap permasalahan yang ditulis dalam penyusunan tugas ini serta
melakukan inventarisasi hukum positif, mengidentifikasi beberapa
permasalahan hukum yang berkaitan dengan penulisan tugas dalam mata
kuliah Hukum Asuransi ini, yaitu sebagai berikut :
- Bagaimana tanggungjawab perusahaan asuransi angkutan udara terhadap perusahaan penerbangan ?
- Bagaimana proses tuntutan ganti rugi yang dilakukan penumpang terhadapa perusahaan penerbangan ?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Asuransi
Asuransi atau pertanggungan yang merpakan
terjemahan dari insurance atau verzekering atau assurantie. Definisi
asuransi yang diberikan undang-undang dapat dilihat dalam pasal 246 KUHD
yang berbunyi :
“Asuransi atau pertanggungan adalah suau
perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada
seorang tertanggung dengan menerima uang premi untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu
peristiwa tak tertentu”
Sedangkan definisi asuransi yang terdapat dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yaitu :
“Asuransi atau pertanggungan adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung kerena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan”
B. Macam-Macam Asuransi Pengangkutan Udara
Beberapa pihak yang terlibat didalam
kegiatan industri penerbangan dapat menutupi asuransi sesuai dengan
resiko yang dihadapinya masing-masing, diantaranya :
- Penutupan asuransi yang dilakukan oleh operatuor, pengangkut atau pemilik udara.
Asuransi mengenai penutupan yang dilakukan oleh operatuor, pengangkut atau pemilik udara ini berupa :
- Asuransi rangka pesawat
- Asuransi tanggungjawab pengangkut kepada enumpang dan bagasi penumpang
- Asuransi tanggungjawab terhadap pihak ketigaasuransi awak pesawat
- Asuransi pembajakan pesawat udara
- Asuransi tanggungjawab pengelola pelabuhan udara
- Asuransi tanggungjawab pengusaha pabrik pesawat dan bengkel reparasinya
BAB III
PEMBAHASAN
A. Tanggungjawab Pihak Perasuransian yang ditunjuk Perusahaan Penerbangan terhadap Penumpang.
Pengangkutan yang ada di Indonesia
terdiri dari pengangkutan darat, laut dan udara. Pengangkutan udara
dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) dipergunakan suatu istilah
pengangkut sebagai salah satu pihak yang mengadakan perjanjian
pengfangkutan. Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh pihak PT.
Garuda merupakan keterpadauan kegiatan transportasi yang meliputi
pengangkutan penumpang, barang dan bagasi.
Mengenai tanggungjawab perusahaan
pengangkutan udara terhadap kerugian yang timbul karena kecelakaan yang
menimpa diri penumpang seperti dalam kasus posisi diatas, Ordonansi
Pengangkutan Udara (OPU) Staatblad 1939-100 menentukan dalam pasal 24
ayat (1), yaitu :
“Pengangkut bertanggungjawab untuk
keruggian sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain pada tubuh
yang diderita oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian
itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi diatas
pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan
dengan naik ke atau turun dari pesawat”.
Dari pasal tersebut ternyata bahwa
pengangkut udara dianggap selalu bertanggungjawab, asal dipenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut, yaitu :
- Adanya kecelakaan
- Kecelakaan ini harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara
- Kecelakaan ini harus terjadi
diatas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam
hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat.
Prinsip-prinsip tanggungjawab khususnya
untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan Konvensi
Warsawa dan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatblad
1939-100, diantaranya yaitu :
1. Prinsip Persumption of Liability
Bahwa seseorang
pengangkut dianggap perlu bertanggungjawab untuk kerugian yang
ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi dan pengangkut udara
tidak bertanggungjawab hanya bila ia dapat membuktikan bahwa ia tidak
mungkin dapat menghindarkan kerugian itu
Jadi para pihak yang
dirugikan tidak usah membuktikan adanya kesalahan dari pihak pengangkut.
Prinsip in dapat disimpulkan dari pasal 29 ayat (1) Ordonansi
Pengangkutan Udara (OPU), yang berbunyi “Pengangkut tidak
bertanggungjawab untuk kerugian bila ia membuktikan bahwa ia dan semua
orang yang dipekerjakan itu, telah mengambil semua tindakan yang
diperlukan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tidak mungkin bagi
mereka untuk mengambil tindakan-tindakan itu”
2. Prinsip Limitation of Liability
Bahwa setiap pengangkut
dianggap selalu bertanggungjawab, namun bertanggungjawab itu terbatas
sampai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuanyang telah diatur dalam
Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) maupun Konvensi Warsawa.
Pembatasan tanggung
jawab pengangkut udara dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU)
dimaksudkan pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan.
Mengenai hal ini dalam Ordonansi Pengangkutan Udara diatur pada pasal 30
ayat (1), yang berbunyi “Pada pengangkutan penumpang, tanggung jawab
pengangkut terhadap tiap-tiap penumpang atau terhadap keluarganya yang
disebutkan dalam pasal 24 ayat (2) bersama-sama dibatasi sampai jumlah
dua belas ribu lima ratus (Rp. 12.500) jika ganti kerugian ditetapkan
sebagai bunga maka jumlah uang pokok yang dibungakan tidak boleh
melebihi juml;ah diatas”
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1992 tentang Penerbangan, pasal yang mengatur tanggungjawab diatur
dalam pasal 43 ayat (1), yang berbunyi “Perusahaan pengangkutan udara
yang melakukan kegiatan angkutan bertanggungjawab atas :
- Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut
- Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut
- Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut”
Oleh karena itu, menurut hemat penulis
pada kasus kecelakaan pesawat tersebut maka perusahaan penerbangan harus
bertanggungjawab terhadap korban kecelakaan pesawat udara seperti apa
yang disebutkan dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1992 tentang Penerbangan melalui perusahaan asuransi yang ditunjuk pihak
PT. Garuda Indonesia, dimana para korban dapat mengajukan klaim dengan
cara menyerahkan data-data tentang kerugian yang dideritanya. Setelah
menerima pengajuan dari tertanggung, pihak asuransi akan meneliti
kerugian (adjuster/assessor) untuk menyelidiki kerugian yang
selanjutnya dilaporkan kepada penanggung, apabila tidak ada kebohongan
atau tipu muslihat dalam kerugian itu, maka pihak asuransi dapat
mengganti kerugian sesuai dengan apa yang diperjanjikannya.
B. Proses Ganti Rugi Yang Dilakukan Penumpang Terhadap Perusahaan Penerbangan.
Pemberian ganti rugi yang dilakukan PT.
Garuda Indonesia pada kasus kecelakaan pesawan udara Boeing 737-300 di
Sungai Bengawan Solo kepada penumpang akibat kecelakaan pesawat udara
diberikan melalui proses sebagai berikut :
- Bila telah ada kesepakatan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh
PT. Garuda Indonesia kepada korban kecelakaan pesawat udara tanpa harus
melalui pengadilan, maka proses pemberian ganti rugi adalah :
- Mengisi formulir yang telah disediakan oleh PT. Garuda Indonesia yang memuat pengisian data-data identitas pihak yang berhak atas pemberian ganti rugi itu.
- Mengajukan segala alat bukti :
- Tiket atau bukti pembayaran tiket.
- Surat keterangan dokter dan
biaya-biaya pengobatan perawatan, bila penumpang akibat kecelakaan
pesawat udara tersebut dalam perawatan.
- Akta perkawinan dari suami atau isteri penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara.
- Akta kenal lahir (anak) dari
penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara itu, disertai
penetapan fatwa waris dari pengadilan agama yang berisi penetapan ahli
waris dan besarnya bagian-bagian.
- Kartu keluarga dari penumpang yang tewas tersebut bagi semua ahli waris yang ditanggungnya.
- Pihak PT. Garuda memeriksa, memproses dan meneliti data orang yang terikat perjanjian pengangkutan udara dalam pesawat yang tertimpa kecelakaan, benar tidaknya luka-luka atau cacat tubuh yang diderita penumpang tersebut akibat kecelakaan pesawat udara itu dan benar atau tidaknya orang tersebut adalah ahli waris yang ditanggung penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara itu.
- Bila semua bukti yang diberikan benar, maka PT. Garuda menetapkan ganti rugi yang akan diberikan, tetapi bila semua bukti yang diberikan tidak sesuai atau tidak benar maka PT. Garuda berhak untuk tidak bertanggung jawab atau berhak untuk tidak memberikan ganti rugi.
- Bila ganti rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu disetujui oleh kedua beleh pihak, maka PT. Garuda siap untuk membayar sesuai dengan kesepakatan bersama mengenai cara pembayaran dan jangka waktunya, tetapi bila ganti rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu tidak disetujui oleh pihak penumpang maka penumpang dapat mengajukan gugatan di pengadilan atau bila alat bukti yang diajukan dianggap tidak benar oleh pihak PT. Garuda maka itupun dapat diajukan gugatan ke pengadilan.
- Bila tidak ada kesepakatan antara pihak korban kecelakaan pesawat udara dengan pihak PT. Garuda mengenai besarnya ganti rugi sehingga harus melalui pengadilan, maka proses pemberian ganti rugi adalah :
- Pihak korban kecelakaan pesawat udara yang merasa tidak puas atau dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.
- Penggugat harus memenuhi persyaratan untuk mengajukan klaim ganti rugi yang telah diterbitkan oleh pengadilan (telah dibicarakan pada “Prosedur pengajuan claim ganti rugi”).
- Setelah ada putusan pengadilan, maka putusan tersebut diserahkan kepada kedua belah pihak untuk dilaksanakan, dalam putusan tersebut disebutkan besarnya ganti rugi yang harus diberikan PT. Garuda, cara pembayarannya dan jangka waktu pembayarannya.
- Pihak korban kecelakaan tersebut mengisi kembali formulir yang disediakan PT. Garuda mengenai data atau identitasnya.
- Pihak PT. Garuda memasukkan dan memproses formulir tersebut beserta putusan pengadilan.
- Kemudian pihak PT. Garuda slap untuk membayar ganti rugi sesuai dengan putusan pengadilan tersebut.
Pembayaran ganti rugi yang diberikan
pihak PT. Garuda dilakukan dalam bentuk uang rupiah dan langsung
dibayarkan kepada orang yang berhak, atau orang yang bersangkutan.
Pembayaran ganti rugi kepada ahli waris ialah PT. Garuda rnembayar
langsung hanya kepada salah seorang wakil diantara mereka yang kemudian
pembagian selanjutnya mereka atur sendiri menurut fatwa waris dari
pengadilan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari semua uraian diatas tersebut maka penulis menyinpulkan beberapa hal yaitu :
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992
tentang Penerbangan, pasal yang mengatur tanggungjawab diatur dalam
pasal 43 ayat (1), yang berbunyi “Perusahaan pengangkutan udara yang
melakukan kegiatan angkutan bertanggungjawab atas :
- Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut
- Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut.
- Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut”
Oleh karena itu, menurut hemat penulis
pada kasus kecelakaan pesawat tersebut maka perusahaan penerbangan harus
bertanggungjawab terhadap korban kecelakaan pesawat udara melalui
perusahaan asuransi yang ditunjuk pihak PT. Garuda Indonesia, dimana
para korban dapat mengajukan klaim dengan cara menyerahkan data-data
tentang kerugian yang dideritanya.
Pembayaran ganti rugi yang diberikan
pihak PT. Garuda dilakukan dalam bentuk uang rupiah dan langsung
dibayarkan kepada orang yang berhak, atau orang yang
bersangkutan. Pembayaran ganti rugi kepada ahli waris ialah PT. Garuda
rnembayar langsung hanya kepada salah seorang wakil diantara mereka yang
kemudian pembagian selanjutnya mereka atur sendiri menurut fatwa waris
dari pengadilan.
B. Saran
Mengingat besarnya akibat dari kecelakaan
pesawat terbang, maka perlu ditentukan besarnya gantirugi ditingkat
internasional secara detail dan berlaku secara universal. Memang sulit
membuat hal seperti ini, namun semua akibat harus dikorelasikan atau
diperhitungkan dengan masa depan korban kecelakaan tersebut dan
keluargany serta hal-hal yang secara rasional akan didapat atau
diperoleh yang bersangkutan selama masa produktif oleh korban.
Negara seharusnya sebagai auditor bagi
penyelenggara penerbangan di wilayah hukumnya, perlu ditentukan setiap
besaran yang timbul akibat kecelakaan. Sama hal nya dengan memiliki
asuransi bagi seorang individu untuk menjaga hal-hal yang tidak
diinginkan bagi diri sendiri dan keluarga.
Negara patut menyampaikan kepada
masyarakat dengan mengumumkannya pada media skala nasional atau di board
pengumuman dimana pesawat tersebut berangkat. Hal ini perlu sebagai
konsekuensi bagi penumpang yang tetap memilih angkutan udara dengan
alasan waktu tempuh yang sangat singkat.
kasus kecelakaan sriwijaya di pontianak bulan juni awal apakah ada kompensasi untuk penumpang?
BalasHapusPerusahaan pengangkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan bertanggungjawab atas :
BalasHapusKematian atau lukanya penumpang yang diangkut, Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut”