SELAMAT DATANG DI BLOG IRWAN GRAVES TEMPAT SHARING MASALAH HUKUM DAN LAIN-LAIN SYA MENYEDIAKAN BERBAGAI MAKALAH BUAT KAWAN SEMUA SILAHKAN TALUSURI SETIAP POSTING
BUAT KAWAN SEMUA JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DARI ARTIKEL YANG SAYA POSTING
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah.
Kajian terhadap Hukum Agraria sudah
banyak dilakukan oleh berbagai kalangan, baik dalam bentuk buku-buku referensi,
jurnal ilmiah dan di dalam seminar-seminar serta simposium yang bertajuk
Agraria. Tetapi kajian-kajian tersebut tidak begitu fokus mengkaji tentang
sejarah hukum agraria, bagaimana lahirnya hukum agraria di Indonesia sampai
terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960. Bahkan wacana untuk
mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya dalam makalah ini
disebut UUPA, terus dilakukan guna menyesuaikan peraturan-peraturan di bidang
ke-agraria-an yang sudah dianggap tidak mengakomodir perkembangan masyarakat.
Ini membuktikan bahwa hukum – khususnya hukum agararia – terus berkembang
seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masayarakat, untuk itu diperlukan
suatu kajian ilmiah tentang bagaimana rangkaian sejarah (hukum) hukum agraria
Indonesia guna mengetahui setiap perkembangan yang terjadi di bidang agraria.
Dengan demikian setidaknya dari kajian itu dapat diperoleh bahan untuk
dijadikan pegangan dalam melakukan pembaharuan (hukum) terhadap hukum agraria.
Substansi yang akan dibahas di dalam
makalah singkat ini terfokus kepada sejarah hukum agraria sebagai salah satu
bagian yang integral dari sistem hukum Indonesia yang memanikan peranan penting
dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara.
Dalam kajian terhadap hukum agraria ini penulis melakukan kajian dari
pendekatan sejarah. Hal ini penulis anggap penting karena perkembangan hukum
agararia kedepan tidak akan terlepas dari proses dan pergelutan yang
melatarbelakangi lahirnya hukum agraria ini. Lebih lanjut kenapa pendekatan
sejarah hukum ini diperlukan adalah disebabkan beberapa alasan sebagai berikut
:[1]
1. Hukum
tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan kala
dan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formil, yakni bentuk-bentuk
penampakan diri norma-norma hukum, maupun isi norma-norma hukum itu sendiri
(sumber-sumber hukum materil).
2. Norma-norma
hukum dewasa ini seringkali hanya dapat dimengerti melalui sejarah hukum. Henri
De Page penulis sebuah karya penting perihal Traite Elementaire de
Droit Civil yang diterbitkan pada tahun-tahun 1930-1950, mengemukakan
bahwa semakin ia memperdalam studi hukum perdata, semakin ia berkeyakinan bahwa
sejarah hukum, lebih dahulu daripada logika dan ajaran hukum sendiri mampu menjelaskan
mengapa dan bagaimana lembaga-lembaga hukum kita mucul ke permukaan seperti
keberadaannya sekarang ini.
3. Sedikit
banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, pada hakikatnya merupakan
suatu pegangan penting bagi para yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata
umum.
4. Hal
ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi manusia
terhadap perbuatan semena-mena, bahwa hukum diletakkan dalam perkembangan
sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai suatu gejala historis.
Dari berbagai alasan kenapa
pentingnya suatu kajian sejarah hukum, maka penulis menganggap perlu untuk
melakukan kajian terhadap sejarah hukum agraria Indonesia. Dengan demikian
setidaknya dapat dilihat gambaran tentang hukum agrraria Indonesia sebagai
suatu gejala yang tidak terlepas dari proses masa lalu.
Dari uraian di atas, panulis
menuangkan kajian tentang sejarah hukum ini dalam makalah sederhana dengan
judul “Hukum Agraria Indonesia : Sejarah dan Perkembangannya”
B. Identifikasi
Masalah.
Dari uraian latar belakang masalah
di atas, maka masalah yang dikaji dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana
proses sejarah hukum agararia Indonesia sampai dengan terbentuknya UUPA 1960 ?
2. Bagaimana
perkembangan hukum agararia Indonesia dalam konteks kekinian ?
C. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian.
1. Tujuan
Penelitian.
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini,
penulis bertujuan untuk :
a. Mengetahui
proses sejarah dalam lintasan waktu dan kala dalam bidang sejarah hukum
Indonesia.
b. Mengetahui
dan memahami perkembangan yang dialami hukum agraria Indonesia sampai dengan
saat sekarang ini.
2. Kegunaan
Penelitian.
a. Secara
Teoritis; makalah ini diaharapkan berguna untuk memperkaya litretaur kasanah
kajian hukum agraria Indonesia guna kemajuan ilmu pengetahuan hukum khususnya
di bidang hukum agararia Indonesia;
b. Secara
Praktis; makalah ini dapt berguna sebagai sumber kajian berikutnya dalam bidang
hukum ke-agraria-an Indonesia.
BAB II
PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA
A. Pengertian
Agraria.
Boedi Harsono membedakan pengertian
agraria dalam tiga perspektif, yakni arti agraria dalam arti umum, Administrasi
Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria.[4] Pertama dalam perspektif umum,
agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti tanah atau
sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan,
pertanian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan
Ketiga, Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan
pemilikan tanah. Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris agrarianselalu
dairtikan dengan tanah dan dihubungakan dengan usaha pertanian. Sebutan agrarian
laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat
peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang
luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Di Indonesia sebutan agraria di
lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah
pertanian maupun non pertanian.
Tetapi Agrarisch Recht atau
Hukum Agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat
peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam
melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut
merupakan bagian dari hukum administrasi negara.
Sebutan agrarische wet,
agrarische besluit, agrarische inspectiepada departemen Van
Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan Engelbrecht,
bagian agraria pad kementerian dalam negeri, menteri agraria, kementerian
agraira, departemen agraria, menteri pertanian dan agraria, departemen
pertanian dan agraria, direktur jenderak agraria, direktorat jenderal agraria
pada departemen dalam negeri, semuanya menunjukan pengertian demikian.
Dalam tahun 1988 Badan Pertanahan
Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor : 26 Tahun 1988, yang sebagai Lembaga
Pemerintahan Non Departemen bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan. Pemakaian sebutan pertanahan sebagai
nama badan tersebut tidak mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas dan
kewenangan yang sebelumnya ada pada departemen dan direktorat jenderal agraria.
Sebaliknya justru memberikan kejelasan dan penegasan mengenai lingkup
pengertian agraria yang dipakai di lingkungan administrasi pemerintahan. Adapun
administrasi pertanahan meliputi baik tanah-tanah di daratan maupun yang berada
di bawah air, baik air daratan maupun air laut.
Adanya jabatan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam Kabinet Pembagnuan VI, juga
tidak mengubah lingkup pengertian agraria. Sebutan jabatan tersebut tampaknya
untuk menunjukkan, bahwa tugas kewenangan Menteri Negara Agraria adalah lebih
luas dari dan tidak terbatas pada lingkup tugasnya sebagai Kepala Badan
Pertanahan Nasional, yang disebut dalam KEPRES Nomor : 26 Tahun 1988.
Dalam Kepres Nomor : 44 Tahun 1993
ditentukan, bahwa Menteri Negara Agraria bertugas pokok mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan keagrariaan danmenyelenggarakan antar lain fungsi : c.
Mengkoordinasi kegiatan seluruh Instansi Pemerintah yang berhubungan dengan
keagrariaan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah secara menyeluruh.
Dengna adanya fungsi koordinasi Menteri Agraria dulu yang memimpin
Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet Pembanguan VI ada pada
Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Pengertian agraria meliputi bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti
yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang
di atas bumi dan air yang mengandung : tenaga dan unsur-unsur yang dapat
digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang
bersangkutan dengan itu.
Pengertian bumi meliputi permukaan
bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yangberada di bawah air
(Pasal 1 ayat (4) jo.Pasal 4 ayat(1)). Dengan demikian pengertian tanah
meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di
bawah air, termasuk air laut.
Sehubungan dengan itu bumi meliputi
juga apa yang dikenal dengan sebutan Landas Kontinen Indonesia (LKI). LKI ini
merupakan dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di luar perairan wilayah
Republik Indonesia yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor : 4 Prp Tahun
1960, sampai kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih meungkin
diselenggarakan eksplorasi dan sksploitasi kekayaan alam. Penguasaan penuh dan
hak ekslusif atas kekayaan alam di LKI tersebut serta pemilikannya ada
pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang-undang Nomor :1 Tahun 1973)(LN.
1973-1, TLN 2994).
Pengertian air meliputi baik
perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (Pasal 1 ayat (5)). Dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang : Pengairan (LN 1974-65) pengertian
air tidak dipakai dalam arti yang seluas itu. pengertiannya meliputi air yang
terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang meliputi
air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3).
Kekayaan alam yang terkandung di
dalam bumi sidebut bahan-bahan galian, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral,
bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang
merupakan endapan-endapan alam. Undang-undang Nomor :11 Tahun 1967 tentang :
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (LN 1967-227, TLN 2831).
Kekayaan alam yang terkandung di
dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada di dalam perairan
pedalaman dan laut wilayah Indonesia. (Undang-undang Nomor : 9 Tahun 1985
tentang : Perikanan, LN. 1985-46).
Dalam hubungan dengan kekayaan alma
di dalam tubuh bumi dan air tersebut perlku dimaklumi adanya
pengertian dan lembaga Zone Ekonomi Eksklusif, yaitu meliputi jalur perairan
dengan batas terluar 200 mili laut diukur dari garis pangkal laut wilayah
Indonesia. Dalam ZEE ini hak berdaulat untuk melakukamn eksplorasi, eksploitasi
dan lain-lainnya atas segala sumber daya alam hayati dan non hayati yang
terdapat di dasar laut serta tuuh bumi di bawahnya dan air di atasnya, ada pada
Negara Republik Indonesia. (Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1983 tentang : Zone
Ekonomi Eksklusif LN. 1983-44).
Sementara, A.P. Parlindungan
menyatakan bahwa pengertian agraria mempunyai ruang lingkup, yaitu dalam arti
sempit, bisa terwujud hak-hak atas tanah, atupun pertanian saja, sedangkan
Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah mengambil sikap dalam pengertian yang meluas,
yakni bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dari batasan agraria yang diberikan
UUPA dalam ruang lingkupnya di atas mirip dengan pengertian
ruang dalam undang-undang Nomor : 24 Tahun 1992 tentang : Penataan
Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang adalah wadah yang
meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udata sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta
memelihara kelangsungan hidupnya.
Dari uraian pengertian agraria di
atas, maka dapat disimpulkan pengertian agraria dengan membedakan pengertian
agraria dalam arti luas dan pengertian agraria dalam arti sempit. Dalam arti
sempit, agraria hanyalah meliputi bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian
agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini
adalah bukan dalam arti fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu
hak. Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian agraria dalam
arti luas.
B. Pengertian
Hukum Agraria.
Beberapa pakar hukum memberikan
pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hukum agraria, antara lain beberapa
disebutkan di bawah ini.
Subekti dan Tjitro Subono, hukum
agraria adalah keseluruhan ketentuan yang hukum perdata, tata negara, tata
usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang
angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula wewenang yang bersumber
pada huungan tersebut.[5]
Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan
bahwa hukum agraria adalah menjadai bagian dari hukum tata usaha negaram karena
mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang
meliatakan pejabat yang bertugas mengurus masalah agraria.[6]
Daripada itu, sesuai dnegan Pasal 2
ayat (1) UUPA, maka sasaran Hukum Agraria meliputi : bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana
lazimnya disebut sumber daya alam. Oleh karenanya pengertian hukum agraria
menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan
suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas
sumber-sumber daya alam yang meliputi :
1.
Hukum pertanahan, yang mengatur
hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi;
2.
Hukum air, yang mengatur hak-hak
penguasaan atas air;
3.
Hukum pertambangan, yang mengatur
hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang
pokok pertambangan;
4.
Hukum perikanan, yang mengatur
hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air;
5.
Hukum kehutanan, yang mengatur
hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan;
6.
Hukum penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan
oleh Pasal 48 UUPA.
Sedangkan pengertian hukum agraria
dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang
mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Yang dimaksud tanah di sini adalah
sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah, yang dalam penggunaannya
menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada
di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunan tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan
hukum lain yang lebih tinggi.
C. Hukum
Tanah.
Dalam pengertian konteks agraria,
tanah berarti permukaan bumi paling luar berdimensi dua dengan ukuran panjang
dan lebar. Hukum tanah di sini buakan mengatur tanah dalam segala aspeknya,
melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu aspek yuridisnya yang
disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah.
Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu
yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi serta apa yang ada di atasnya
buatan manusia yang disebut fixtures. Walaupun demikian perhatian
utamanya adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada aspek kepemilikan dan
penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam
berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa
tanah dalam artu yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah hak
atas sebagiaan tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan
ukuran panjang dan lebar.
Yang dimaksud dengan hak atas tanah
adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan
dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4
ayat (2) UUPA, kepda pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Hirarki hak-hak atas penguasaan atas
tanah dalam hukum tanah nasional adalah :
1. Hak
bangsa Indonesia atas tanah;
2. Hak
menguasai negara atas tanah;
3. Hak
ulayat masyarakat hukum adat;
4. Hak-hak
perseorangan, meliputi :
a. Hak-hak
atas tanah, meliputi :
1). Hak milik
atas;
2). Hak guna
usaha;
3). Hak guna
bangunan;
4). Hak
pakai;
5). Hak sewa;
6). Hak
membuka tanah;
7). Hak
memungut hasil hutan;
8). Hak-hak
yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan
dalam Pasal 53 (UUPA).
b. Wakaf
tanah hak milik;
c. Hak
jaminan atas tanah (hak tanggungan);
d. Hak
milik atas satuan rumah susun.
Hukum tanah adalah keseluruhan
ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya
mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah
sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkrit, beraspek
publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga
keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan suatu sistem.[7]
Objek hukum tanah adalah hak
penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum;
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan
tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang hak.
2. Hak
penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit;
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan
hak tertentu sebagai obyeknya dan atau orang atau badan hukum tertentu sebagai
subjek pemegang haknya.
Dalam kaitannya dengan hubungan
hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, ada 2 (dua)
macam asas dalam dalam hukum tanah, yaitu : asas pemisahan horisontal dan asas
pelekatan vertikal.
Asas pemisahan horisontal yaitu
suatu asas yang mendasrkan pemilikan tanah dengan memisahakan tanah dari segala
benda yang melekat pada tanah tersebut. Sedangkan asas pelekatan vertikal yaitu
asas yang mendasrkan pemilikan tanah san segala benda yang melekat padanya
sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu.
Asas pemisahan horisontal merupakan
alas atau dasar yang merupakan latar belakang peraturan yang konkrit yang
berlaku dalam bidang hukum pertanahan dalam pengaturan hukum adat dan asas ini
juga dianut oleh UUPA. Sedangkan asas pelekatan vertikal merupakan alas atau
dasar pemikiran yang melandasi hukum pertanahan dalam pengaturan KUHPerdata.
Dalam bukunya, Djuhaendah Hasan
mengemukakan bahwa sejak berlakunya KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara
berdampingan sesuai dengan tata hukum yang berlaku dewasa itu (masih dualistis)
pada masa sebelum adanya kesatuan hukum dalam hukum pertanahan yaitu sebelum
UUPA. Sejak berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II KUHPerdata sepanjang
mengenai bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah dicabut, kecuali tentang
hipotik. Dengan demikian pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah
merupakan satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum
tanah saja yang berlaku yaitu yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat
(lihat Pasal 5 UUPA).[8]
D. Sumber
Hukum Agraria.
1. Sumber
Hukum Tertulis.
a. Undang-Undang
Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Di mana dalam Pasal 33 ayat (3)
ditentukan :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.
b. Undang-undang
Pokok Agraria.
Undang-undangg ini dimuat dalam Undang-undang Nomor :
5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24
September 1960 diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan
penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara nomor 2043.
c. Peraturan
perundang-undangan di bidang agraria :
1). Peraturan
pelaksanaan UUPA
2). Pertauran
yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktik.
d. Peraturan
lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan peraturan/Pasal Peralihan,
masih berlaku.
2. Sumber
Hukum Tidak Tertulis.
a. Kebiasaan
baru yang timbul sesudah berlakunya UUPA, misalnya :
1). Yurisprudensi;
2). Praktik
agraria.
b. Hukum
adat yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-cacatnya telah
dibersihkan.
BAB III
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL
A. Hukum
Agraria Kolonial.
Dari segi berlakunya, Hukum Agraria
di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Hukum
agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum
diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960; dan
2. Hukum
Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.
Dari konsideran UUPA di bawah kata
”menimbang”, dapat diketahui beberapa ciri dari hukum agraria kolonial pada
huruf b, c dan d, sebagai berikut :
1. Hukum
agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan
dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya,
hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan
revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
2. Hukum
agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum
adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
3. Bagi
rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Beberapa ketentuan hukum agraria
pada masa kolonial beserta ciri dan sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Sebelum
tahun 1870.
a. Pada
masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).
VOC didirkan pada tahun 1602 – 1799
sebagai badan perdagangan sebagai upaya guna menghindari persaingan antara
pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur penguasaan dan pemilikan
tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi.
Beberapa kebijaksanaan politik
pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC,
antara lain :[9]
1). Contingenten.
Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan
kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian dari
hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
2). Verplichte
leveranten.
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni
dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan
pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan
ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa
atas apa yang mereka hasilkan.
3). Roerendiensten.
Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang
dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
b. Masa
Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).
Awal dari perubahan struktur
penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah
partikelir.
Kebijakannya itu adalah dengan
menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun
bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah yang kemudian disebut tanah partikelir.
Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat
dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya
ialah adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang
disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak
pertuanan, misalnya :[10]
a. Hak
untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepal-kepala
kampung/desa;
b. Hak
untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari
penduduk;
c. Hak
untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil
pertanian dari penduduk;
d. Hak
untuk mendirikan pasar-pasar;
e. Hak
untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
f. Hak
untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan
tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan
sebagainya.
3. Masa
Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816).
Pada masa Rafles semua tanah yang
berada di bawah kekuasaan government dinyatakan sebagai eigendom
government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pahaj bumi.
Dari hasil penelitian Rafles,
pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa disimpulkan bahwa semua tanah
milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan
telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah
pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna sendirinya beralih pula kepa Raja
Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat
itu bukan miliknya, melainka milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib
memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan
kepada raja mereka sendiri.
Beberapa ketentuan yang berkaitan
dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut :[11]
a. Pajak
tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan
kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan utnuk menetapkan jumlah
sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b. Kepala
desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah
oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak
tanah. Dapat dikurangi luasnya atau dapat dicabut penguasaannya, jika petani
yang bersangkutan tidak mau atau tidak mempu membayar pajak tanah yang
ditetapkan baginya, tanah yang bersangkutan akan dinerika kepada petani lain
yang sanggup memenuhinya.
c. Praktik
pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur tentang pemilikan tanah
rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepal desa. Seharusnya luas pemilikan
tanahlah yang menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, tetapi dalam
praktik pemungutan pajak tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya
sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan luas tanah yang boleh dikuasai
seseorang.
4. Masa
Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch.
Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal
van den Bosch menetapkan kebijakan pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam
Paksa atau Cultuur Stelsel.
Dalam sistem tanam paksa ini petani
dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun
tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu itu. Hasil
pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan
apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib
menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66
hari untuk waktu satu tahun.
Adanya monopoli pemerintah dengan
sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam
lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak
mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat
mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang
dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari
negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanah-tanah negara nyang masih
kosong.
2. Sesudah
tahun 1870 (hukum tanah administratif Belanda).
a. Agrarische
Wet (AW).
Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische
Wet yang merupakan pokok penting dari hukum agraria dan semua
peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan
hukum agraria barat. Ide awal dikelularkannya Agrarische Wet (AW)
ini adalah sebagai respon terhadap kaingina perusahaan-perusahaan asing yang
bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak
rakyat atas tanahnya harus dijamin.
AW ininmerupakan undnag-undang di
negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun 1870, dengan diundangkan dalam
S.1870-55. dimasukkannya ke Indonesia, dengan memasukkan Pasal 62 RR, yang pada
mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan penambahan 5 ayat tersebut sehingga Pasal
62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8. pada akhirnya Pasal 62
RR ini menjadi Pasal 51 IS.
Pasal 51 IS ini memuat :
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Ayat (7)
Ayat (8)
|
:
:
:
:
:
:
:
:
|
Gubernur Jenderal tidak boleh
menjual tanah.
Di dalam larangan ini tidak
termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukan perluasan kota dan
desa serta mendirikan bangunan-bangunan kerajinan/industri.
Gubernur Jenderal dapat menyewakan
tanah dnegan ketentuan yang ditetpakan dengan ordonansi. Ada pun tanah-tanah
yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia asli, atau yang dipunyai oleh
desa sebagai tempat pengembalaan umum atau atas dasar lainnya tidak boleh
dipersewakan.
Menurut peraturan-peraturan yang
ditetapkan dengan ordonansi diberikan tanah dengan Hak Erfacht selama waktu
tidak lebih dari 75 tahun.
Gubernur Jenderal menjaga jangan
sampai ada penberian Hak yang melanggar Hak penduduk asli.
Gubernur Jenderal tidak boleh
mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia asli untuk
keperluan mereka sendiri, atau tanah-tanah kepunyaan desa sebagai
tempatpengembalaan umum atas dasar lainnya, kecuali untuk kepentingan umum
berdasrkan Pasal 133 dan untuk keperluan pengusahaan tanaman yang
diselenggarakan atas perintah atasan dengan pemberian ganti rugi atas tanah.
Tanah yang dipunyai oleh
orang-orang Indonesia asli dengan Hak Milik (hak pakai perseorangan yang
turun temurun) atas permintaan pemiliknya yang syah diberikan kepadanya
dengan hak eigendom dengan pembatasan-pembatasan seperlunya
yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya,
yakni mengenai kewajiban-kewajiban terhadap negara dan desa serta wewenang
untuk menjualnya kepada bukan orang Indonesia asli.
Menyewakan tanah-tanah atau
menyerahkan tanah untuk dipakai oleh orang-orang Indonesia asli, kepada bukan
orang Indonesia asli dilakukan menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan
dengan ordonansi.
|
Terbentuknya AW merupakan upaya
desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang karenan
keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang
usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tana hutan di
jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya
kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan semangat
liberalisme yang sedang berkembang dituntut pengantian sisten monopoli negara
dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur stelse, dengna sisitem persaingan
bebasa dan sistem kerja bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.
Tuntutan untuk mengakihiri sistem
tanam paksa dan kerja paksa dengan tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan
tuntutan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein di negeri
Belanda, yang mellihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di kalangan
petani Jawa, sebagai akibat penyalah gunaan wewenang dalam melaksanakan cuktuur
stelsel oleh para pejabat yang bersangkutan.
Dari itu jelaslah tujuan
dikeluarkannya AW adalah untuk membuka kmeungkinan dan memberikan jaminan hukum
kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindi Belanda.
Selain itu AW juga bertujuan untuk :
a. Memperhatikan
perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan :
1). Memberikan
tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yangberjangka waktu lama, sampai 75
tahun.
2). Untuk
memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat.
b. Memperhatikan
kepentigan rakyat asli, dengan jalan :
1). Melindungi
hak-hak tanah rakyat asli.
2). Memberikan
kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru (Agrarische eigendom).
Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka
diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya dalamAgrarische
Besluit.
d. Agrarische
Eigendom.
Agrarische eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16 April
1872, Nomor : 29, mengenai hak agrarische eigendom.
Yang dimaksud dengan Agrarische
eigendom adalah suatu hak yang bertujuan untuk memberikan kepada
orang-orang Indonesia/pribumi,nsuatu hak yang kuat atas sebidang tanah.Agrarische
eigendom ini, dalam praktik untuk membedakan hak eigendom sebgaimana
yang dimaksud dalam BW.
Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih
lanjut dalam Pasal 4 AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB tanggal 16 April
1872 Nomor : 29 (S. 1872-117) dan S. 1837-38. berdasarkan KB tersbut, tata cara
memperoleh Agrarische eigendomdijelaskan di bawah ini, yaitu :
1). Apabila
seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak milik atas
tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka
pemohonannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, agar ia
ditetapkan sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut : uitwijzing van
erfelijk individucel gebbruikrecht. Ini hanya mungkin apabila tanahnya di
lkuar sengketa, artinya tanpa berperkara dengan pihak lain.
2). Untuk ini
semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang bersangkutan untuk
memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang merasa berkepentigan akan
mengajukan keberatan-keberatan terhadap permohonan uitwijzing van
erfelijk individucel gebbruikrecht di atas.
3). Dengan
berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut, maka agrarische
eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh bupati yang bersangkutan
bertindak untuk dan atas nama pemberian gubernur jenderal.
4). Agrarische
eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka Agrarische
eigendom tersebut harus didafatarkan menurut peraturan sebagaimana
dimuat dalam S.1873-38, dan kepada pemiliknya akan mendapat surat tanda bukti
hak.
5). Setiap
peralihan hak, pembebanan degnan hypotheek, harus didaftarkan di Kantor
Pengadilan Negeri.
Tujuan adanya Agrarische
eigendom sebetulnya bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang
Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena terdaftar dan
haknya dapat dibebani dengan hypotheek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan
untuk menggantikan hak miliknya dengan menjadi Agrarische eigendomtidak
banyak dipergunakan.
3. Hukum
Tanah Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
KUHPerdata yang berlaku di Indonesia
merupakan politik hukum Belanda yang memberlakukan KUHPerdata yang berlaku di
Belanda, dengan beberapa perubahan, berdasarkan asas konkordansi[14]diberlakukan di Indonesia.
Kaitannya dengan pemberlakuan hukum
perdata di Hindia Belanda harus juga diperhatikan politik hukum pemerintah Hindia
Belanda yang terapkan dalam pemberlakuan hukum bagi penduduk Hindia Belanda
kala itu, yaitu politik hukum penggolongan penduduk yang membagi golongan
penduduk menjadi tiga golongan sebagaimana dimakasud dalam Pasal Pasal 163 I.S.
(Indische Staatsregeling) yakni :
1). Golongan
Eropa dan dipersamakan dengannya;
2). Golongan
Timur-Asing; yang terdiri dari Timur Asing Golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa
seperti Arab, India, dan lain-lain;
3). Golongan
Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri atas semua
suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.
Dengan demikian di Indonesia
terdapat hukum perdata yang beragam (pluralistis). Pertama, terdapat hukum yang
disesuaikan untuk segala golongan warga negara seperti yang sudah diuraikan di
atas :
1). Untuk
bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah
berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi
hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mangenai segala soal dalam kehidupan
masyarakat.
2). Untuk
warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab
Undang-udang Hukum Perdata (BW) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(WvK), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada
sedikit penyimpangan yaitu bagain 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai
upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak
berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgirlijk Stand
tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak
(adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam BW.
Sebagai akibat politik hukum
tersebut, maka sebagaimana halnya hukum perdata, hukum tanah pun berstruktur
ganda atau dulaistik, dengan berlakunya bersamaan perangkat peraturan-peraturan
hukum tanah adat, yang bersumber pada hukum adat yang tidak tertulis dan hukum
tanah barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam buku II KUHPerdata
yang merupakan hukum tertulis.
Ini berarti, bahwa hubungan-hubungan
hukum dan peristiwa-peristiwa hukum di kalangan orang-orang dari golongan bumi
putera diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan hukum adatnya masing-masing.
Demikian pula dengan kalangan orang-orang dari golongan yang lain. Hukum yang
ditetpkan adalah hukum yang berlaku untuk golongan masing-masing.
Adapun hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang pribumi dan orang-orang non pribumi diselesaikan apa yang
disebut Hukum Antar Golongan atau hukum intergentiel. Dalam
peristiwa hubungan hukum semacam itu timbul pertanyaan hukum mana yang berlaku.
Pertanyaan itu timbul karena pemerintah Hindia Belanda menganut apayang disebut
asas persamaan derajat atau persamaan penghargaan bagi stelse-stelsel hukum
yang berlaku, baik hukum barat, hukum adat golongan pribumi maupun
hukum adat golongan timur asing bukan Cina. Tidak ada salah satu di antaranya
yang superior atau dihargai lebih tinggi dari yang lain. Maka dalam
menyelesaikan peristiwa hukum antar golongan tidak musti salah satu stelsel
hukum tertentu yang harus diberlakukan.
Perihal peraturan hukum yang
mengatur tentang hukum agraria dalam KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata
selama menyangkut tentang bumi, air dan ruang angkasa.
Dalam buku II KUHPerdata tersebut
terdapat beberapa jenis hak atas tanah barat yang dikenal yaitu :
1) Tanah eigendom,
yaitu suatu hak atas tanah ang pemiliknya mempunyai kekuatan mutlak atas tanah
tersebut;
2) Tanah
hak opstal, yaitu suatu hak yang memberikan wewenang kepada
pemegangnya untuk memiliki sesuatu yang di atas tanah eigendom, pihak lain yang
dapat berbentuk rumah atau bangunan, tanaman dan seterusnya di samping hak
opstal tersebut memberikan wewenang terhadap benda-benda tersebut kepada
pemegang haknya juga diberikan wewenang-wewenang yaitu :
a). Memindah-tangankan
benda yang menjadi haknya kepada pihak lain;
b). Dapat
dijadikan jaminan utang;
c). Dapat
diwariskan.
Dengan catatan hak opstal tersebut belum habis
waktunya menurut perjanjian yang telah ditetapkan bersama.
3) Tanah
hak erfacht, yaitu hak untuk dapat diusahakan/mengolah tanah orang
lain dan menarik atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut,
keweangangan pemegang hak erfacht hampir sama dengan kewewnangan hak opstal.
4) Tanah
hak gebruis, yaitu tanah hak pakai atas tanah orang lain.
Di samping hak atas tanah barat
tersebut di atas, juga ada tanah-tanah dengan hak Indonesia, seperti
tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah hak adat. Ada pula tanah-tanah
dengan hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda seperti agararische
eigendom, landerijn bezitrecht. Juga dengan hak-hak ciptaan
pemerintah swapraja, seperti grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan
hak-hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda dan swapraja tersebut, bisa disebut
tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya lebih luas dari tanah-tanah hak
adat.
Tanah-tanah hak barat dapat
dikatakan hampir semuanya terdaftar pada Kantor Overschrijvings
Ambtenar menurut Overschrijvings Ordonantie S.
1834-27 dan dipetakan oelh Kantor Kadaster menurut peraturan-peraturan
kadaster. Tanah hak barat ini tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak
dan kewajiban pemegang haknya, persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal
mengenai tanah yang dihaki, sert aperolehannya, pembebanannya diatur menuurut
ketentuan-ketentuan hukum tanah barat.[15]
Tanah-tanah hak adat hampir semuanya
belum didaftar. Tanah-tanah itu tunduk pada hukum adat yang tidak tertulis.
Tanah-tanah hak adat, yang teridiri atas apa yang disebut tanh ulayat
msyarakat-masayrakat hukum adat dan tanah perorangan, seperti hak milik adat,
merupakan sebagian terbesar ranah Hindi Belanda.
Untuk tanah-tanah hak ciptaan
pemerintah swapraja, di daerah-daerah swpraja Sumatera Timur dipunyai dengan
hak-hak ciptaan pemerintah swapraja. Di daerah Kesultanan Deli misalnya dikenal
tanh-tanah yang dipunyai dengan apa yang disebut :[16]
1) Grant
Sultan semacam hak milik adat, diberikan oleh pemrintah swapraja,
khusus bagi para kaula swapraja, didaftar di kantor pejabat swapraja;
2) Grant
Controleu, diberikan oleh pemerintah swapraja bagi bukan kaula swapraja,
didaftar di kantor Controleur (pejabat pangreh praja Belanda);
3) Grant
Deli Maatschappij, terdapat di kota Medan dan diberikan oleh Deli
Maatschappaij, juga didaftar di kantor perusahaan tersebut. Deli Maatschappaij
adalah suatu perusahaan yang mempunyai usah perkebunan besar tembakau dan
bergerak juga di bidang pelayanan umum dan tanah, memperoleh tanah yang luas
dari pemerintah swapraja Deli dengan Grant. Tanah tersebut
dipetak-petak dan diberikan kepada yang memerlukan oleh Deli Maatschappaij
kepada juga dengan grant yang merupakan “sub-grant” dikenal dengan sebutan
“grant D”, singkatatan dari grant Deli Maatschappaij.
4) Hak
konsesi untuk perusahaan perkebunan besar, diberikan oleh pemerintah
swapraja dan didaftar di kantor residen.
4. Sesudah
Tahun 1942.
Pada periode sesudah tahun 1942,
terjadi situasi yang cenderung pada :
a. Periode
kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan pemanfaatana tanah dan
penguasaan tanah tidak tertib;
b. Tujuan
utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
c. Permulaan
akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;
d. Usaha
pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
e. Kerusakan
fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah melampaui batas
kemampuannya.
Pada masa penjajahan tersebut di
atas keadaan hukum agraria Indonesia menurut hukum adat tidak terlepas dari
hukum adat daerah setempat antara lain, perangkat hukumnya tidak tertulis,
bersifat komunal, bersifat tunai dan bersifat langsung. Sedangakan mengenaihak
atas tanah mengenal peristilahan yang lain ;
a. Hak
persekutuan atas tanah yaitu hak ulayatl;
b. Hak
perorangan atas tanah :
1) Hak
milik, hak yayasan;
2) Hak
wenang pilih, hak mendahulu;
3) Hak
menikmati hasil;
4) Hak
pakai;
5) Hak
imbal jabatan;
6) Hak
wenang beli.
Pada masa kolonial ini tanah-tanah
hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran
pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan
sebagai pembuktian hak.
5. Hukum
Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.
Diproklamirkannya kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa
Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan
sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang
sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah
perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.
Sejak pengakuan keadulatan oleh
Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali
pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut :[17]
a. Mendata
kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan tanah-tanah
perkebunan untuk usaha pertanian. Di daerah Malang luasnya tanah
perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat
seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ±23.000
Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan menurut
perkiraan dari luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000
Ha. telah diduduki rakyat seluas ± 80.000 Ha.
b. Pendudukan
tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat laun akan
menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting bagi
negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan
yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah
pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu
ditertibkan.
c. Pemakian
tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut dikuatirkan
akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
d. Pemakaian
tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan kekeruhan
yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
Untuk itu, maka dikeluarkanlah
Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954 tentang : Penyelesaian soal Pemakaian Tanah
Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai
berikut :
a. Tahap
pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu dapat
dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan
dengan rakyat/penggarap;
b. Tahap
kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak
berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersbut
akan mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan :
1) Kepentingan
rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan yangbersangkutan;
2) Kedudukan
perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian negara.
Agar pelaksanaan dari keputusan
tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, maka diatur ketentuan sebagai
berikut :
a. Kemungkinan
pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan milik para pengusaha, baik
sebagian meupun seluruhnya, jika mereka dengan sengaja menghalangi upaya
penyelesaian;
b. Ancaman
hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi;
c. Ancaman
hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik perkebunan, masih
terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini diberlakukan;
d. Ketentuan
tentang harus mengadakan pengosongan.
Untuk mencegah pendudukan kembali
tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang
larangan pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51
Prp. Tahun 1960.
Selain ketentuan dia atas, dalam
upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah telah membuat kebijakan dengan
mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang-undang
Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik
Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2. Undang-undang
Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah
Perkebunan.
3. Undang-undang
Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan Tindakan-tindakan
Mengenai Tanah Perkebunan.
4. Ketentuan
lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang
kembali ke negerinya.
B. Politik
Hukum Agraria Kolonial.
Politik agraria dimaksudkan adalah
kebijaksanaan dalam bidang ke-agraria-an. Prof. Dr. Mahfud M.D. dalam bukunya
“Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi”, memberikan pengertian politik
hukum. Dalam bukunya itu disebutkan bahwa politik hukum adalah legal
policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk
mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan
penggantian hukum lama.[18]
Dengan demikian, politik hukum
agraria merupakan arah kebijaksanaan hukum dalam bidang agraria dalam usaha
memelihara, mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan, mengambil manfaat,
mengurus dan membagi tanah dan sumber daya alam lainnya yang terkandung di
dalamnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dimana dalam
pelaksanaan legal policyitu dapat dituangkan dalam sebuah peraturan
perundang-undangan yang memuat asas, dasar, dan norma dalam bidang agraria
dalam garis besar.
Sementara itu, politik hukum agraria
kolonial adalah prinsip dagang, yakni untuk mendapatkan hasil bumi/bahan mentah
dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga yang
setinggi-tingginya. Tujuannya tidak lain mencari keuntungan sebesar-besarnya
bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai pengusaha.
Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha Belanda dan pengusaha Eropa.
Sebaliknya bagi rakyat Indonesia menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam.
Sistem kolonial ditandai dengan 4
ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi. Prinsip
dominan terjadi dalam kekuasaan golongan penjajah yang minoritas terhadap
penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh keunggulan militer
kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk peribumi. Eksploitasi
atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara penjajah.
Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil peoduksinyaaunutk diserahkan kepada
penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah itu dikirim ke negara induknya untuk
kemakmuran mereka sendiri. Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis. Golongan
penjajah dianggap sebagai golongan yang superior, sedangkan penduduk pribumi
yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina. Dependensi atau
ketergantungan masyarakat jajahan terhadao penjajah. Masyarakat terjajah
menjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal modal, teknologim
pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin.[19]
Politik hukum agraria kolonial
dimuat dalam Agrarische Wet (AW) S.1870-55 dengan isi dan
maksud serta tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan
primer :
Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing)
mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah unutk waktu yang cukup lama
dengan uang sewa (canon) yang murah. Di samping itu untuk memungkinkan orang
asing (bukan bumi putera) menyewa atu mendapat hak pakai atas tanah langsung
dari orang bumi putera, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan
ordonansi. Meaksudnya adalah memungkinkan berkembangnya perusahaan pertanian
swasta asing.
2. Tujuan
sekunder.
Melindungi hak penduduk Bumi Putera atas tanahnya,
yaitu :
a. Pemberian
tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak Bumi Putera;
b. Pemerintah
hanya boleh mengambil tanah Bumi Putera apabila diperlukan untuk kepentingan
umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan dari atasan dengan pemberian
gantik kerugian;
c. Bumi
Putera diberikan kesempatan mendapatkan hak atas tanah yang kuat yaitu
hak eigendom bersyarat (agrarische eigendom);
d. Diadakan
peraturan sewa menyewa antara Bumi Putera dengan bukan Bumi Putera.
Dlam perjalanan berlakunya AW
terjadi penyimpangan terhadap tujuan skundernya, yaitu adanya penjualan
tanah-tanah mili pribumi langsung kepada orang-orang Belanda atau Eropa
lainnya. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah milik Bumi
Putera dari pembelian orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, maka pemerintah
Hindi Belanda mengeluarkan kebijaksanaan berupa Vervreemdingsverbod S.1875-179.
Yang dimaksud dengan Vervreemdingsverbod adalah
hak milik (adat) atas tanah tidak dapat dipindahtangankan oleh orang-orang
Indonesia asli kepada bukan orang Indonesia asli dan oleh karena itu semua
perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak tersbut, baik secara langsung
maupun tidak langsung adalah batal karenanya.
Selain AW, maka pemerintah Hindia
Belanda juga telah mengeluarkan kebijakan agraria dalam Agrarische
Besluit (AB) sebagai pelaksanaan dari ketentuan AW. AB ini diundangkan
dalam S.1870-118. yang terpenting dalam AB ini adalah adanya pernyataan domein
negara atau lebih dikenal denganDomein Verklaring.
Berkaitan dengan struktur agraria
warisan penjajah, menurut Imam Soetiknjo, bahwa struktur agraria warisan
penjajah sebagai hasil politik agraria kolonial apabila :[20]
1. Dipandang
dari sudut hukumnya tidak ada kesatuan hukum.
a. Ada
dua macam (dualisme hukum), yaitu hukum barat yang dibawa dan diberlakukan di
Hindia Belanda oleh pihak penjajah Belanda dan hukum adat penduduk Bumi Putera;
b. Hukum
adat di Indonesia itu beraneka warna, agak berbeda di pelbagai daerah
(plurisme) yang dibiarkan terus berlaku selama dianggap tidak bertentangan
dengan politik agraria penjajah;
c. Ada
hak ciptaan baru yang bukan hukum adat tapi yang bukan hukum barat, yaitu
hak agraris eigendom.
2. dilihat
dari sudut objeknya, tidak ada kesamaan status subjek.
a. Ada
pemegang hak yang orang orang Bumi Putera, ada yang bukan orang Bumi Putera
yang sistem hukumnya berbeda;
b. Yang
bukan Bumi Putera ada :
1) Orang
asing bangsa Eropa/Barat;
2) Orang
keturunan asiang;
3) Orang
Timur Asing.
3. dilihat
dari yang menguasai/memiliki tanah, tidak ada keseimbangan dalam hubungan
antara mausia dengan tanah.
a. Ada
besar golongan manusia (petanai) yang tidak mempunyai tanah atau yang mempunyai
tanah yang sangat sempit;
b. Di
lain pihak ada golongan kecil manusia (penguasa, pengusaha asing, tuan tanah,
pemilik tanah partikelir) yang memiliki/menguasai tanah;
4. Dilihat
dari sudut penggunaan tanah, tidak ada keseimbangan dalam penggunaan tanah.
a. Tanah
di Jawa dan Madura hampir semua sudah dibuka/diusahakan;
b. Di
luar Jawa, Madura dan Bali masih ada tanah luas yang bukan dibuka/diusahakan.
5. Dilihat
dari sudut tertib hukum, tidak ada tertib hukum.
a. Penjajah
Jepang mengambil tanah rakyat atau tanah/rumah orang asing yang menguasai atau
ditangkap, tanpa ambil pusing soal hak yang ada di atasnya;
b. Rakyat
sendiri juga menduduki tanah perkebunan, pekarangan bahkan rumah orang
asing/bekas penjajah yang mengungsi secara tidak sah.
BAB IV
UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA)
SEBAGAI HUKUM AGRARIA NASIONAL
A. Upaya
Penyusunan Hukum Agraria Nasional.
Proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas
nama bangsa Indonesia merupakan suatu tonggak sejarah sebagai simbol
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Secara yuridis, proklamasi tersebut memiliki makna terputusnya atau tidak
berlakunya hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum nasional, sedangkan
secara politis, proklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa Indonesia
terlepas dari penjajahan menjadi bangsa yang merdeka.
Proklamasi kemerdekaan tersebut
memberi arti penting terhadap upaya penyusunan hukum agraria nasional. Pertama
dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia memutuskan hubungan dengan hukum
agraria kolonial sekaligus, yang kedua, bangsa Indonesia berupaya membentuk
hukum agraria nasional.
Meskipun demikian, dengan
diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia ternyata tidak serta merta pemerintah
dapat dengan mudah membentuk hukum agraria nasional, hal itu membutuhkan waktu
yang cukup lama sampai terbentuknya hukum agraria yang bersifat nasional.
Dengan demikian, guna mencegah adanya kekosongan hukum (reccht vacuum),
maka sambil menunggu terbentuknya hukum agraria nasional diberlakukanlah Pasal
II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945[21], yaitu : “Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
berdasarkan Undang-Undang Dasar ini”.
Dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 tersebut, maka segala badan maupun peraturan yang ditetapkan dan merupakan
produk kolonial dinyatakan masih tetap berlaku selama hal tersebut belum
dicabut, belum diubah atau belum diganti dengan hukum yang baru.
Dasar politik hukum agraria nasional
dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan :
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.
Ketentuan tersebut bersifat
imperatif, artinya berbentuk perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan
alamyang terkandung di dalamnya nyang diletakkan di bawah penguasaan negara
harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia untuk menyesuaikan Hukum Agraria kolonial dengan keadaan dan
kebutuhan setelah Indonesia merdeka, yaitu :[22]
1. Menggunakan
kebijaksanaan dan penafsiran baru.
Dala pelaksanaan hukum agraria didasarkan atas
kebijaksanaan baru dengan memakai tafsir yang baru pula yang sesuai dengan jiwa
Pancasila dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. tafsir baru di sini, conthnya adalah
menegenai hubungan domein verklaring, yaitu negara tidak lagi
sebagai pemilik tanaah, melainkan negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat Indonesia hanya menguasai tanah.
2. Penghapusan
hak-hak konversi.
Salah satu warisan feodal yang sangat merugikan rakyat
adalah lembaga konversi yang berlaku di karasidenan Surakarta dan Yogyakarta.
Di daeran ini semua tanah dianggap milik raja. Rakyat hany sekedar memakainya,
yang diwaibkan menyerahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada raja, jika
tanah itu tanah pertanian atau melakukan kerja paksa, jika tanahnya tanah
perkarangan. Kepada anggota keluarganya atau hamba-hambanya yang berjasa atau
seti kepada raja diberikan tanah sebagai nafkah, dan pemberian tanah ini
disertai pula pelimpahan hak raja atau sebagian hasil tanha tersebut di atas.
Mereka pun berhak menuntut kerja paksa. Stelsel ini dinamakan setelsel apanage.
Tanah-tanah tersebut oleh raja atau penegang apanage
disewakan kepada pengusaha-pengusaha asing unutk usaha pertanian, berikut hak
untuk memungut sebgian dari hasil tanama rakyat yang mengusahakan tanah itu.
berdasarkan S.1918-20, para pengusaha asing tersebut kemudian mendapatkan hak
atas tanah oleh raja yang disebut hal konversi (beschikking konversi).
Keputusan raja, pada hakikatnya merupakan suatu keputusan penguasa untuk
memakai dan mengusahakan tanah tertentu.
Berdasrkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1948 yang
mencabut Stb.1918-20. dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950,
yang secara tegas dinyatakan bahwa lembaga konversi, begitu juga hak-hak
konversi serta hypotheek yangmembebaninya menjadi hapus.
3. Pengahapusan
tanah pertikelir.
Pada masa penjajahan dikeluarkan kebijaksanaan di
bidan pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda berpa tanah partikelir yang di
dalamnya terdapat hak peruanan. Dengan adanya hak pertuanan ini, seakan-akan
tanah-tanah partikelir tersebut merupakan negara dalam negara. Tuan-tuan tanah
yang mempunyai hak kekuasaan yang demikian besar banyak yang menyalahgunakan
haknya, sehingga banyak menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang
ada atau berdiam di wilayahnya.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia
melakukan pembelian tanah-tanah partikelir, namun hasilnya tidak memuaskan
dikarenakan tidak tersedianya dan yang cukup juga karena tuan-tuan tanah yang
bersangkutan menuntut harga yang tinggi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-tanah Partikelir, 24 Januari 1958, hak-hak milik partikelir
atas tanahnya dan hak-hak pertuanannya hapus, dan tanah bekas apartikelir itu
karen hukum seluruhnya serentak menjadai tanah negara.
Undang-unang Nomor 1 Tahun 1958 pada hakikatnya
merupajan pencabutan hak, dan kepada pemilik tanah partikelir diberikan ganti
kerugian. Tanah partikelir dinyatakan hapus jika pembayaran ganti kerugian
telah sesuai.
4. Perubahan
peraturan persewaan tanah rakyat.
Praturan tentang persewaan tanah rakyat kepada
perusahaan perkebunan bedar khususnya dan orang-orang bukan Indonesia asli pada
umumnya sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (8) I.S. untuk Jawa dan
Madura diatur dalam dua peraturan, yaitu Grondhuur Ordonantie S.1918-88
untuk daerahpemerintahan langsung dan Voerstenlands Grondhuureglement S.1918-20
untuk Surakarta dan Yogyakarta (daerah-daerah swapraja). Menurut ketentuan ini
persewaan tanah dimungkinkan berjangka waktu palig lama 21,5 tahun.
Setelah Indonesia merdeka, kedua peraturan tersebut
diubah dengan ditambahkan Pasal 8a dan 8b serta Pasal 15a dan 15b oleh
Undang-undang Darurat Nomor 6 Tahun 1951. undang-undang Darurat ini kemudian
ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1952. Dengan penambahan
pasal-pasal tersebut, maka persewaan tanah rakyat untuk tanama tebu dan
lain-lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian hanya diperbolehkan paling
lama 1 tahun atau 1 tahun tanaman. Adapun besar sewanya ditetapkan oleh Menteri
Dalam Negeri, kemudian oleh Menteri Agraria. Dengan demikian, rakyat tidak lagi
dirugikan karena besar dan jumlah sewanya disesuaikan dengan tingkat
perkembangan harga pada saat itu dan waktunya hanya untuk 1 tahun tanaman.
5. Peraturan
tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah.
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 yang
menetapkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang Pemindahan
Tanah-tanah dan Barang-barang Tetap Lainnya yang Tunduk Pada Hukum Eropa,
dinyatakan bahwa sambil menunggu pengaturan lebih lanjut unutk sementara untuk
setiap serah pakai lebih dari 1 tahun dan perbuata-perbuatan yang berwujud
pemindahan hak mengenai hak tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang
tunduk pada hukum Eropa hanya dapat dilakukan setelah mendapat ijin dari
Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957 izinnya dari
Menteri Agraria).
Semua perbuatan yang dilakukan di luar izin menteri
tersebut dengan semdirinya batal menurut hukum, artinya tanah/rumahnya kembali
pada penjual, uangnya kembali kepada pembeli jika perbuatan berbentuk jual
beli. Peraturan mengenai perizinan ini dimaksudkan untk mencegah atau paling
tidak mengurangi kemungkinan jatuhnya tanah-tanah Eropa, termasuk rumah atau
bangunan yang ada di atasnya ke tangan orang-orang dan badan-badan hukum asing.
Ketentuan di atas dilengkapi dengan Undang-undang
Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak-hak Atas Tanah
Perkebunan Erfacht, Eigendom, dan lain-lain Hak Kebendaan. Dikeluarkan juga
peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan
Hak Atas Tanah-tanh Perkebunan Konsesi, yang kemudian diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1959.
Menurut ketentuan di atas, setiap perbuatan yang
berwujud pemindahan hak dan setiap serah pakai untuk lebih dari satru tahun
mengenai tanah erfacht, eigendom, dan hak-hak kebendaan lainnya atas tanah
perkebunan, demikian tanah-tanah konsesi untuk perkebunan dari bangsa Belanda
dan bangsa-bangsa asinglein serta badan-badan hukum hanya dapat dilakukan
dengan izin Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957 izinnya
dari Menteri Agraria dengan persetujuan Menteri Pertanian).
Maksud praturan tersebut di atas adalah untuk
mengadakan pengawasan serta jaminan bahwa penerima haknya mampu mengusahakan
perusahaan perkebunan yang bersangkutan dengan baik dan bahwa kebun itu tidak
akan dijadikan objek spekulasi belaka.
6. Peraturan
dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan.
Atas dasar Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956, Menteri
Agraria dan Pertanian berwenanga melakukan tidakan-tindakan agar tanah-tanah
perkebunan yang mempunyai sifat sangat penting dalam perekonomian negara
diusahakan dengan baik. Dalam undang-undan gini juga ditetapkan bahwa pemegang
erfacht, eigendom dan hak kebendaan lainnya yang sudah mengusahakan kembali
perusahaan-perusahaan, wajib melakukan segala sesuatu yang perlu untuk memulai atau
meneruskan usahanya secaa layak menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri
Pertanian.
Jika pemegan hak tersebut belum memenuhi kewajibannya,
maka atas pertimbangan Menteri Pertanian, hak erfacht yang bersanglkutan dapat
dibatalkan oleh Menteri Agraria. Hak erfacht juga dapat dibatalkan, jika
menurut pertimbagnan Menteri Agraria dan Menteri Pertanian sikap pemegang hak
selama waktu yang ditentukan tidak berniat mengusahakan perusahaan
perkebunannya sebagaimana mestinya.
Tanaman dan bangunan di atas tanah tersebut yang
menurut keputusan Menteri Pertanian diperlukan untuk kelangsungan atau
memulihkan pengusahaan yang layak dikuasai oleh negara dengan pemberian ganti
kerugian.
7. Kenaikan Canon dan Cijn.
Canon adalah uang yang wajib dibayar oleh pemgang hak erfacht setiap tahunnya
kepada negara, sedangkan cijn adalah uang yang wajib dibayar
oleh pemegang konsesi perusahaan perkebunan besar. Pada umumnya,ccnon dan cijn dulu
tidak besar jumlahnya, karena terutama dianggap sebagai tanfa pengakuan hak pemilik
tanah yang dikuasainya dengan hak erfacht atau konsesi.
Setelah Indonesia merdeka, sebgaian besar tanah-tanah
perkebunan sudah dibuka dan diusahakan, sehingga uang wajib yang harus dibayar
setiap tahunnya itu fungsi atau sifatnya lain, yaitu sebagai sewa pemakaian
tanah.
Dalam Undang-undang Nomor 78 Tahun 1957 tentang
Perubahan Canon dan Cijn Atas Hak-hak Erfacht dan Konsesi guna perkebunan besar
ditetpkan bahwa selambat-lambatnya 5 tahun sekali uang wajib tahunan ini harus
ditinjau kembali.
8. Larangan
dan penyelesaian soal pemakaiantanah tanpa izin.
Untuk mencegah meluasnya pemakaian tanah-tanah
perkebunan oleh rakyat tanpa izin pengusahanya dan untuk menyelesaikan soal
pemakaian tanah yang sudah ada, maka dikeluarkanlah Undang-undang Darurat Nomor
8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat.
Undang-undang darurat ini diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1961.
Ketentuan mengenai larangan pemakaian tanah ranpa izin
yangberhak atau kuasanya diatur oleh Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960.
undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1961.
Dalam Pasal 2 jo. Pasal 6 Undang-undang
Nomor 51 Prp Tahun 1960 dinyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin yang berhak
atau kuasanya yang saha adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
hukuman pidana, tetapi tidak selalu penunutan pidana. Menurut Psal 3 jo. Pasal
5, dapat dilakukan penyelesaian melalui cara dengan mengingat kepentingan
pihak-pihak yang bersangkutan dan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang
dipai itu.
9. Peraturan
perjanjian bagi hasil.
Perjanjian bagi hasi adalah salah satu bentuk
perjanjian antara pemili tanah dengan pihak lain sebagai penggarap, di mana
penggarap diperkenankan untuk mengusahakan tanah itu dengan pembagaian hasilnya
menurut imbagan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Perjanjian bagai hasil semula diatur menurut hukum
adat setempat. Imbangan pembagian hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua
belah pihak. Pada umumnya, pembagian hasil tersebut tidak menguntungka pihak
penggarap, karena tanah yang tersedia untuk dibagihasilkan tidak seimbang
dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan.
Mengingat bahwa golongan penggarap bagi hasil itu
biasanya golongan ekonomi lemah dan selalu dirugikan, maka dalam rangka
melindungi mereka, dikeluarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil. Undang-undanga ini mengharuskan agar pihak-pihak yang
membuat perjanjian bagi hasil dibuat secara tertulis, dengan maksud agar mudah
mengawasi dan mengadakan tindakan-tindakan terhadap mperjanjian bagi hasil yang
merugikan penggarapnya.
10. Peralihan tugas dan
wewenang agraria.
Setelah Indonesia merdeka sampai dengan 1955 urusan
agraria berada dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri. Berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 55 Tahun 1955 dibentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri
yang terpisah dari Kementerian Dalam Negeri. Dalam Keputusna Presiden Nomor 190
Tahun 1957 ditetapkan bahwa Jawatan Pendafataran Kehakiman semula masuk dalam
lingkungan Kementerian Kehakiman dialihkan dalam lingkungan Kementrian Agraria.
Berdasarka Undang-undang Nomor 7 Tahun 1958 ditetapkan
pengalihan tugas dan wewenang agraria dari Menteri Dalam Negeri kepada Menteri
Agraria, serta pejabat-pejabat di daerah. Dengan keluarnya undang-undang
tersebut, maka lambat laun terbentuklah aparat agraria di tingkat provinsi,
karasidenan, dan kabupaten/kotamadya.
B. Sejarah
Penyusunan UUPA.
Perjalaanan panjang dalam uapaya
perancangan UUPA dilakukakan oleh Lima Panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria
Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Rancangan Soewahjo, Panitia
Rancangan Soenarjo, dan Rancangan Sadjarwo.
1. Panitia
Rancangan Yogyakarta.
a. Dasar
Hukum.
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan
Presiden Nomor : 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948, berkedudukan di Yogyakarta
diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, Kepala Bagian Agraria Kementerian Agraria.
Panitia ini bertugas anatara lain :
1) Memberikan
pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai hukum tanah pada
umumnya;
2) Merencanakan
dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agararia Republik Indonesia;
3) Merencanakan
peralihan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama tentang tanah yang
tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang
merdeka;
4) Menyelidiki
soal-soal lain yang berkenaan dengan hukum tanah.
b. Asas-asas
yang Menjadai Dasar Hukum Agraria Indonesia.
Panitia ini mengusulkan tentang
asas-asas yang akan merupakan dasar-dasar Hukum Agraria yang baru, yaitu :
1) Meniadakan
asas domein dan pengakuan adanya hak ulayat;
2) Mengadakan
peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang dapat dibebani
hak tanggungan;
3) Mengadakan
penyelidikan terutama di negara tetangga tentang kemungkinan pemberian hak
milik atas tanah kepaa orang asing;
4) Perlu
diadakan penetapan luas minimum pemilikan tanah bagi apra petani kecil untuk
dapat hidup layak untuk Jawa 2 hektar;
5) Perlu
adanya penetapan luas maksimum pemilikan tanah yang siusulkan untuk pulau Jawa
10 hektar, tanpa memandang macamnya tanah, sedang di luar Jawa masih diperlukan
penelitian lebih lanjut;
6) Perlu
diadkan regidsrasi tanah milik dan hak-hak lainnya.
c. Keanggotaan
Panitia.
Panitia Yogyakarta beranggotakan
sebagai berikut :
1) Para
pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan;
2) Anggota
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;
3) Para
ahli hukum, wakil-wakil daerah dan ahli adat;
4) Wakil
dari dari sarikat buruh perkebunan;
2. Panitia
Jakarta.
a. Dasar
Hukum.
Panitia Yogyakarta dibubarkan dengan
Keputusan Presiden Nomor : 3 6 Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951, sekaligus
dubentuk Panitia Agraria Jakarta yang berkedudukan di Jakarta.
b. Keanggotaan.
Panitia Jakarta beranggotakan :
1) Ketua
: Sarimin Reksodihardjo, kemudian pada tahun 1953 diganti oleh Singgih
Praptodihardjo (Wakil Kepala Bagian Agraria Kementrian Agararia);
2) Pejabat-pejabat
kementrian;
3) Pejabat-pejabt
jawatan; dan
4) Wakil-wakil
organisasi tani.
c. Usulan
kepada pemerintah.
Dalam laporannya panitia ini
mengusulkan beberapa hal dalam hal tanah pertanian, sebagai berikut :
1) Mengadakan
batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 hektar dengna mengadakan peninjauan
lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan hukum waris;
2) Mengadakan
ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai;
3) Pertanian
rakyat hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan tidak dibedakan antara
warga negara asli dan bukan asli. Badan hukum tidak dapat mengerjakan tanah
rakyat;
4) Bagunan
hukum untuk pertanian rakyat ialah hakl milik, hak usaha, hak sewa, dan hak
pakai;
5) Pengeturan
hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar negara dengan suatu undang-undang.
3. Panitia
Soewahjo.
a. Dasar
Hukum.
Guna mempercepat proses pembentukan
undang-undang agraria nasional, maka dengan Keputusan Presiden RI tertanggal 14
Januari 1956 Nomor : 1 Tahun 1956, berkedudukan di Jakarta, diketuai
oleh Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris Jenderal Kementrian Agraria. Tugas utama
panitia ini adalah mepersiapkan rencana undang-undang pokok agararia yang
nasional, sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun.
b. Rancangan
Undang-undang.
Panitia ini berhasil menyusun naskah
Rancangan Undang-undang Pokok Agraria pada tanggal 1 Januari 1957 yang pada
berisi :
1) dihapuskannya
asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada kepentingan
mum (negara);
2) Asas
domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan Pasal 38 ayat
(3) UUDS 1950;
3) Dualisme
hukum agraria dihapuskan. Secara sadar diadakan kesatuan hukum yang akan
memuata lembaga-lembga dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam
hukum adat maupun hukum barat;
4) Hak-hak
atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi sosial kemudian
ada hak usaha, hak bangunan dan hak pakai;
5) Hak
milik hanya boleh dipunyai oleh warga negara Indonesia yang tidak diadakan
pembedaan antara waraga negara asli dan tidak asli. Badan-badan hukum pada
asasnya tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah;
6) Perlu
diadakan penetapan batan maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi
milik seseorang atau badan hukum;
7) Tanah
pertanian pada asasnya perlu dikerjakan dan diushakan sendiri oleh pemiliknya;
Perlu
diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
: 97 Tahun 1958 tanggal 6 Mei 1958 Panitia Negara Urusan Agraria (Panitia
Soewahjo) dibubarkan.
4. Rancangan
Soenarjo.
Setelah diadakan perubahan
sistematika dan rumusan beberapa pasal, Rancangan Panitia Soewahjo diajukan
oleh Menteri Soenarjo ek Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk membahas rancangan
tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan yang lebih lengkap dengan meminta kepada
Universitas Gadjah Mada, selanjutnya membentuk panitia ad hoc yang
terdiri dari :
Ketua merangkap
anggota :
A.M. Tambunan
Wakil Ketua merangkap
anggota : Mr. Memet
Tanumidjaja
Anggota-anggota :
Notosoekardjo
Dr.
Sahar glr Sutan Besar
K.H.
Muslich
Soepeno
Hadisiwojo
I.J.
Kasimo
Selain dari Universitas Gadjah Mada
bahan-bahan juga diperoleh dari Mahkamah Agung RI yang diketuai oleh Mr.
Wirjono Prodjodikoro.
5. Rancangan
Sadjarwo.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
diberlakukan kembali UUD 1945. Karena rancangan Soenarjo disusun berdasarkan
UUDS 1950, maka pada tanggal 23 Maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali.
Dalam rangka menyesuaikan rancangan UUPA dengan UUD 1945, perlu diminta saran
dari Universitas Gadjah Mada. Untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1959, Menteri
Mr. Sadjarwo beserta stafnya Singgih Praptodihardjo, Mr, Boedi Harsono, Mr.
Soemitro pergi ke Yogyakarta untuk berbicara dengna pihak Universitas Gadjah
Mada yang diwakili oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan Drs. Imam Sutigyo.
Setelah selesai penyusunannya,
maka rancangan UUPA diajukan kepada DPRGR. Pada hari Sabtu tanggal 24 September
1960 rancanan UUPA sisetujui oleh DPRGR dan kemudian disahkan oleh Presiden RI
menjadi Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok Agraria disingkat UUPA.
C. UUPA
Sebagai Hukum Agraria Nasional.
1. Sifat
Nasional UUPA.
UUPA mempunyai du substansi dari
segi berlakunya, yaitu pertama, tidak memberlakukan lagi atau mencabut hukum
agraria kolonial, dan kedua, membangun hukum agraria nasional. Menurut Boedi
Harsono, dengan berlakunya UUP, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada
hukum agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanhan. Perubahan yang
fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari
maupun isinya.
UUPA juga merupakan undang-undang
yang melakukan pembaruan agraria karena di dalamnya memuata program yang
dikenal dengan Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi :
1) Pembaharuan
hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasioanl dan pemberian
jaminan kepastian hukum;
2) Penghapusan
hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
3) Mengakhiri
penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4) Perombakan
pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan hukum
yangberhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran
dan keadilan, yang kemudian dikenal dengan program landreform;
5) Perncanaan
persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya serta penggunaan secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan
kemampuannya.
Sebagai undang-undang nasional, UUPA
memiliki sifat nasional material dan formal. Sifat nasional material berkenaan
dengan substansi UUPA. Sedangkan nasional formal berkenaan dengan pembentukan
UUPA.
a. Sifat
Nasional Material UUPA.
Sifat nasional materian UUPA
menunjuk kepada substansi UUPA yang harus mengandung asas-asas berikut :
2) Berdasarkan
hukum tanah adat;
3) Sederhana;
4) Menjamin
kepastian hukum;
5) Tidak
mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama;
6) Memberi
kemungkinan suapya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dalam
membangun masyarakat yang adil dan makmur;
7) Sesuai
dengan kepentingan rakyat Indonesia;
Memnuhi
keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria;
9) Mewujudkan
penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa
seperti yang tercantum dalam undang-undang;
10) Merupakan pelaksanaan
GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Manifesto Politik;
11) Melaksanakan
ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
b. Sifat
Nasional Formal UUPA.
Sifat nasional formal UUPA menunjuk
kepada pembentukan UUPA yang memenuhi sifat sebagai berikut :
1) Dibuat
oleh pembentuk undang-undang naisonal Indonesia, yaitu DPRGR;
2) Disusun
dalam bahasa nasional Indonesia;
3) Dibentuk
di Indonesia;
4) Bersumber
pada UUD 1945;
5) Berlaku
dalam wilayah negara Republik Indonesia.
2. Peraturan
Lama yang Dicabut oleh UUPA.
Dengan dindangkannya Undang-undang
Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada tanggal
24 September 1960, maka dengan demikian Indonesia memiliki hukum agraria baru
yang bersifat nasional yan tentunya lepas dari sifat-sifat kolonial dan
disesuaikan dengan pribadi dan jiwa bangsa Indonesia sebagai negara merdeka dan
berdaulat.
John Gilissen†, Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 1 dst.
[2] Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 30.
[3] W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema
Keadilan (susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm. 60.
[4] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999, hlm. 4 dst.
[7] Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2
2005. hlm. 12.
[8] Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang
Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996, hlm. 67.
[9] Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005,
hlm. 16.
[12] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, Cet. Ke-8, 1999, hlm. 41 dst.
[14] Asas konkordansi yaitu suatu asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang
berlaku untuk suatu golongan di negara tertentu haruslah sama dengan hukum yang
berlaku di negara lain untuk golongan yang sama.
[18] Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta , LP3ES, 2006. hlm.. 13 dst.
[20] Imam Sotiknjo, Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dala Rangka Menyukseskan
Pelita V, Makalh Ceramah Sehari, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, 1989, hlm. 2-3 dalam Urip Santoso, Op. Cit. hlm. 31.
[21] Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan sebagai Hukum Dasar (Konstitusi) Negara
Republik Indonesia adalah pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno.
[22] Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005,
hlm. 36.
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentar yah