SELAMAT DATANG DI BLOG IRWAN GRAVES TEMPAT SHARING MASALAH HUKUM DAN LAIN-LAIN SYA MENYEDIAKAN BERBAGAI MAKALAH BUAT KAWAN SEMUA SILAHKAN TALUSURI SETIAP POSTING
BUAT KAWAN SEMUA JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DARI ARTIKEL YANG SAYA POSTING
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hukum sebagai kaidah sosial, tidak
berarti bahwa pergaulan antar manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum.
Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral
manusia itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah sosial,
kesopanan, adat istiadat dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan
kaidah-kaidah sosial lainnya ini, terdapat hubungan jalin menjalin yang erat,
yang satu memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi
dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.
Teaching order finding disorder, mempelajari keteraturan (hukum) akan menemukan sebuah
ketidakteraturan. Mungkin inilah istilah yang tepat untuk menggambarkan bahwa
hukum di negeri ini memang kacau. Berbagai masalah dalam dunia hukum seperti
mafia peradilan, korupsi, kesewenang-wenangan, dan suap seolah menjadi hal yang
biasa dalam penegakan hukum di Indonesia.
Hal tersebut dikarenakan kita tidak berani keluar dari alur tradisi penegakan
hukum yang semata-mata bersandarkan pada peraturan perundang-undangan.
Paradigma positivisme hukum memang
menjadi pegangan setiap ahli hukum (sarjana). Hal ini tentunya tidak dapat
dipersalahkan begitu saja sebab paradigma positivisme memang merupakan
paradigma pemikiran hukum yang mendominasi. Positivisme lahir dalam sistem
hukum eropa kontinental. Bermula dari pemikiran ahli ilmu sosial prancis Henri
Saint Simon dan Auguste Comte. Positivisme dalam paradigma hukum menyingkirkan
pemikiran metafisis yang abstrak. Setiap norma hukum harus diwujudkan ke dalam
sebuah norma yang konkrit dan nyata.
Hukum dan keadilan adalah dua hal
yang tidak dapat dipisahkan, untuk itu dalam menegakkan keadilan kepastian
hukum memiliki peranan yang sangat urgen. Didalam aliran positivisme kepastian hukum merupakan tujuan utama,
sedangkan keadilan dan ketertiban menjadi hal yang dinomor dua kan. Diskursus antara
kepastian hukum dan keadilan telah lama mengemuka, dengan aliran positivime
tersebut hukum seolah-olah terpisah dari nilai-nilai keadilan yang ada ditengah
masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah renovasi baru terhadap hukum yang
berlaku ditengah-tengah masyarakat tanpa menghilangkan kepastian hukum. Aliran
Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran
yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi
sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.
Menurut paham positivisme, setiap
norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang
positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret
antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi
dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat
keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege
atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum,
dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang
bukan terbilang hukum.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto
aliran positivis mengklaim bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu
pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang semestinya
tertib mengikuti norma-norma kausalitas), maka mereka yang menganut aliran ini
mencoba menuliskan kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya sebagai
perundang-undangan.
Soetandyo memaparkan lebih lanjut
bahwa apapun klaim kaum yuris positivis, mengenai teraplikasinya hukum
kausalitas dalam pengupayaan tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara
bangsa, namun kenyataannya menunjukkan bahwa kausalitas dalam kehidupan manusia
itu bukanlah kausalitas yang berkeniscayaan tinggi sebagaimana yang bisa
diamati dalam realitas-realitas alam kodrat yang mengkaji “prilaku” benda-benda
anorganik. Hubungan-hubungan kausalitas itu dihukumkan atau dipositifipkan
sebagai norma dan tidak pernah dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa
bertahan atau dipertahankan sebagai realitas kausalitas manakala ditunjang oleh
kekuatan struktural yang dirumuskan dalam bentuk ancaman-ancaman pemberian sanksi.
Terkait dengan kondisi di Indonesia
maka persoalannya tidak bisa terlepas dari kenyataan sejarah dan perkembangan
hukum, sehingga dapat dipahami bila saat ini terdapat perbedaan cara pandang
terhadap hukum di antara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas
penegakan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara
pandang yang tidak sama tentang apayang dimaksud hukum dan apa yang menjadi
sumber hukum. Para aparat penegak hukum
terperangkap kedalam pola pikir postivisme sehingga menganggap hukum sebatas
undang-undang.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalahnya adala sebagai
berikut :
- Bagaimana filosopi pemikiran positivisme hukum?
- Bagaimana kritik terhadap aliran positivisme hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filosofi Positivisme Hukum
Positivisme
hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan
positivisme (ilmu). Dalam defenisinya yang paling tradisional tentang hakikat
hukum, dimaknai sebagai norma-norma positif falam sistem perundang-undangan.
Dari segi ontologinya, pemaknaan tersebut mencerminkan penggabungan antara
idealisme dan materialisme. Oleh Bernard Sidharta dikatakan, penjelasan seperti
itu mengacu pada teori hukum kehendak (the will theors of law) dari Jhon
Austin dan
teori hukum murni Hans Kelsen. Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk
dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada positivisme hukum,
aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret . masalah validitas
(legitimasi) aturan tetap diberi perhatian, tetapi standar regulasi yang
dijadikan acuannya adalah norma-norma hukum.
Menurut
E. Sumaryono, positivisme hukum paling tidak dapat dimaknai sebagai berikut:
- Aliran pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara eklusif, dan berakar pada peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku saat ini.
- Sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrument didalam sebuah negara.
Menurut
Lili Rasyidi, prinsip-prinsip dasar positivime hukum adalah:
- suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (menurut Comte dan Spenser), bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny), dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dalam instansi yang berwenang.
- Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk fromalnya; bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.
- Isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.
Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari
positivisme tersebut sebagai berikut:
- hukum adalah perintah
- Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, histories dan penilaian kritis.
- keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.
- Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian
- Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan.
Salah seorang pengikut positivisme
Hukum john Austin, seorang ahli hukum Inggris yang terkenal dengan ajaran analytical
Jurisprudence menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan
yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah
sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya lansung,
yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi dalam
suatu negara, dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama. Hukum yang
bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun jelas dirasakan tidak
adil.
Menurut Austin, hukum terlepas dari
soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum
tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem
hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang
diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah
dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Austin juga menegaskan bahwa hukum
dipisahkan dari keadilan dan hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik
atau buruk, tetapi lebih disarkan kepada kekuasaan dari kekuatan penguasa. Austin membagi hukum
kedalam dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan, dan hukum yang dibuat
oleh manusia. Kemudian hukum yang dibuat oleh manusia tersebut dibedakan lagi
antara hukum yang sebenarnya dan hukum tidak sebenarnya.
Hukum yang sebenarnya terdiri atas
hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya dan hukum yang
disusun oleh individu-individu guna melaksanakan hak-hak yang diberikan
kepadanya. Hukum yang sebenarnya mengandung empat unsur yaitu: perintah,
sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Sedangkan hukum yang tidak sebenarnya ialah
bukan hukum yang merupakan hukum yang secara lansung berasal dari penguasa,
tetapi peraturan-peraturan yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan ataupun
badan-badan tertentu.
Menurut Thomas Aquino, hukum
positif dinamakan Undang-Undang Manusia
(Menschelijke Wet) adalah hukum yang
ada dan berlaku. Menurutnya,
Undang-undang tersebut tidak didasarkan alam, akan tetapi didasarkan akal.
Undang-undang tersebut harus mengabdi kepentingan umum karena undang-undang
adalah suatu peraturan tertentu dari akal yang bertujuan untuk mengabdi kepentingan
umum dan berasal dari satu “kekuasaan” yang sebagai penguasa tertinggi harus
memelihara kesejahteraan masyarakat. Hukum positif aalah sesuatu yang perlu
untuk umat manusia, hukum positif kebanyakan ditaati oleh manusia dengan
sukarela dengan jalan peringatan-peringatan dan tidak oleh karena paksaan oleh
undang-undang.
B.
Kritik Terhadap Positivisme
Hukum.
Hukum pada saat berhadapan dengan alam dan kehidupan sosial yang
berkembang, harus dapat berlaku secara tidak stagnan dan juga harus fleksibel mengikuti
situasi dan kondisi yang dibutuhkan agar selalu dapat mengatur dan menciptakan
hasil yang berkeadilan. Dengan begitu pekerjaan penafsiran bukan semata-mata
membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca
kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat.
Salah satu penyebab kemandegan yang
terjadi didalam dunia hukum adalah
karena masih terjerembab kepada
paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis
dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang
senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun
pada peristiwa hukumnya. Sehingga hukum
hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas
undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai
sebagai sebuah hukum.
Hukum merupakan bagian dari karya
cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia
tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang
sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan
manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk
rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan,
ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.
Aliran Positivisme hukum ini sangat
ditentang oleh aliran Sosiological
Yurisprudence, Sosiological
Yurisprudence adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang antara lain
dipelopori oleh Eugen Ehrlich. Menurutnya, bahwa titik pusat dari perkembangan
hukum, tidak terletak pada pembuat undang-undang/ilmu hukum, dan tidak pula
terletak pada keputusan-keputusan hakim, melainkan pada masyarakat itu sendiri.
Pada dasarnya norma hukum selalu bersumber dari kenyataan sosial, yang
berdasarkan keyakinan akan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sanksi yang
berasal dari penguasa untuk mempertahankan hukum tidaklah esensial, tetapi
hanya merupakan pelengkap.
Sesuai dengan pendapatnya di atas,
menurut Eugen Ehrlich, sumber hukum yang terpenting bukanlah kehendak penguasa,
tetapi kebiasaan. Jadi dalam hal ini Eugen Ehrlich sependirian dengan Von
Savigny, tetapi ia menggunakan istilah yang lebih realistis yakni
kenyataan-kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Menurut tokoh ilmu hukum realisme
F.S.Cohen, ilmu hukum fungsional merumuskan pengertian-pengertian,
pertauran-peraturan dan lembaga-lembaga. Hukum dalam istilah-istilah adalah
putusan hakim atau tindakan kekuasaan-kekuasaan Negara lainnya dan sebagai bidang
ilmu hukum sosiologis (Sosiological Yurisprudence) penilaian hukum dalam
istilah tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh hukum. Gerakan realisme
dalam ilmu hukum memperlengkapi aliran Sosiological Idealisme, karena gerakan
idealisme membatasi pada pengamatan terjadinya, berlakunya dan tugasnya akibat
hukum secara alamiah, sedangkan ahli-ahli pikir dan aliran Sosiologis sebagai Pound, Cardozo, Geny, Heck, mengarahkan
perhatian mereka pada tujuan hukum (The
Ends Of Law).
Indonesia
sebagai negara yang besar serta kaya akan budaya dan adat istiadat yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki kehidupan
sosial yang berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada.
Norma-norma yang ada berupa hukum adat yang masih hidup ditengah-tengah
masyarakat. Hal ini telah ada sebelum datangnya Belanda menjajah Indonesia dan
menerapkan positivisme dalam dunia hukum.
Dengan
adanya Unifikasi dan Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi hukum adat dan
hukum kebiasaan-kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk dapat
berlaku ditengah-tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal berupa living
law terhimpit oleh undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Sehingga
perlawanan-perlawanan terhadap hukum dan putusan pengadilan di Indonesia
sampai hari ini masih terjadi karena hukum yang terkristal dalam undang-undang
dan putusan pengadilan sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang berlaku
ditengah masyarakat.
Perkembangan
masyarakat berkembang dengan sangat cepat, sehingga untuk mengimbangi
perkembangannya tersebut hukum harus selalu mengikuti perkembangan masyarakat.
Hukum yang ada harus bisa menjadi pedoman dan solusi terhadap semua
permasalahan yang terjadi pada saat tersebut. Sedangkan didalam aliran
positivisme hukum terkunkung dalam sebuah prosedur yang rumit., sehingga untuk
melakukan sebuah pembaharuan hukum selalu tertinggal oleh perkembangan
masyarakat. Al hasil hukum yang ada tidak mampu untuk menjawab
tantangan-tantangan zaman.
Menurut Friedmann, hukum sebagai
suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat
terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri
dari: Substansi Hukum (legal substance), yakni menyangkut isi dari
norma/aturan hukumnya; Struktur Hukum (legal structure), yakni
menyangkut sarana dan prasarana hukumnya, termasuk sumber daya aparatur
hukumnya; dan Kultur Hukum (legal culture), yakni menyangkut perilaku
budaya sadar dan taat hukum, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Adapun
budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara
sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses
pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu.
Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan
dari legal substance dan legal structure.
Jadi
menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada
tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah
masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan
hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana
dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa aliran positivisme berusaha
memenjarakan hukum hanya sebatas tekstual.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Dalam paradigma postivistik sistem
hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan
sekedar melindungi kemerdekaan individu (person). Kemerdekaan individu tersebut
senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan
demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan boleh diabaikan. Pandangan
positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kenyataannya sebagai pranata
pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan
deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, melainkan
hanya sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya yang deterministik,
aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya
masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi
tertib masyarakat merupakan suatu keharusan dalam positivisme hukum.
Aliran positivisme banyak menuai
kritik dari para ahli hukum. Tujuan dari positivisme hukum adalah kepastian
hukum. Hukum terpisah dari norma-norma yang hidup didalam masyarakat karena
yang dikatakan hukum adalah peraturan yang sah yang dikeluarkan oleh penguasa.
Sehingga terjadinya deviasi nilai-nilai keadilan, antara keadilan menurut hukum
dan keadilan menurut masyarakat. Sejatinya hukum dan masyarakat adalah dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Hukum harus bersumber dari norma-norma yang hidup
dimasyarakat, karena tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan
keadilan ditengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anthon
F. Susanto, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
Mr.
Kompor, Aliran Positivisme, Perkembangan dan Kritik-Kritiknya, dikutip dari www.mrkompor.blogspot.com
yang diakses pada tanggal 9 Mei 2010
Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas,
22 januari 2010
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang
Education, Yogyakarta, 2010
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka
Belajar, Yogyakarta, 2009
Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan
Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008
Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu
Hukum Bagian IV, Karunika, Jakarta, 1985
Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan
Dinamika Masalahnya, Elsam & Huma, Jakarta, 2002
Wongbanyumas, Menuju Hukum Yang Membebaskan (Hukum
Progresif, Dikutip dari www.fatahilla.blogspot.com yang diakses pada tanggal 7 Mei 2010
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum
Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi
Fakultas Hukum Universitas Padjararan Penerbit BinaCipta, Bandung
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filosofi Positivisme Hukum
B. Kritik Terhadap Positivisme Hukum
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
KATA
PENGANTAR
Bissmillahirahmanirahim
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas
petunjuk dan hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat di selesaikan.
Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu,
penulis menyadari bahwa makalah yang disusun tidaklah sesempurna apa yang di
harapkan dari pembaca. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang
memerlukan.
Kendari, Mei 2012
Penulis
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah