Kejahatan
Korporasi; kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja
terhadap korporasi, korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan
untuk melakukan kejahatan
Pada awalnya korporasi atau badan hukum (rechtpersoon)
adalah subjek yang hanya dikenal di dalam hukum perdata. Apa yang
dinamakan badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan
menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek
hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon).
Dengan berjalannya waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang
mengarah ke globalisasi dimana memberikan peluang yang besar akan
tumbuhnya perusahaan-perusahaan transnasional,
maka peran dari korporasi makin sering kita rasakan bahkan banyak
mempengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia. Dampak yang kita rasakan
menurut sifatnya ada dua yaitu dampak positf dan dampak negatif. untuk
yang berdampak positif, kita sependapat bahwa itu tidak menjadi masalah
namun yang berdampak negatif inilah yang saat ini sering kita rasakan.
Tahun 1984, terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide India Limited, di Bhopal India. Tragedi tersebut kita kenal dengan Tragedi Bhopal,
kejadian tersebut terjadi akibat buruknya sistem pengamanan dan
tindakan penghematan baiaya yang berlebihan yang dilakukan oleh
perusahaan tersebut. efek dari peristiwa tersebut dapat dirasakan hingga
20 tahun.
Tragedi
Bhopal hanyalah sebagian kecil dari peristiwa yang diakibat oleh
kegiatan korporasi di dunia ini. Masih banyak lagi contoh-contoh yang
menunjukkan dampak negatif dari kegiatan korporasi. Di Indonesia mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa munculnya sumber lumpur di sidoarjo yang diindikasikan disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas.
Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat
terendam lumpur, belum lagi industri-industri disekitar semburan lumpur
yang harus tutup akibat tidak bisa berproduksi yang mengakibatkan
ribuan orang kehilangan pekerjaannya.
Akibat
semakin dirasakannya dampat negatif yang disebabkan oleh kegiatan
korporasi, maka negara-negara maju khususnya yang perekonomiannya baik
mulai mencari cara untuk bisa meminimalisir atau mencegah dampak
tersebut salahsatunya dengan menggunakan istrumen hukum pidana (bagian
dari hukum publik). Sebenarnya kejahatan korporasi (corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi. Di kriminologi sendiri corporate crime merupakan bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime). White collar crime sendiri diperkenalkan oleh pakar kriminologi terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato bersejarahnya yang dipresentasikan “…at the thirty-fourth annual meeting of the American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939“. semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut.
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime,
banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya
hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin
[[universitas delinquere non potest]] (korporasi tidak mungkin
melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan
korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukummens rea) selain adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal dengan [[actus non facit reum, nisi mens sit rea]].
yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral
yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur
kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan adanya
kesalahan (
Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran corporate crime. Menurut Mardjono Reksodiputro
ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana
korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain)
yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang
kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat beliau, hal yang pertama
untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga
perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” . Dengan asas
tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi,
diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri.
Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana
gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan
perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader) namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku fungsional” (functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas
bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan
maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai
keasalahan korporasi.
Di negara-negara Common Law System seperti Amerika, Inggris, dan Kanada upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri. Menurut Remy Sjahdeini
ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut
adalah doctrine of strict liability dan [[doctrine of vicarious liability]]. Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana
dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya
kesalahan sedangkan menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan
adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang
dilakukan, misalnya oleh A kepada B.
Referensi: –
Reksodiputro, Mardjono. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan.
(1997) – Sahetapy. Kejahatan Korporasi. (1993) – Setiyono. Kejahatan
Korporasi: analisis viktimologi dan pertanggungjawaban korporasi dalam
hukum pidana indonesia. (2005) – Sjahdeini, Remy. Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi. (2006)
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah