Korupsi merupakan permasalah mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, tergambar adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi. Retorika anti korupsi tidak cukup ampuh untuk memberhentikan praktek tercela ini. Peraturan perundang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat oleh pemerintah, menjadi meaning less, apabila tidak dibarengi dengan kesungguhan untuk manifestasi dari peraturan perundang-undangan yang ada. Politik hukum tidak cukup, apabila tidak ada recovery terhadap para eksekutor atau para pelaku hukum. Konstelasi seperti ini mempertegas alasan dari politik hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak lebih hanya sekedar memenuhi meanstream yang sedang terjadi.
A. Korupsi dan Politik
Hukum Ekonomi
Korupsi merupakan permasalah mendesak yang harus diatasi, agar
tercapai pertumbuhan dan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang
korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media massa baik cetak maupun
elektronik, tergambar adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi.
Retorika anti korupsi tidak cukup ampuh untuk memberhentikan praktek tercela
ini. Peraturan perundang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat
oleh pemerintah, menjadi meaning less, apabila tidak dibarengi dengan
kesungguhan untuk manifestasi dari peraturan perundang-undangan yang ada.
Politik hukum tidak cukup, apabila tidak ada recovery terhadap para eksekutor
atau para pelaku hukum. Konstelasi seperti ini mempertegas alasan dari politik
hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak lebih hanya sekedar memenuhi
meanstream yang sedang terjadi.
Dimensi politik hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau “enactment
policy”, merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di Negara berkembang,
dimana peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh
pemerintah, penguasa tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif.
Dan konsep perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominan terjadi di
Indonesia, yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui
kelemahan perundang-undangan. Lihat saja Undang-undang bidang ekonomi hasil
analisis Hikmahanto Juwana, seperti Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang
Pasar Modal, Undang-undang Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU
Kepailitan, UU Perbankan, UU Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen, UU
Jasa Konstruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU Arbitrase, UU
Telekomunikasi, UU Fidusia, UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri dan banyak UU
bidang ekonomi lainnya. Hampir semua peraturan perundang-undangan tersebut
memiliki dimensi kebijakan politik hukum “ kebijakan pemberlakuan”, dan
memberikan ruang terhadap terjadinya praktek korupsi.
Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa Negara-negara industri tidak
dapat lagi menggurui Negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena
melalui korupsilah sistem ekonomi-sosial rusak, baik Negara maju dan
berkembang. Bahkan dalam bukunya “The Confesion of Economic Hit Man” John
Perkin mempertegas peran besar Negara adidaya seperti Amerika Serikat melalui
lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia dan perusahaan Multinasional menjerat
Negara berkembang seperti Indonesia dalam kubangan korupsi yang merajalela dan terperangkap
dalam hutang luar negeri yang luar biasa besar, seluruhnya dikorup oleh
penguasa Indonesia saat itu. Hal ini dilakukan dalam melakukan hegemoni
terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia, dan berhasil. Demokratisasi dan
Metamorfosis Korupsi Pergeseran sistem, melalui tumbangnya kekuasaan icon orde
baru, Soeharto. Membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokratisasi di
Indonesia. Reformasi, begitu banyak orang menyebut perubahan tersebut. Namun
sayang reformasi harus dibayar mahal oleh Indonesia melalui rontoknya fondasi
ekonomi yang memang “Buble Gum” yang setiap saat siap meledak itu. Kemunafikan
(Hipocrasy) menjadi senjata ampuh untuk membodohi rakyat. Namun, apa mau
dinyana rakyat tak pernah sadar, dan terbuai oleh lantunan lembut lagu dan kata
tertata rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulut para pelanjut cita-cita dan
karakter orde baru. Dulu korupsi tersentralisasi di pusat kekuasaan, seiring
otonomi atau desentralisasi daerah yang diikuti oleh desentralisasi pengelolaan
keuangan daerah, korupsi mengalami pemerataan dan pertumbuhan yang signifikan.
Pergeseran sistem yang penulis jelaskan, diamini oleh Susan Rose-Ackerman, yang
melihat kasus di Italy, Rose menjelaskan demokratisasi dan pasar bebas bukan
satu-satunya alat penangkal korupsi, pergeseran pemerintah otoriter ke
pemerintahan demokratis tidak serta merta mampu menggusur tradisi suap-menyuap.
Korupsi ada di semua sistem sosial –feodalisme, kapitalisme, komunisme dan
sosialisme. Dibutuhkan Law effort sebagai mekanisme solusi sosial untuk
menyelesaikan konflik kepentingan, penumpuk kekayaan pribadi, dan resiko
suap-menyuap. Harus ada tekanan hukum yang menyakitkan bagi koruptor. Korupsi
di Indonesia telah membawa disharmonisasi politik-ekonomi-sosial, grafik
pertumbuhan jumlah rakyat miskin terus naik karena korupsi.
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin
mudah ditemukan dipelbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya
nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama
dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual
menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang.
Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat sistem integritas public. Biro
pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi
politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat.
Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan prioritas dan
orientasi yang utama. Dan dua alasan ini menyeruak di Indonesia, pelayanan
publik tidak pernah termaksimalisasikan karena praktik korupsi dan
demokratisasi justru memfasilitasi korupsi. Korupsi dan Ketidakpastian
Pembangunan Ekonomi Pada paragraf awal penulis jelaskan bahwa korupsi selalu
mengakibatkan situasi pembangunan ekonomi tidak pasti. Ketidakpastian ini tidak
menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang sehat. Sektor swasta
sulit memprediksi peluang bisnis dalam perekonomian, dan untuk memperoleh
keuntungan maka mereka mau tidak mau terlibat dalam konspirasi besar korupsi tersebut.
High cost economy harus dihadapi oleh para pebisnis, sehingga para investor
enggan masuk menanamkan modalnya disektor riil di Indonesia, kalaupun investor
tertarik mereka prepare menanamkan modalnya di sektor financial di pasar uang.
Salah satu elemen penting untuk merangsang pembangunan sektor
swasta adalah meningkatkan arus investasi asing (foreign direct investment).
Dalam konteks ini korupsi sering menjadi beban pajak tambahan atas sektor
swasta. Investor asing sering memberikan respon negatif terhadap hali ini(high
cost economy). Indonesia dapat mencapai tingkat investasi asing yang optimal,
jika Indonesia terlebih dahulu meminimalisir high cost economy yang disebabkan
oleh korupsi. Praktek korupsi sering dimaknai secara positif, ketika perilaku
ini menjadi alat efektif untuk meredakan ketegangan dan kebekuan birokrasi
untuk menembus administrasi pemerintah dan saluran politik yang tertutup.
Ketegangan politik antara politisi dan birokrat biasanya efektif diredakan
melalui praktek korupsi yang memenuhi kepentingan pribadi masing-masing.
Pararel dengan pendapat Mubaryanto, yang mengatakan “Ada yang pernah menyamakan
penyakit ekonomi inflasi dan korupsi. Inflasi, yang telah menjadi hiperinflasi
tahun 1966, berhasil diatasi para teknokrat kita. Sayangnya sekarang tidak ada
tanda-tanda kita mampu dan mau mengatasi masalah korupsi, meskipun korupsi
sudah benar-benar merebak secara mengerikan. Rupanya masalah inflasi lebih
bersifat teknis sehingga ilmu ekonomi sebagai monodisiplin relatif mudah
mengatasinya. Sebaliknya korupsi merupakan masalah sosial-budaya dan politik,
sehingga ilmu ekonomi sendirian tidak mampu mengatasinya. Lebih parah lagi ilmu
ekonomi malah cenderung tidak berani melawan korupsi karena dianggap “tidak
terlalu mengganggu pembangunan”. Juga inflasi dianggap dapat “lebih
menggairahkan” pembangunan, dapat “memperluas pasar” bagi barang-barang mewah,
yang diproduksi. “Dunia usaha memang nampak lebih bergairah jika ada korupsi”!
Apapun alasannya, korupsi cenderung menciptakan inefisiensi dan pemborosan
sektor ekonomi selalu terjadi. Output yang dihasilkan tidak sebanding dengan
nilai yang dikeluarkan, ancaman inflasi selalu menyertai pembangunan ekonomi.
GDP turun drastis, nilai mata uang terus tergerus. Akibat efek multiplier dari
korupsi tersebut. Mubaryanto menjelaskan, Kunci dari pemecahan masalah korupsi
adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan. Korupsi harus dianggap menghambat
pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika
sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislatif di pusat dan di
daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota
DPR/DPRD) adalah wakil rakyat. Jika wakil-wakil rakyat sudah “berjamaah” dalam
berkorupsi maka tindakan ini jelas tidak mewakili aspirasi rakyat, Jika sejak
krisis multidimensi yang berawal dari krismon 1997/1998 ada anjuran serius agar
pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak lagi pada konglomerat),
dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka ini berarti harus
ada keadilan politik.
Keadilan ekonomi dan keadilan sosial sejauh ini tidak terwujud di
Indonesia karena tidak dikembangkannya keadilan politik. Keadilan politik
adalah “aturan main” berpolitik yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi
seluruh warga negara. Kita menghimbau para filosof dan ilmuwan-ilmuwan sosial,
untuk bekerja keras dan berpikir secara empirik-induktif, yaitu selalu
menggunakan data-data empirik dalam berargumentasi, tidak hanya berpikir secara
teoritis saja, lebih-lebih dengan selalu mengacu pada teori-teori Barat. Dengan
berpikir empirik kesimpulan-kesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung
bermanfaat bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan masa sekarang.
Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama
masih sangat banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan.
Negara kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk
memberantas praktek korup maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam
jangka pendek maupun panjang. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa skandal
ekonomi dan korupsi sering terjadi dibanyak Negara kaya dan makmur dan juga
terjadi dari kebejatan moral para cleptocrasy di Negara-negara miskin dan
berkembang seperti Indonesia. Pembangunan ekonomi sering dijadikan alasan untuk
menggadaikan sumber daya alam kepada perusahaan multinasional dan Negara adi
daya yang didalamnya telah terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundit-pundi
harta bagi kepentingan politik dan pribadi maupun kelompoknya.
B. Korupsi dan Desentralisasi
Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling
mencolok setelah reformasi digulirkan. Desentralisasi di Indonesia oleh banyak
pengamat ekonomi merupakan kasus pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia,
sehingga pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi
studi banyak ekonom dan pengamat politik di dunia. Kompleksitas permasalahan
muncul kepermukaan, yang paling mencolok adalah terkuangnya sebagian
kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislatif daerah. Hal ini
merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan
sosial-politik-ekonomi di Indonesia. Pemerintah daerah menjadi salah satu motor
pendobrak pembangunan ekonomi. Namun, juga sering membuat makin parahnya high
cost economy di Indonesia, karena munculnya pungutan-pungutan yang lahir
melalui Perda (peraturan daerah) yang dibuat dalam rangka meningkatkan PAD
(pendapatan daerah) yang membuka ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka
tidak sadar, karena praktek itulah, investor menahan diri untuk masuk ke
daerahnya dan memilih daerah yang memiliki potensi biaya rendah dengan sedikit
praktek korup. Akibat itu semua, kemiskinan meningkat karena lapangan pekerjaan
menyempit dan pembangunan ekonomi di daerah terhambat. Boro-boro memacu PAD.
Terdapat beberapa bobot yang menentukan daya saing investasi daerah. Pertama,
faktor kelembagaan. Kedua, faktor infrastruktur. Ketiga, faktor sosial –
politik. Keempat, faktor ekonomi daerah. Kelima, faktor ketenagakerjaan. Hasil
penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menjelaskan
pada tahun 2002 faktor kelembagaan, dalam hal ini pemerintah daerah sebagi
faktor penghambat terbesar bagi investasi hal ini berarti birokrasi menjadi
faktor penghambat utama bagi investasi yang menyebabkan munculnya high cost
economy yang berarti praktek korupsi melalui pungutan-pungutan liar dan dana
pelicin marak pada awal pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah
tersebut. Dan jelas ini menghambat tumbuhnya kesempatan kerja dan pengurangan
kemiskinan di daerah karena korupsi di birokrasi daerah. Namun, pada tahun 2005
faktor penghambat utama tersebut berubah. Kondisi sosial-politik dominan
menjadi hambatan bagi tumbuhnya investasi di daerah.
Pada tahun 2005 banyak daerah melakukan pemilihan kepala daerah
(Pilkada) secara langsung yang menyebabkan instabilisasi politik di daerah yang
membuat enggan para investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Dalam situasi
politik seperti ini, investor lokal memilih menanamkan modalnya pada ekspektasi
politik dengan membantu pendanaan kampanye calon-calon kepala daerah tertentu,
dengan harapan akan memperoleh kemenangan dan memperoleh proyek pembangunan di
daerah sebagai imbalannya. Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus
pembangunan ekonomi, justru hanya akan memperbesar pengeluaran pemerintah
(government expenditure) karena para investor hanya mengerjakan proyek-proyek
pemerintah tanpa menciptakan output baru diluar pengeluaran pemerintah (biaya
aparatur negara). Bahkan akan berdampak pada investasi diluar pengeluaran
pemerintah, karena untuk meningkatkan PAD-nya mau tidak mau pemerintah daerah
harus menggenjot pendapatan dari pajak dan retrebusi melalui berbagai Perda
(peraturan daerah) yang menciptakan ruang bagi praktek korupsi. Titik tolak pemerintah
daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi penyebab munculnya
high cost economy yang melahirkan korupsi tersebut karena didukung oleh
birokrasi yang njelimet.
Seharusnya titik tolak pemerintah daerah adalah pembangunan
ekonomi daerah dengan menarik investasi sebesar-besarnya dengan merampingkan
birokrasi dan memperpendek jalur serta jangka waktu pengurusan dokumen usaha,
serta membersihkan birokrasi dari praktek korupsi. Peningkatan PAD (Pendapatan
Asli Daerah), pengurangan jumlah pengangguran dan kemiskinan pasti mengikuti.
D. Memberantas Korupsi demi Pembangunan Ekonomi
Selain menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghambat pengembangan
sistem pemerintahan demokratis. Korupsi memupuk tradisi perbuatan yang
menguntungkan diri sendiri atau kelompok, yang mengesampingkan kepentingan
publik. Dengan begitu korupsi menutup rapat-rapat kesempatan rakyat lemah untuk
menikmati pembangunan ekonomi, dan kualitas hidup yang lebih baik. Pendekatan
yang paling ampuh dalam melawan korupsi di Indonesia. Pertama, mulai dari
meningkatkan standar tata pemerintahan – melalui konstruksi integritas
nasional. Tata pemerintahan modern mengedepankan sistem tanggung gugat, dalam
tatanan seperti ini harus muncul pers yang bebas dengan batas-batas undang-undang
yang juga harus mendukung terciptanya tata pemerintah dan masyarakat yang bebas
dari korupsi. Demikian pula dengan pengadilan. Pengadilan yang merupakan bagian
dari tata pemerintahan, yudikatif, tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun,
memiliki ruang kebebasan menegakkan kedaulatan hukum dan peraturan. Dengan
demikian akan terbentuk lingkaran kebaikan yang memungkin seluruh pihak untuk
melakukan pengawasan, dan pihak lain diawasi. Namun, konsep ini penulis akui
sangat mudah dituliskan atau dikatakan daripada dilaksanakan. Setidaknya
dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun pilar-pilar bangunan
integritas nasional yang melakukan tugas-tugasnya secara efektif, dan berhasil
menjadikan tindakan korupsi sebagai perilaku yang beresiko sangat tinggi dengan
hasil yang sedikit.
Konstruksi integritas nasional, ibarat Masjidil Aqsha yang suci yang ditopang
oleh pilar-pilar peradilan, parlemen, kantor auditor-negara dan swasta,
ombudsman, media yang bebas dan masyarakat sipil yang anti korupsi. Diatas
bangunan nan suci itu ada pembangunan ekonomi demi mutu kehidupan yang lebih
baik, tatanan hukum yang ideal, kesadaran publik dan nilai-nilai moral yang
kokoh memayungi integritas nasional dari rongrongan korupsi yang menghambat
pembangunan yang paripurna. Kedua, hal yang paling sulit dan fundamental dari
semua perlawanan terhadap korupsi adalah bagaimana membangun kemauan politik
(political will). Kemauan politik yang dimaksud bukan hanya sekedar kemauan
para politisi dan orang-orang yang berkecimpung dalam ranah politik. Namun, ada
yang lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan politik yang
termanifestasikan dalam bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan sosial
masyarakat sipil atau warga Negara dari berbagai elemen dan strata sosial. Sehingga
jabatan politik tidak lagi digunakan secara mudah untuk memperkaya diri, namun
sebagai tangggung jawab untuk mengelola dan bertanggung jawab untuk merumuskan
gerakan mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Biasanya resiko
politik merupakan hambatan utama dalam melawan gerusan korupsi terhadap
pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, mengapa kesadaran masyarakat
sipil penting?.
Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, para politisi dan pejabat Negara
tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan sosial-politik
dari masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk
menahan diri dari praktek korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara
sosial-politik akan memilih pimpinan (politisi) dan pejabat Negara yang
memiliki integritas diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan merancang
kebijakan kearah pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil
yang cerdas secara sosial-politik pula pilar-pilar peradilan dan media massa
dapat diawasi sehingga membentuk integritas nasional yang alergi korupsi.
Ketika Konstruksi Integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasan
sosial-politik masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus
dengan efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk memberikan
pelayanan publik yang memadai.masyarakat sipil pula yang memberi ruang dan
menciptakan ruang pembangunan ekonomi yang potensial. Masyarakat melalui para
investor akan memutuskan melakukan investasi yang sebesar-besarnya karena
hambatan ketidakpastian telah hilang oleh bangunan integritas nasional yang
kokoh. Jumlah output barang dan jasa terus meningkat karena kondusifnya iklim
investasi di Indonesia, karena kerikil-kerikil kelembagaan birokrasi yang
njelimet dan korup telah diminimalisir, kondisi politik stabil dan terkendali
oleh tingginya tingkat kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil.
Para investor mampu membuat prediksi ekonomi dengan ekspektasi keuntungan
tinggi. Sehingga dengan begitu pembangunan ekonomi akan memberikan dampak
langsung pada pengurangan jumlah pengangguran dan masyarakat miskin,
peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) masing-masing daerah, peningkatan GDP
dan pemerintah akan mampu membangun sisten jaminan sosial warganya melalui
peningkatan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang memberikan dampak
langsung pada peningkatan kecerdasan masyarakat sipil.
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah